Dalam menjalani hari demi hari, seringkali kita lelah dengan usaha atau perjuangan yang kita lakukan. Hal ini bisa diakibatkan banyak hal. Misalnya, energi yang semakin menipis, mengikisnya harapan atau bahkan melihat kompetitor yang begitu tangguh. Ibarat perang: mental, logistik, alutsista dan jumlah pasukan musuh kita lebih besar. Bisa juga karena kita “kalah” dalam suatu kompetisi tertentu.
Saya sendiri seringkali merasa begitu: lelah, merasa kalah, kehilangan semangat, inspirasi dan badmood. Sehingga pekerjaan yang mestinya diselesaikan seringkali tersendat atau bahkan terbengkalai. Di waktu-waktu seperti ini, yang saya lakukan biasanya bermalas-malasan, tidur siang malam, membaca buku terus-menerus atau menonton film sampai lupa waktu. Dua hal terakhir, meski “mendapatkan sesuatu”, tetapi tetap saja menurunkan produktivitas.
Dalam konteks yang lebih besar, organisasi atau lembaga, misalnya, juga hampir sama. Terkadang merasa “linglung,” baik karena faktor internal ataupun eksternal. Internal misalnya karena ada suatu problem komunikasi atau leadership. Eksternal, bisa karena melihat kompetitor, seperti di atas tadi, yang sudah sedemikian jauh melangkah. Dan tentu banyak faktor lain, yang intinya menurunkan semangat juang dan menjadikan kita cemen.
Lalu pertanyaannya: bagaimana agar kita bisa keluar dari posisi ini? Sebuah posisi yang tentu sangat tidak menguntungkan bagi proses kita dalam melakukan kerja-kerja kehidupan.
KH. Ahmad Bahauddin Nur Salim atau yang akrab disapa Gus Baha, dalam suatu kajiannya, pernah bercerita tentang seorang sahabat Nabi Muhammad Saw yang mengadu dalam Perang Khandaq karena kelaparan. Kontan saja, Nabi membuka bajunya, memperlihatkan perutnya yang malah-malah diganjal batu. Beliau ternyata lebih lapar dari sahabat tadi. Bedanya: Nabi tidak mengeluh.
Dalam peristiwa dramatis lain, sahabat cemen karena tangan dan kakinya luka karena perang lalu mengeluh kepada Sang Nabi. Dijawab enak saja. Kali ini, jawaban Nabi – mengutip ayat Al-Quran – begitu menggetarkan.
إِن يَمْسَسْكُمْ قَرْحٌ فَقَدْ مَسَّ ٱلْقَوْمَ قَرْحٌ مِّثْلُهُۥ ۚ
Terjemah Arti: “Jika kamu (pada perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada perang Badar) mendapat luka yang serupa…” (QS. Ali Imran: 140) .
“Orang kafir yang dhalim itu saja berani terluka, hanya demi kekafiran. Kamu yang katanya demi Tuhan luka begitu saja ribut tak karuan,” kata Gus Baha, membahasakan.
“Maling ayam, maling mangga, pokoknya maling, copet dan sebagainya, setengah empat (pagi) itu bangun, ya tidak kedinginan, pakai celana pendek mencuri ayam. Kalian sekadar tahajjud saja mengeluh kedinginan,” ungkapnya, memprovokasi kebaikan. “Jadi Allah itu sering punya tradisi orang dhalim itu dibikin satu perilaku, kemudian perilaku ini sebagai kaca bagi orang saleh,” imbuh Rais Syuriah PBNU ini, menganalogikan.
Melihat paparan di atas, saya menemukan beberapa point kesimpulan. Pertama, niat kita dalam melakukan suatu, entah kerja, entah perjuangan, mesti jelas orientasinya. Untuk dan karena siapa? Ini penting, karena niat itu – sebagaimana dalam hampir semua kitab fikih – selalu dikemukakan di muka. Ia amat menentukan arti sebuah capaian. Dalam konteks ini juga menentukan stabilitas dan konsistensi hati dalam meraih apa yang ingin diperjuangkan.
Kedua, bahwa dalam suatu perjuangan itu tak harus berhasil. Yang penting kita pantang menyerah: berjuang sampai titik darah penghabisan. Itulah yang dinilai, bukan sukses atau tidak, bukan menang atau kalah, bukan pula tercapai atau tidak. Sebagaimana wafatnya para pejuang – yang mungkin dianggap kalah – namun mendapat tempat terbaik di sisi-Nya sebagai syuhada’, seperti Sayyidina Hamzah. Mereka dinilai karena niat dan usahanya yang sungguh-sungguh.
Ketiga, jika kita lelah, menderita, sengsara dengan perjuangan kita, para perusak, musuh, koruptor, penjahat dan sejenisnya pun sama. Mestinya kita lebih bisa fight karena tujuan dan yang kita adalah jelas: kebaikan dan kebenaran.
Tak ada usaha yang sia-sia. Bahkan orang yang gugur dalam suatu pertempuran pun akan ada bayarannya, jika jelas orientasinya, yang diperjuangkannya. Dan ibarat perang, dunia inilah medan tempurnya. Kita adalah prajurit-prajurit yang berjuang untuk menang melawan musuh yang amat tangguh, yaitu diri sendiri.[]
Semarang, 14-11-2020.
[…] penyelesaian konflik ini, KH. Ahmad Bahauddin Nursalim dalam salah satu pengajiannya pernah menyampaikan, bahwa Indonesia adalah juaranya jika […]