Pancajiwa sebagai Akar Pendidikan Karakter Pesantren

Pendidikan. Sebuah kata yang tak terpisahkan dengan belajar. Biasanya, kita melihat kata “belajar” terlalu sempit. Seperti itu sesuatu yang harus dilakukan dengan menghafal, atau menyiksa batas waktu. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendidikan berarti pengetahuan, keterampilan, dan banyak hal positif untuk menjadikan diri kita pribadi yang lebih baik—dalam segala aspek. Sedangkan pengertian karakter yaitu kepribadian, watak setiap individu yang dibentuk oleh kebiasaan. dari kehidupan sehari-hari. Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah suatu sistem pendidikan yang berupaya menanamkan nilai-nilai norma sehari-hari masyarakat untuk membentuk karakter yang sesuai dengan norma-norma yang ada di masyarakat.

Mengapa pendidikan karakter begitu penting bagi kita? di era milenial ini, sangat mudah bagi kita sebagai generasi muda untuk mengakses semua informasi yang ada di dunia, dari informasi yang kita akses, tidak sedikit yang mengandung ideologi atau paham yang dapat merusak moral generasi muda dan masyarakat. kehidupan bangsa. Oleh karena itu diperlukan pembentukan karakter agar tidak terjerumus pada hal-hal yang tidak diinginkan dan tentunya untuk membentuk karakter yang berkualitas.

Bagaimana kita membentuk kepribadian masyarakat yang majemuk agar tidak ada perpecahan? Dalam hal ini kita bisa mencontoh pesantren yang berhasil menangani santrinya yang memiliki kekayaan budaya. Kekayaan budaya pesantren sebenarnya merupakan modal utama. Keberhasilan pendidikan karakter karena pendidikan karakter membutuhkan pembiasaan (habituation), keteladanan, dan lingkungan yang mendukung. Untuk membiasakan seseorang berpikir dan bertindak sesuai karakter yang diinginkan diperlukan pembiasaan secara terus menerus dengan pengawasan yang terus menerus. Hal ini dapat dilakukan secara efektif di pondok pesantren. Keteladanan dapat diambil dari dewan guru dan mengarah pada kepribadian kiai sebagai orang tua sekaligus guru. Dukungan lingkungan akan lebih mudah tercipta pada suatu kawasan yang dapat lebih steril daripada pengaruh eksternal negatif seperti yang terdapat pada pondok pesantren yang lingkungannya biasanya terpisah dari penduduk sekitarnya. Oleh karena itu, wajar jika Abdurrahman Wahid menyebut pesantren sebagai subkultur sosial

Baca Juga:  Pesantren: Menjaga Ketradisionalan dan Mengikuti Arus Zaman

Selain kekayaan budaya tersebut, dalam kehidupan dan proses pendidikan di pondok pesantren sebenarnya memiliki kondisi yang bernuansa pendidikan karakter, seperti: pembiasaan santri untuk sholat tepat waktu berjamaah untuk mendidik karakter disiplin, dan kewajiban santri untuk menjaga kebersihan. kebutuhan hidup sendiri sehari-hari seperti makan, mencuci pakaian dan mengatur keuangan untuk mendidik karakter mandiri, dan sebagainya. Pendidikan di pondok pesantren berlangsung selama 24 jam dengan agenda dan aturan yang jelas dan baku. Di sinilah muncul anggapan yang mengatakan bahwa pendidikan yang dilaksanakan di pesantren adalah pendidikan karakter dapat menemukan pembenarannya.

Lantas apa yang membedakan pesantren dengan lembaga lain dalam menyelenggarakan pendidikan karakter? Pesantren sendiri memiliki nilai-nilai karakter yang dilandasi oleh falsafah hidup pendidikan di pesantren. Prinsip-prinsip tersebut terangkum dalam semboyan pancajiwa yang melandasi dan mewarnai kehidupan santri, antara lain: keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, ukhuwah Islamiyah, dan kebebasan. Adapun kebebasan yang dimaksud dalam semboyan ini, yaitu kebebasan dalam berpikir, berbuat dan menentukan masa depannya.

Hanya saja dalam kebebasan ini sering ditemukan unsur negatif yaitu: jika kebebasan disalahgunakan, sehingga terlalu bebas (liberal), kehilangan arah dan tujuan atau prinsipnya. Di sisi lain, ada juga yang terlalu bebas (untuk tidak terpengaruh), berpegang teguh pada tradisi yang dianggap terbaik itu sendiri yang pernah menguntungkan pada zamannya, sehingga ia tidak mau membalikkan keadaan dengan perubahan zaman dan tidak memperhitungkan waktu di depannya. Akhirnya tidak lagi bebas, karena mengikatkan dirinya pada yang dikenal adil.

Maka kebebasan harus dikembalikan pada asalnya, yaitu dalam garis disiplin positif dengan penuh tanggung jawab, baik dalam kehidupan pondok pesantren maupun dalam kehidupan masyarakat. []

Haikal Atilla Lamid
Siswa MANPK Denanyar Jombang

Rekomendasi

1 Comment

  1. […] panjang. “hanya sebagai qiyas lo, atau pertimbangan, bukan satu-satunya cara memilih lembaga pendidikan dengan 4 hal di atas, tetapi ini sangat penting untuk diperhatikan. Pertama, lihat kekuatan […]

Tinggalkan Komentar

More in Opini