Menyempurnakan Ngaji

Sampai saat ini, salah satu pesan dari bapak yang paling berkesan adalah dawuh sederhana yang tidak menggunakan bahasa arab. Justru menggunakan bahasa jawa ngoko, namun sangat jitu untuk mengarahkan saya dalam memperbaiki diri setiap hari. Dawuh itu adalah: “ndandani awak paling penak iku lewat ngaji (jalan memperbaiki diri yang paling mudah itu melalui ngaji)”.

Sudah lama sekali saya mengamini dawuh ini. Tak hanya mengamini, saya juga menerapkannya dalam kehidupan. Sejak awal mula kepulangan saya kerumah, saya sudah manut dan mengikuti dawuh bapak ini. Bapak tak pernah menuntut kami, anak-anaknya untuk bisa alim satu keilmuan atau menguasai satu keahlian. Namun beliau selalu berpesan kepada kami untuk mau tandang ngaji. Bila memang sudah mampu dan berani mengajar, maka kami akan ngaji dengan berposisi didepan, yaitu yang mengajar. Namun bila belum mampu, atau belum berani, maka kami diharuskan tetap ngaji dengan ikut belajar pada guru di pondok Kwagean.

Setelah beberapa tahun berproses mengaji, saya merasakan betul perubahan baik yang ada pada diri saya pribadi. Mulai dari keilmuan yang bertambah, hingga penambahan laku baik yang saya dapatkan dari ngaji. Saya yang dulu hanya tahu definisi fail, dan sedikit sekali hafal mufrodat bahasa arab. Kini perlahan mulai sedikit-sedikit tahu tentang ilmu nahwu, dan hafal beberapa mufrodat yang sering muncul dalam kitab-kitab kuning pesantren. Semua perubahan baik ini berproses dengan sangat alamiah dan sangat tidak memberatkan. Saya seringkali kaget, bagaimana saya bisa menjadi seperti ini.

Karena memang berproses dalam ngaji ini tidak terasa memberatkan.

Bila mufrodat atau kosa kata bahasa arab menambah dengan sendirinya karena sering dibaca hingga akhirnya akrab, pun yang terjadi dengan ilmu nahwu. Mulai tumbuh pemahaman dan insting nahwiah karena mungkin saking seringnya mengulang-ulang sorogan kepada teman-teman pengajian. Bahkan, ada tambahan ilmu laku yang saya rasakan bertambah seiring banyaknya ilmu yang saya temukan dalam ngaji.

Baca Juga:  Menciptakan Budaya Menanam dari Pesantren

Saya bahkan punya teori menjadi manusia lebih baik. Yaitu bila setiap hari kita ngaji hanya lima menit, dan dalam lima menit tersebut kita menemu satu ilmu yang baik, kemudian kita putuskan untuk mengamalkan dalam keseharian, maka akan ada minimal enam ilmu dalam laku yang kita tambahkan setiap minggunya (karena hari jumat biasanya ngajinya libur).

Dan bila kebiasaan ini kita lakukan rutin dalam sebulan, maka akan bertambah 24 ilmu laku yang kita tambahkan.

Bagaimana bila rutin ngaji dalam setahun? Maka akan ada minimal 240 ilmu yang diterapkan dalam laku. Inipun bila ada waktu libur dua bulan, yang biasanya ada dibulan sya’ban akhir hingga syawal pertengahan. Bila tidak libur, maka akan ada 288 ilmu laku baru yang akan kita dapat dan amalkan dalam setahun.

Saya tidak bisa membayangkan, bila kita mampu rutin seperti ini selama puluhan tahun dalam umur kita. Berapa ratus atau bahkan berapa ribu ilmu laku yang akan mewarnai laku keseharian kita. Mungkin, ketika sudah matang dalam proses mengaji seperti ini, seseorang akan layak disebut kitab berjalan. Karena disetiap tindak-tanduknya ada ‘kitab’ yang mendasarinya.

Kalaupun memang sudah banyak ilmu laku, atau laku yang sudah diilmui dalam keseharian, maka ilmu dalam ngaji ‘lima menit’ tadi akan menguatkan. Karena kadang kita sudah bisa melakukan kebiasaan baik suatu laku, namun tidak tahu dalil atau sumbernya.

Padahal ini hanyalah efek dari ngaji ‘lima menit’ setiap hari. Dan itupun kadang hanya ngaji kuping dan fikiran. Bagaimana ngajinya setiap hari lebih lama lagi. Juga tak sekedar mengajikan kuping dan fikiran saja, tapi juga hati dan sekujur tubuh kita. Jiwa dan raga hadir untuk tuma’ninah, anteng ngaji.

Baca Juga:  Ijazah Musalsal Bil Mushafahah, Berikut penuturan Alumni PPMH Gading

Memang ini adalah salah satu masalah yang timbul ketika ngaji sangat dipermudah oleh teknologi seperti saat ini. Kita bisa ngaji kepada siapa saja, tak terbatas jarak. Juga ngaji kapan dan dimana saja, tak terbatas ruang dan waktu. Namun justru ketidak terbatasan ini seringkali membuat ngaji menjadi tidak utuh lagi. Kita seringkali ngaji hanya kuping dan fikiran saja. Kita biarkan anggota badan yang lain tidak ikut ngaji.

Bila dalam ngaji tradisional, seorang murid akan duduk sopan dan menjaga sikap selama ngaji didepan gurunya, berbeda ketika kita ngaji dikamar. Seringkali kita ngaji dan mendengarkan guru atau kiai kita menerangkan suatu kitab, namun disambi dengan selonjoran bahkan tiduran. Tidak jarang malah disambi scrool-scrool timeline instagram mencari pemandangan indah ukhti-ukhti yang lewat di halaman (eh atau mungkin ini saya saja ya, kadang-kadang. Hahaha).

Kita memang butuh ilmu dan pengetahuan dalam mengembangkan kepribadian. Namun transfer ilmu ini tak cukup hanya dengan memindahkan teori saja, namun juga butuh akhlak dalam prosesnya. Sebelum memulai, ketika mengaji, dan juga setelahnya.

Saya seringkali mengingatkan diri sendiri disetiap hari, untuk selalu menjaga kehormatan ilmu dengan cara mengamalkannya, juga dengan cara menghormati para ahli ilmu. Terutama beliau-beliau, para ahli ilmu yang menjadi jalan kita berpengetahuan.

Mungkin ada sebagian orang yang menganggap takdzim kepada guru dengan menjaga sikap didepan ataupun dibelakang gurunya adalah sesuatu yang tidak relevan lagi. Namun saya meyakini, bahwa akhlak tidak akan pernah ketinggalan zaman. Dia akan selalu menjadi pembeda yang mengistimewakan para penjaganya.

Semoga kita bisa selalu menjaga diri dengan menambah ilmu setiap hari, dan mengamalkannya kemudian. Dengan tak lupa untuk selalu menjaga akhlak kepada para guru yang menghantarkan ilmu. []

Baca Juga:  Motivasi dari Gus Baha Agar Kita Tak Jadi Orang Cemen

#salamKWAGEAN

Muhammad Muslim Hanan
Santri Alumnus PIM Kajen dan PP Kwagean Kediri

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah