Bicara soal masyarakat tak lepas kaitan dengan Ibnu Khaldun, seorang cendikiawan muslim yang dikenal salah peletak dasar ilmu Sosiologi. Konsep besar Ibnu Khaldun dijelaskan di bukunya fenomenal Muqaddimah.
Konsep tentang masyarakat yang dikemukakan oleh Ibnu Khaldun tidak secara eksplisit memberikan definisi tentang masyarakat. Berbeda dengan cara buku sosiologi modern yang lebih mengenal istilah masyarakat. Ibnu Khaldun memahami masyarakat sebagai kumpulan manusia yang bersifat niscaya.
Tafsir manusia yang dikemukakan oleh Khaldun dapat diserap dalam konteks sosial diarahkan kepada pada karakter individu. Definisi itu dapat dimaknai bahwa perilaku berkumpul sebagai karakter sosiologis manusia dan itu pokok mendasar bagi kehidupan sebagaimana dan perilaku pokok lainnya seperti makan, minum, dan berkeluarga.
Dengan demikian masyarakat dapat diambil dari pemaknaan manusia, sebagai ke anggota mansyarakat, yang tidak dapat hidup tanpa bermasyarakat.
Mengenai pembagian masyarakat, Ibnu Khaldun secara langsung telah membagi masyarakat menjadi dua, yaitu Badui (al-badw) dan Hadar. Selanjutnya, ia memberikan definisi masing-masing sebagaimana tercermin dalam ungkapan ilm al-umranya.
Mengenal Badui
Dalam Paparan di Kitab Muqadimmah-nya, Ibnu Khaldun mendeskipsikan orang Badui sebagai berikut :
“…Mereka yang hidup dengan bertani dan berternak itu tentu terpaksa memilih menjalani kebaduian karena ia menyediakan lahan pertanian, persawahan, padang rumput, perternakan, dan lainnya, yang tidak terdapat di masyarakat hadar. Mereka menjalani kebaduian itu karena keniscayaan hidup mereka. Demikian pula, kumpulan dan kerjasama mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup keseharian yang meliputi bahan pokok, hunian, dan perlindungan hanyalah sebatas memenuhi kebutuhan dasar yang dapat menopang kehidupan saja, tidak lebih, sebab mereka memang tidak berdaya untuk memperoleh dari itu”
Paparan dari Khaldun, dalam buku Muqadimmah terkandung tiga unsur sosial pada diri masyarakat Badui. Pertama, profesi sebagai petani dan pertenak. Kedua, unsur kerjasama. Ketiga, kehidupan sederhana sebatas pemenuhan kebutuhan pokok kehidupan.
Secara sosiologis harus di tafsirkan pada diri profesi saja. Dalam realitasnya, petani atau peternak sebagai simbol kesederhanaan. Aktivitas ekonomi menjadi siklus kehidupan dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, bukan saja profesi petani atau peternak pada diri masyarakat badui, bisa saja profesi buruh, pedagang, jasa dan tukang.
Ibnu Khaldun mengambil contoh petani dan peternak karena mayoritas pada umumnya merupakan pekerjaan mereka geluti. Perilaku kehidupan sehari-sehari masyarakat Badui berkaitan dengan tabu, hukum, dan etika sosial lainnya, sebagai konsekuensi kebersamaannya dalam membela kebutuhan kelompok, juga menjadi seragam.
Persoalan individu menyangkut seluruh kebutuhan hidup, larangan individu, dan etika individu, termasuk sistem keagamaan yang menjadi dan menjelma menjadi etika masyarakat yang sama dalam kerangka sosial yang melindungi unsur kebutuhan dasar mereka itu dalam klan-klan.
Selanjutnya, Ibnu Khaldun mengelompokkan masyarakat ke dalam bagian-bagian yang didasarkan pada profesi dan tempat tinggal. Dari segi profesi, masyarakat Badui dapat digolongkan menjadi petani dan peternak. Sedangkan dari segi tempat tinggal mereka digolongkan menjadi masyarakat menetap dan di gua-gua.
Tempat tinggal mereka bukanlah rumah-rumah yang teratur, indah, luas dan mewah, melainkan sederhana dan apa adanya. Rumah hanya digunakan sebagai tempat berlindung dari terik matahari, serangan binatang dan bahaya lainnya. Rumah mereka pada waktu itu terbangun dari bahan-bahan wol, pelapah daun kurma, batang pohon, dan batu-batuan yang masih sangat kasar. Sebagian tinggal secara tidak menetap (mengembara atau nomad) di gua-gua atau lainnya.
Pada umumnya, para petani tinggal di perkampungan-perkampungan, desa-desa dan gunung-gunung padang pasir. Sementara itu, para peternak cenderung berpindah ke tempat lain. Alasan kepindahan itu pada umumnya rumput dan air dan dalam satu kawasan saja tidak cukup menghidupi hewan ternaknya, maka harus menghidupi dengan bergerak mencari sumber-sumber kehidupan ternak dan mencari kawasan yang dapat mendukung kelangsungan kehidupan ternaknya.
Dari cara hidup masyarakat Badui secara khusus pertenak muncul istilah dari Ibnu Khaldun, yaitu Hidup Nomad. Pada dasarnya bukan saja pertenak, tetapi para petani juga dapat mengambil cara hidup nomad ketika alam lingkungan tidak menjamin sumber kehidupan dan pertaniannya. Ini terjadi terus menerus dalam sistem sosial pada masyarakat Badui.
Relevansi
Bagaimana dengan konsep masyarakat pedesaan saat ini, apakah memiliki kemiripan dengan penggambaran Ibnu Khaldun tentang masyarakat Badui. Tentu, jika kita telisik pemikiran Ibnu Khaldun sekitar abad 13 akhir dan abad 14 awal, masih saja menjadi rujukan dalam melihat masyarakat di pedesaan.
Penggambaran di masyarakat pedesaan saat ini, secara profesi petani atau peternak. Kita dapat temukan di desa-desa yang masih mengandalkan sektor itu. Unsur kerjasama masih tetap dipertahankan. Kita mengenal istilah “Gotong Royong” atau “Kerjabakti”. Ini cara masyarakat dalam menyesaikan persoalan.
Kondisi individu menyangkut seluruh kehidupan hidup, larangan individu atau etika menjadi hal yang harus diperhatikan dalam kerangka masyarakat pedesaan saat ini. Sistem keagamaan menjadi prioritas yang dipegang dalam menjalankan tata kehidupan masyarakat saat ini.
Perbedaannya, mungkin istilah Hidup Nomad yang digunakan Ibnu Khaldun dalam menjelaskan para petani atau perternak dalam soal ketergantungan pada alam terkait aktivitasnya. Jika, masyarakat pedesaan pada umumnya melakukan Hidup Nomad karena ketergantungan pada sistem ekonomi. Mereka banyak pindah ke kota atau luar negeri untuk mencari kehidupan yang layak serta meningkatkan taraf ekonomi keluarga.
Dalam istilah kita mengenal dengan istilah “urbanisasi” atau “transmigrasi”. Hidup cara modern penggambaran masyarakat desa saat ini. Perubahan bisa saja terjadi yang meliputi bahasa, perilaku, adat istiadat akibat aktivitas di luar pedesaan. Misalnya, banyak warga desa yang pindah di perkotaan konsekuensi banyak terpengaruh rekan kantornya dalam hal pakaian yang lebih modern.
Demikianlah, konsep Ibnu Khaldun tentang masyarakat badui, penggambarannya masih bisa kita aplikasikan dalam realitas masyarakat pedesaan. Tentu, sikap dan karakter masyarakat Badui dominan kesederhanaan, menggantung kepada alam, profesi petani atau peternak. Pun-demikian, masyarakat pedesaan sama sekali tidak ada perbedaan. Hanya pola hidup Nomad yang beralih kepada pola masyarakat yang menginginkan kehidupan yang layak, maka banyak berpindah ke daerah mempunyai ekonomi yang baik. [HW]