Multikultural-Multireligius dalam Mensikapi Dualisme Identitas ke-Indonesiaan

Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat di Indonesia. Sebagai agama terbesar di Indonesia, umat Islam memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga ketertiban, kesejahteraan dan kedamaian bagi seluruh rakyat Indonesia. Islam datang ke-wilayah Nusantara jauh sebelum Indonesia menjadi bangsa yang utuh, sesekali pun kita telah mencoba melihat dari berbagai sudut pandang sejarah yang beragam, tentang bagaimana Agama Islam datang ke Indonesia?, bagaimana proses mengapa Agama Islam hingga sampai saat ini masih eksis dan mempunyai pengikut yang notabene Agama Mayoritas di Indonesia. Rekonstruksi sejarah mengenai proses islamisasi di Indonesia ini mungkin masih perlu untuk dikaji secara mendalam dengan meramu data yang lebih komprehensif, tersaring, sekalipun tidak mudah untuk didapatkan.

Ketika memperbincangkan Agam Islam dalam bingkai Ke-Indonesiaan, Islam merupakan sebuah tema tanpa ujung. Sehingga permasalahannya adalah bagaimana cara mengaktualisasikan nilai-nilai Agama Islam ketika dihadapkan dengan realitas bangsa Indonesia. Dengan demikian, seorang muslim di Indonesia setidaknya memiliki tanggung jawab atas dualisme identitasnya. Pertama, sebagai seorang muslim wajib mengamalkan nilai-nilai Agama Islam. Kedua, sebagai warga Indonesia harus patuh dan menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila sebagai ruh ideologi Negara. Sehingga, seorang muslim di Indonesia harus mampu mengaktualisasikan nilai-nilai Agama sekaligus Pancasila ketika dihadapkan pada dualisme identitas sebagai warga negara Indonesia.

Indonesia sendiri sebagai sebuah bangsa, memiliki cerita dan sejarah yang begitu panjang. Secara simplistik jawaban tuntas mungkin tidak dapat diberikan. Indonesia baru muncul sebagai sebuah bangsa baru pada 1920-an, melalui semangat dan jerih payah agar terbebas dari Penjajahan, baru kemudian setelah memproklamasikan diri sebagai negara merdeka, pada 17 Agustus 1945, Pancasila dijadikan sebagai dasar ideologi kenegaraan, dan Bhineka Tunggal Ika sebagai semboyan negara Indonesia. Pancasila sendiri sebagai dasar negara pertama kali, yang diproklamirkan oleh Soekarno saat memberikan pidato sambutannya pada tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), hakikat pancasila sejatinya tertuang dalam teks resmi pembukaan UUD 1945. sehingga sampai saat ini, setiap tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahir Pancasila.

Baca Juga:  Peran Pesantren dalam Menangkal Radikalisme

Menurut Kaelan, nilai-nilai Agama dan juga ideologi Pancasila dapat diaktualisasikan di dalam bingkai ke-Indonesiaan, melalui penafsiran kata-kata kunci yang berkaitan dengan teks dan konteks. Kata-kata kunci ini juga akan memperlihatkan bagaimana teks dan konteks bekerja dan memberikan kontribusi atas realita dalam bingkai ke-Indonesia. Perumusan kata kunci diambil dari kelima sila Pancasila, yaitu: (1) “Ketuhanan” (Ilahiyyah) diambil dari sila I “Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) “Kemanusiaan” (Humanity) diambil dari sila II “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, (3) “Persatuan” (al- Ittihad) yang diambil dari sila III “Persatuan Indonesia”, (4) “Kerakyatan” (Democracy) diambil dari sila IV “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, (5) “Keadilan” (Justice) diambil dari sila V “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.

Selain itu, Agama Islam dikenal sebagai agama yang Rahmatan lil ‘alamiin, yang menjunjung tinggi nilai-nilai tasamuh atau toleransi. Toleransi beragama merupakan suatu mekanisme yang dilakukan manusia dalam mensikapi pluralitas keberagaman dalam beragama. Sehingga ini menjadi penting, sebagai sebuah negara multikultural-multireligius yang didalamnya terdapat berbagai golongan Agama, bermacam sub-kultur (budaya), guna untuk menciptakan interaksi sosial yang harmonis, Aman, nyaman dan kondusif serta menghindari isu-isu yang dapat menyebabkan terjadinya konflik antar umat beragama dalam Bingkai ke-Indonesiaan.

Allah berfirman dalam surah al- Hujuraat (49:13);

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَٰكُمْ شُعُوبًا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Artinya; “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Baca Juga:  Bendera Rasulullah untuk Indonesia

Artikulasi dari Nash Al-Qur’an tersebut mengisyaratkan bahwa Manusia adalah makhluk sosial yang diciptakan Allah S.W.T. berbeda-beda, mulai dari laki-laki, perempuan, dan berbagai qobilah (ras-suku) agar saling mengenal dan memahami satu sama lain. Kemudian sampel bahwa ajaran agama Islam mengajarkan nilai-nilai tasamuh (toleransi), tidak hanya terhadap sesama Agamanya sendiri akan tetapi juga dengan Agama lain, sebagaimana penjelasan Nash hadis berikut;

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: (لاَ تَحَاسَدُوْا، وَلاَتَنَاجَشُوْا، وَلاَ تَبَاغَضُوْا، وَلاَ تَدَابَرُوْا، وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ، وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخوَانَاً، الْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ، لاَ يَظلِمُهُ، وَلاَ يَخْذُلُهُ، وَلاَ يَكْذِبُهُ، وَلايَحْقِرُهُ، التَّقْوَى هَاهُنَا – وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ – بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسلِمَ، كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ). رَوَاهُ مُسْلِمٌ

Artinya: Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Janganlah kalian saling dengki, saling melakukan persaingan, saling membenci, saling membelakangi dan sebagian dari kalian menjual apa yang dijual saudaranya. Jadilah kalian semua hamba–hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, sehingga dia tidak boleh menzhaliminya, menghinanya, mendustakannya dan merendahkannya. Takwa itu letaknya di sini –sambil menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali– cukuplah seseorang itu dalam kejelekan selama dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram dan terjaga darah, harta dan kehormatannya.” (HR. Muslim)

Dan Nash Hadist musalsal bil awwaliyyah, Hadist ini dikenal di kalangan ulama ahli hadist dengan istilah hadis musalsal bil- Awwaliyah. penjelasan kitab mawa’idzul Ushfuriyyah. Karangan syaikh Abu Bakar  al- Ushfuriy.

عن عبد الله بن عمر رضي الله تعالى عنهما قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : الراحمون يرحمهم الرحمن، ارحموا من في الأرض يرحمكم من في السماء

Baca Juga:  Siapkan Calon Pemimpin Indonesia, NU Inggris dan Perkumpulan Kader Bangsa Kolaborasi Program

Artinya; “Orang yang memberi kasih sayang maka dia akan mendapatkan kasih sayang Allah, sayangilah orang yang di bumi, niscaya kamu akan dikasih sayangi orang yang di langit.” (H.R. Bukhari).

Wallahua‘lamu bi as-Showab. []

Luqman Khakim
Santri Ma'had Aly Pesantren Maslakul Huda

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini