Sering sekali saya mendengar cerita bahwa pada zaman dahulu, sebelum Islam datang, suara perempuan tak pernah didengar. Tapi kemudian Islam datang membawa kemuliaan untuk perempuan. Islam datang membawa ajaran dimana laki-laki dan perempuan memiliki porsi yang sama termasuk porsi untuk menjadi ber-ilmu.
Di dunia ilmu pengetahuan Islam, kita sering mendengar kata ulama. Kata ulama berasal dari bahasa Arab. Secara harfiyah, ulama adalah bentuk jamak dari kata ‘Aalim yang berarti orang yang berilmu. Maka, ulama bisa diartikan sebagai orang yang memiliki penguasaan terhadap ilmu agama.
Pada prakteknya di masyarakat, kata ulama identik dengan laki-laki. Saat ada seseorang yang mengatakan kalimat “mengaji pada ulama”, maka makna ulama yang terbersit dalam pikiran mayoritas orang adalah ulama laki-laki atau Kiai. Padahal kenyataannya, banyak sekali sosok perempuan yang memiliki keilmuan agama setara dengan laki-laki.
Salah satu hal yang paling saya syukuri dalam hidup adalah ketika saya ditakdirkan untuk menjadi salah satu murid dari seorang ulama perempuan yang luar biasa. Beliau adalah Nyai. Hj. Kholishotussariroh.
Para santri biasa memanggilnya Ning Lis. Ning Lis merupakan cucu dari mu’assis pondok pesantren Alfalah, Ploso, Kediri, -Simbah Yai Djazuli. Dalam kehidupannya, Ning Lis tidak hanya menjalankan peran sebagai bunyai yang mendampingi Kiai, tapi beliau benar-benar berperan sebagai ummahatil ma’had yang mengaji dengan santrinya setiap hari.
Disiplin ilmu yang diajarkan Ning Lis pada santrinya adalah ilmu faraidh. Saya rasa jarang sekali bunyai yang memilih untuk mengajar pelajaran seputar fiqih mawarits. Kebanyakan bunyai lebih tertarik mengajarkan kitab-kitab yang berkaitan dengan akhlak, hikmah, Al qur’an, atau seputar fiqih wanita.
Mengingat sulitnya ilmu faraidh, membuat kekaguman saya pada ke’aliman Ning Lis tak habis-habis. Masih segar dalam ingatan ketika dulu Ning Lis tak pernah berpikir lagi untuk membuat contoh-contoh soal dalam kasus ‘aul dan rodd. Atau ketika Ning Lis dengan begitu mengagumkan menjelaskan seputar munasakhot, ghorowain, sampai masalah jadd wal ikhwah.
Faraidh bukan sekedar matematika dan angka. lebih dari itu, faraidh adalah separuh agama. Butuh dzauq dan daya ingat luar biasa untuk menguasainya. Itu kenapa faraidh adalah ilmu pertama yang diangkat dari muka bumi ini. Ning Lis dan santri-santri nya adalah pejuang ilmu agama.
Selain ke’alimannya, yang lebih mengagumkan lagi dari sosok Ning Lis adalah pribadinya. Beliau adalah bunyai sejati. Hidupnya hanya untuk mengaji. Beliau tak butuh eksistensi. Beberapa tahun terahir ini, sudah sering saya mendengar sosok-sosok ulama perempuan berkumpul untuk mengukuhkan eksistensi perempuan dalam ilmu pengetahuan Islam. Tetapi Ning Lis tetap Istikamah mengaji di rumah.
Semoga kedepannya nanti, semakin banyak ulama-ulama perempuan yang kisah dan perjuangannya terdokumentasikan. Karna banyak santri putri yang butuh inspirasi dari bunyai. Dan semoga semakin banyak ruang dan akses bagi ulama perempuan untuk ikut terjun menjadi bagian di masyarakat.
Karena yang tidak banyak orang ketahui, banyak ulama perempuan yang memiliki kapabilitas intelektual, keilmuan, atau kemampuan menafsiri setara laki laki. Ning Lis, guru kebanggaanku, adalah satu dari ulama-ulama perempuan tersebut.
Bapakku aja tafa’ulan ngasih nama adik saya nama beliau & nama Mbah nyai
O ya? Semoga bisa mengikuti jejak beliau dab mbah Nyai ya