Press ESC to close

Menjemput Rezeki yang Halal: Refleksi Ramadan dan Kehidupan

Ramadan seringkali dianggap sebagai bulan penuh berkah, namun di sisi lain, ia juga menjadi momen yang menuntut banyak orang untuk bekerja lebih keras demi memenuhi kebutuhan keluarga. Tidak jarang, para suami dan istri berjibaku mencari tambahan penghasilan, seolah keutamaan Ramadan terasa klise di tengah tekanan ekonomi. Fenomena ini tidak hanya terjadi di lingkungan masyarakat umum, tetapi juga menyentuh kehidupan pesantren, di mana santri, ustadz, dan pengurus pesantren pun kerap dihadapkan pada tantangan untuk menjaga prinsip kehalalan rezeki.  

Rezeki, dalam konteks yang lebih luas, bukan hanya tentang jumlah uang atau harta yang dimiliki, melainkan juga tentang bagaimana cara memperoleh dan menggunakannya. Di lingkungan pesantren, misalnya, ada kecenderungan untuk mencari dana operasional atau bantuan dengan cara yang tidak selalu sesuai dengan prinsip kehalalan. Praktik seperti memanipulasi laporan keuangan atau menerima sumbangan dari sumber yang tidak jelas menjadi contoh nyata bagaimana rezeki yang tidak halal merambah ke ranah pendidikan agama.  

Sistem sosial yang mendewakan materi turut memengaruhi kehidupan pesantren. Santri mungkin merasa tertekan untuk membantu keluarga dengan cara instan, seperti bekerja di luar pesantren tanpa mempertimbangkan kehalalan pekerjaan tersebut. Ustadz pun tidak luput dari godaan untuk menerima sumbangan dari sumber yang meragukan demi kepentingan operasional pesantren. Hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai kejujuran dan integritas semakin tergerus oleh budaya instan dan materialistis.  

Baca juga: Doa Memperbanyak Rezeki dari Syaikhona Kholil Bangkalan

Fenomena ini semakin memprihatinkan ketika para ulama dan pengurus pesantren, yang seharusnya menjadi benteng moral, justru terlibat dalam praktik-praktik tidak terpuji. Di lingkungan pesantren, misalnya, ada oknum pengurus yang memanfaatkan dana sumbangan untuk kepentingan pribadi, atau menerima bantuan dari sumber yang tidak jelas asal-usulnya. Hal ini tentu bertentangan dengan prinsip kehalalan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh lembaga pendidikan agama.  

Lalu, bagaimana seharusnya kita menjemput rezeki yang halal, terutama di tengah sistem yang serba kompleks? Pertama, kita perlu mengingat bahwa rezeki yang halal tidak hanya membawa manfaat secara materi, tetapi juga ketenangan batin dan keberkahan. Dalam konteks pesantren, hal ini bisa diwujudkan dengan menjaga integritas dalam mencari dana operasional, mengelola keuangan dengan transparan, dan memastikan bahwa setiap sumbangan yang diterima berasal dari sumber yang halal.  

Kedua, kita perlu membangun kesadaran bahwa keberhasilan tidak selalu diukur dari materi. Seorang santri yang belajar dengan tekun dan jujur, misalnya, lebih mulia daripada mereka yang mencari jalan pintas untuk mendapatkan uang. Begitu pula dengan ustadz atau pengurus pesantren yang memilih untuk tetap konsisten pada prinsip kejujuran, meskipun harus menghadapi tekanan dari sistem.  

Ketiga, penting bagi kita untuk tidak terjebak dalam budaya "ikut-ikutan" atau "anggah-ungguh" yang berlebihan. Di lingkungan pesantren, misalnya, tidak perlu merasa minder jika belum mampu memberikan sumbangan besar atau membangun fasilitas mewah. Yang terpenting adalah tetap berpegang pada prinsip kejujuran dan kerja keras.  

Ramadan seharusnya menjadi momentum untuk merefleksikan kembali cara kita menjemput rezeki. Dalam konteks pesantren, hal ini bisa dimulai dengan menanamkan nilai-nilai kejujuran dan integritas sejak dini, baik melalui kurikulum pendidikan maupun praktik sehari-hari di pesantren.  

Selain itu, penting juga untuk menciptakan sistem yang mendukung terwujudnya lingkungan pesantren yang sehat dan berintegritas. Misalnya, dengan memperketat pengawasan terhadap penggunaan dana operasional, memberikan sanksi tegas bagi pelaku manipulasi keuangan, atau menciptakan mekanisme reward and punishment yang adil.  

Di tingkat individu, kita bisa memulai dengan membiasakan diri untuk selalu bertanggung jawab atas setiap tindakan. Misalnya, seorang santri yang memilih untuk bekerja paruh waktu di tempat yang halal, meskipun penghasilannya tidak besar, sebenarnya sedang melatih diri untuk menghargai proses dan hasil yang halal.  

Begitu pula dengan ustadz atau pengurus pesantren yang memilih untuk tetap konsisten pada prinsip kejujuran, meskipun harus menghadapi tekanan dari sistem. Mereka sebenarnya sedang menanamkan nilai-nilai luhur yang akan menjadi teladan bagi generasi berikutnya.  

Ramadan juga mengajarkan kita untuk lebih peduli terhadap sesama. Dalam konteks pesantren, hal ini bisa diwujudkan dengan membantu sesama santri atau ustadz yang kesulitan, baik dalam hal materi maupun spiritual. Dengan cara ini, kita tidak hanya menjemput rezeki yang halal, tetapi juga menebar kebaikan kepada orang lain.  

Terakhir, penting untuk selalu mengingat bahwa rezeki yang halal akan membawa keberkahan, tidak hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi keluarga dan lingkungan sekitar. Dalam konteks pesantren, hal ini bisa diwujudkan dengan menghasilkan lulusan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki integritas dan akhlak yang mulia.  

Dengan demikian, menjemput rezeki yang halal tidak hanya menjadi tanggung jawab individu, tetapi juga tanggung jawab kolektif. Mari kita jadikan Ramadan sebagai momentum untuk memperbaiki diri, baik dalam hal spiritual maupun profesional, agar kita bisa menjadi pribadi yang lebih baik dan bermanfaat bagi sesama.  

Semoga Ramadan kali ini menjadi momen untuk merefleksikan kembali cara kita menjemput rezeki, baik di dunia nyata maupun di dunia pesantren. Dengan begitu, kita tidak hanya meraih kesuksesan secara materi, tetapi juga keberkahan yang sejati.

Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, M.E.

Dosen UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

@PesantrenID on Instagram