Para Penggerak

Saya telat nonton Swades, film yang diproduksi 14 tahun silam. Selain Dilwale Dulhaniya Le Jayenge, Kuch Kuch Hota Hai, Kabhi Khusi Kabhi Gham, Veer-Zaara, Rab Ne Bana di Jodi, My Name is Khan, dan Chennai Express, saya kira Swades adalah salah satu film terbaik yang dibintangi Shah Rukh Khan.

Jalan cerita film ini sederhana. Shah Rukh Khan berperan sebagai Mohan Bhargava, seorang jomblo cerdas yang bekerja sebagai salah seorang ahli di industri NASA, Amerika. Dia bahkan sudah mengajukan kewarganegaraan AS. Kenyamanan ini dia nikmati hingga kerinduannya melayang pada sosok di masa lalu, Kaveriamma, pembantu rumah tangganya yang sudah terlanjur dia anggap sebagai ibu keduanya. Lama tak bersua dan keinginannya memboyong sosok tua tersebut ke AS, menuntunnya berangkat ke sebuah desa miskin yang terpencil di India, tempat Kaveriamma tinggal.

Di sinilah alur dimulai. Mohan, pria berpendidikan tinggi dengan standar hidup Barat, bertemu kembali dengan Kaveriamma, nenek tua yang mencintai alam pedesaan; Gita, perempuan cantik yang punya dedikasi tinggi pada pendidikan anak-anak; Mela Ram, pemuda miskin dengan obsesi pengusaha; Nivaraan, tukang pos yang merindukan teknologi, serta segenap warga desa yang harus hidup menghadapi segregasi kasta, pendidikan rendah, alam yang gersang, dan listrik yang byarpet, kadang menyala, kadang tidak.

Singkat cerita, Mohan menggunakan kemampuannya untuk membantu warga desa membuat pembangkit listrik sederhana bertenaga air. Dia juga membantu Gita menggaet murid baru di tengah rendahnya kepercayaan penduduk desa terhadap pendidikan. Baginya, perubahan harus dimulai dari diri sendiri, bukan saling menyalahkan. Dia tidak pernah menawarkan revolusi kepada rakyat desa. Dia menolak menyalahkan pemerintah, sebab baginya menyalahkan pemerintah juga tak akan mengubah keadaan. Dia bergerak secara mandiri dengan cara mengubah hal esensial, yaitu pola pikir. Sebuah langkah yang berat karena dia ditentang oleh dewan desa yang beranggotakan para sesepuh yang sudah apatis dengan kondisi desa.

Di depan para warga, usai pesta, setelah seorang tetua meyakinkan apabila India adalah negara hebat di dunia, Mohan membantah dengan halus. “Saya tidak setuju bahwa kita adalah negara terbesar di dunia,” katanya mengagetkan segenap warga, “…tapi saya percaya bahwa kita memiliki potensi dan kekuatan menjadi hebat.”

Mohan memang melakukan perubahan alur logika masyarakat dengan menyadarkannya, bahwa ada sesuatu yang lebih penting daripada berdebat soal kasta, maupun saling menyalahkan: warga menyalahkan dewan desa, kaum Dalit menyalahkan Brahmana, lalu Brahmana mengklaim apabila kesalehan mereka telah tercemar oleh Dalit (kaum rendahan di luar struktur kasta India), para pembuat tembikar menyalahkan rentenir, pemilik tanah menyalahkan para petani tanpa memberikan hak-hak mereka, dan berbagai konflik sepele lainnya. Dia memanfaatkan potensi yang dia miliki sekaligus menularkan semangatnya kepada warga lainnya.

Mohan memang tokoh rekaan, tapi di belahan dunia lainnya, ada sosok-sosok inspiratif sepertinya. Di Indonesia, kita mengenal Butet Manurung dengan “Sokola Rimba”nya. Dia mengajari baca tulis anak-anak Orang Rimba yang selama ini hidup secara nomaden di dalam hutan dan semakin terpinggirkan akibat proyek Sawitisasi pinggiran Taman Nasional Bukit Dua Belas, Jambi, yang dijalankan perusahaan serakah. Buta aksara membuat suku ini gampang dibohongi oleh utusan perusahaan yang akan membuka lahan. Akibatnya, binatang buruan semakin langka, hutan tak lagi serimbun dulu, dan mereka dengan tatapan nanar hanya bisa menonton saat pohon-pohon raksasa yang selama ini dikeramatkan roboh dihajar gergaji mesin. Film Sokola Rimba garapan Riri Riza secara apik menyuguhkan kiprah Butet selama mendampingi bocah-bocah rimba ini sekaligus dengan hening menampilkan ironi, hutan yang dibabat habis dengan alasan perluasan lahan milik perusahaan sawit.

Baca Juga:  Posisi Pesantren dalam Kebhinnekaan NKRI

Sejujurnya saya bosan membaca berita para pembesar negeri ini, maupun sosok yang dibesar-besarkan, atau juga tokoh yang dipoles tidak apa adanya, maupun orang yang dipaksa menjadi “besar” sebelum waktunya, maupun tokoh-tokoh agama dan politik dengan polah tingkahnya yang kontroversial. Tidak adakah peluang menampilkan orang-orang “kecil” yang berjiwa besar dengan segenap kemanfaatannya? Tentu ada, namun jarang, sangat jarang peran inspiratifnya disuguhkan di ruang publik. Kalaupun ada, hanya dimuat di beberapa media cetak. Selebihnya, dunia maya hanya disuguhi berita palsu, fitnah, dan menjadi arena geger genjik yang berisik.

Padahal, sejujurnya kita memiliki stok kisah-kisah inspiratif yang bisa kita bagikan melalui media android kita. Jawa Pos beberapa hari yang lalu mengupas sosok keren, Tuan Guru Hasanain Juaini, Pengasuh Ponpes Nurul Haramain Lembuak, Lombok Barat yang berhasil melakukan penghijauan di gunung tempat tinggalnya di Lombok. Dia juga membagikan jutaan bibit pohon untuk siapapun yang membutuhkannya. Berbagai penghargaan dia dapatkan baik dari dalam maupun luar negeri atas kiprahnya selama ini.

Di Salatiga, kita mengenal Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah yang inspratif dan menarik itu. Mas Ahmad Bahruddin, pendirinya, punya segenap cita-cita yang dia realisasikan perlahan-lahan dengan memberdayakan pendidikan anak-anak sekeliling tempat tinggalnya. Saya selalu jatuh cinta dengan beberapa cerita inspiratif dari anak-anak Qaryah Thayyibah.

Di Banyuwangi, ada Mas Muhammad Farid, alumni Ponpes Salafiyah Syafiiyah Situbondo, yang mendirikan “Sekolah Bayar Sayur”-nya yang inspiratif, unik, dan bermanfaat bagi anak-anak petani yang sebelumnya putus sekolah. Harap maklum pula jika sekolah yang terletak di Puncak Jenisari, Genteng, Banyuwangi, ini memakai konsep pendidikan ala pesantren sebagai basis awalnya. Selain karena pendirinya lulusan pesantren salaf, 60% materi di sini sebenarnya adalah pendidikan karakter dan akhlak. Di sini, para siswa tinggal di asrama. Kegiatannya juga penuh. Hanya, belajar tak lagi di ruang kelas. Namanya juga sekolah alam, jadi para siswa bisa memilih lokasi di persawahan, di bawah rindang pohon, maupun beralas rerumputan saja. Para siswa semakin bersemangat. Apalagi lingkungan alam yang mendukung membuat mereka leluasa beraktivitas di alam, seperti kegiatan outbound dan tadabbur alam.

Di Surabaya, ada KH. Khoiron Syu’aib, yang sejak 1983 berdakwah di lokalisasi Bangunsari, dan mengentaskan ribuan PSK dari lembah hitamnya. Sampai saat ini Pengasuh Ponpes Raudlatul Khair Surabaya ini dilibatkan secara aktif dalam proses memanusiawikan kembali para PSK di beberapa titik lokalisasi di beberapa daerah di tanah air.

Baca Juga:  Menyambut Hari Kemenangan di Tengah Pandemi Covid-19

Alumnus Pesantren Tebuireng ini tidak pernah, sekali lagi, tidak pernah mengumbar kata-kata kasar dan umpatan, apalagi kekerasan, dalam melakukan pendekatan terhadap para PSK di sekitar lingkungan tempat tinggalnya. Mengajak dengan harapan, dan mendidik dengan kasih sayang tampaknya menjadi kata kunci yang efektif bagi beliau dalam membantu para PSK keluar dari jebakan di lembah hitamnya. Soal ancaman pembunuhan? Sering beliau terima. Teror fisik? Juga pernah. Fitnah? Tak terhitung jumlahnya. Tapi dari kiprahnya ini kita tahu, apabila kelembutan kasih sayang, kecerdikan, dan harapan adalah tiga kata kunci yang bisa diolah menjadi sebuah prinsip dalam berdakwah.

Sudah, cukup? Belum. Kali ini lupakan sejenak gegeran soal antek asing aseng asu, teori konspirasi tjap tahi koetjing, Ahok si penis-ta, Bachtiar Nasir yang kabarnya menyuplai sumbangan bagi teroris di Suriah, dan embuh gegeran apalagi. Sejenak kita menengok aktivitas di Pondok Pesantren Milinium Roudlotul Jannah. Di pesantren yang beralamat di Jalan Raya Tenggulunan, RT 08/RW 06, Kecamatan Candi, Sidoarjo ini saban hari dipenuhi tangisan bayi. Sebab, Gus Mad alias KH. Muhammad Choirul Sholeh Effendi mengasuh sekitar 150 anak terlantar dan anak yatim. Sebagian besar merupakan anak terlantar yang sengaja dibuang oleh keluarganya.

Latar belakangnya juga bermacam-macam. Ada yang memang titipan orangtua kandungnya, ada yang berasal kiriman polisi dan juga dari orang lain. Sebagian lagi hasil ‘hunting’ Gus Mad sendiri. Gus Mad menyebut anak-anak asuhnya sebagai “Para Putra Langit”. Maksudnya? “Jika Putra Bumi, mereka tahu asal usulnya. Nah, ini anak-anak tidak tahu asal-usulnya, orangtuanya, dan sebagainya, maka kita sebut saja sebagai Putra Langit, karena mereka hanya tahu telah diciptakan oleh Allah,” kata Gus Mad berfilosofi.

Sebelum Gus Mad, kita juga mengenal almarhum KH. Abu Bakar Cholil yang juga melakukan kiprah kemanusiaan dengan merawat anak-anak terlantar, orang gila, pecandu narkoba, dan orang-orang bermasalah di pesantrennya, Ponpes Metal al-Hidayah Rejoso Lor, Pasuruan.

PEMBURU JENAZAH

Bersambung dengan cerita Gus Mad dan Kiai Abu Bakar, di Yogyakarta ada Pemburu Jenazah. Namanya Mas Chabib Wibowo. Masa kecilnya yang banyak dihabiskan di jalanan membuatnya mengerti benar alur berpikir serta kehidupan jalanan yang keras. Mengapa disebut Pemburu Jenazah? Sebab memang dia memang merawat dan mengubur jenazah-jenazah yang terlantar.

“Mas, ini ada jenazah terlantar. Tolong diurus. Lokasinya di….” kurang lebih demikian pesan singkat yang seringkali masuk ke handphone-nya. Dengan sigap, bersama beberapa sahabatnya, ia mengendarai ambulan menuju lokasi jenazah terlantar. Biasanya mereka adalah orang gila dan kaum gelandangan yang tak punya sanak famili, terlantar, lalu meninggal dalam kesendirian dan tiada yang peduli.

Baca Juga:  Pesantren Mahasiswa: Model Pendidikan Pesantren dan Perannya untuk Mahasiswa

Setelah mengurus jenazah ini secara Islam, Mas Chabib Wibowo lalu menshalati kemudian memakamkannya. Sunyi, sendiri, dan tiada rombongan pengantar dan pelayat. Kadang, tiap hari mereka berputar-putar keliling. Kalau ada laporan dari masyarakat Mas Chabib langsung meluncur. Mereka menemukan jenazah yang sudah meninggal di emperan toko, di pinggir kali, di tempat sampah dan berbagai tempat lainnya. Semua jenazah dibawa ke tempat tinggalnya, dimandikan, lalu dishalatkan. Karena mereka semua terbuang tanpa keluarga, Mas Chabib mengantar jenazah ini ke pemakaman sosial di samping Masjid Agung Bantul. Kadang hanya berdua bersama sahabat relawan, mereka menguburkan jenazah-jenazah terlantar itu. Sudah bertahun-tahun Chabib melakoni kerja sosial ini. Manakala ada info soal jenazah yang terlantar di wilayah Yogyakarta dan sekitarnya, ia akan menjemput dan memuliakannya.

Banyak yang menyebut Mas Chabib sebagai orang aneh dan “gila” karena dia memilih jalan hidup sebagai pengurus manusia yang terasing baik jenazah terlantar yang tak dikenal, orang gila, hingga anak-anak jalanan.

Mas Chabib adalah pimpinan Yayasan Hafara, yang sejak didirikan memang fokus pada kegiatan sosial. Hafara, menurutnya, adalah singkatan dari istilah dalam al-Qur’an yaitu Hadza Min Fadli Robbi atau ini adalah karunia dari Allah. Budayawan Emha Ainun Nadjib, yang hingga kini menjabat sebagai penasehat yayasan ini, adalah yang mengusulkan nama Hafara untuk pertama kalinya. Saat ini yayasan Hafara beralamat di RT.05 RW.17 Gonjen Tamantirto Kasihan Bantul, Yogyakarta.

**

Masih banyak jejak para penggerak ini. Ada Tunov Mondro Atmodjo, pemuda yang menggerakkan petani cabai untuk melawan mafia cabai dan berhasil meningkatkan kemandirian para petani cabai di Magelang; ada juga Masril Koto yang mendirikan Bank Petani di Agam Sumatera Barat; Suster Apung Andi Rabiah yang konsisten berjuang dengan berkeliling dari pulau ke pulau antara Sulawesi dan Flores; dr Lie A. Dharmawan yang mendirikan rumah sakit perahu alias rumah sakit apung dan secara rutin berkeliling di pulau-pulau terpencil dan melayani masyarakat secara cuma-cuma; Muhammad Sahidul Wathan yang menghidupkan kembali potensi kopi lokal Sembalun di Lombok Timur; I Dewa Bagus Putu Budha yang menggerakkan ekonomi mikro dengan menghidupkan kembali koperasi yang awalnya hanya beraset Rp 4 juta hingga kini berhasil mencapai Rp 67 miliar; Undang “Jack” Suryaman, tukang parkir yang berhasil mendirikan taman baca masyarakat, TK dan TPQ bagi anak-anak yang tidak mampu; Muhammad Saleh alias Alan, sopir bis malam yang mendirikan Madrasah Ibtidaiyah Darul Ulum Tololai, Bima, NTB; dan sosok-sosok inspiratif lainnya.

Mereka bergerak merealisasikan gagasannya, menularkan optimismenya, dan mengabdikan diri pada kemanusiaan. Pada satu langkah, mereka telah menjadi manusia terbaik versi Rasulullah, yaitu yang bermanfaat untuk manusia lainnya (anfa’uhum linnnas). Mereka bekerja dalam sunyi di tengah keberisikan politik di Indonesia. Indonesia masih baik-baik saja, yang belum baik adalah SAYA DAN ANDA!

WAllahu A’lam Bisshawab. []

Rijal Mumazziq Zionis
Pecinta Buku, Rektor INAIFAS Kencong Jember, Ketua LTN NU Kota Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini