Belum lama ini saya baca berita, ada kasus di Amerika Serikat di mana mahasiswa satu kelas gagal lulus karena terindikasi menggunakan bantuan ChatGPT dalam menyelesaikan pekerjaan perkuliahan. Sejauh yang saya tahu, ChatGPT adalah satu chatbot berbasis Artificial Intelligence (AI) yang ibarat kata bisa diajak ngobrol atau menjawab pertanyaan. Chatbot ini mengambil rujukan jawaban dari mana-mana sumber, yang menurut perkiraan sederhana saya, asal sudah terunggah ke dunia maya.
Beberapa orang bilang ke saya kalau chatbot ini bisa menampilkan jawaban yang halus dan rapi. Banyak orang pun melirik ChatGPT dan memanfaatkannya untuk digunakan dalam banyak bidang termasuk dunia tulis-menulis akademik. Karena kasak-kusuknya, dengan bantuan chatbot ini plagiarisme akan lebih susah terdeteksi, maka sebagian orang lebih memilih mencari ‘inspirasi’ bahan tulisan ilmiah dari chatbot ini dibanding dari search engine.
Tapi saya pikir, berdasarkan pengalaman saya, plagiarisme kadang-kadang juga bisa terindikasi tanpa detektor sekalipun. Lha misalnya, ada satu mahasiswa yang rekam jejak reputasinya biasa-biasa saja, tiba-tiba dia ini mengumpulkan sebuah tugas dengan substansi, bahasa dan teknik penyajian yang terstruktur bagus dan rapi. Masa iya, sih, pikiran saya tidak ke mana-mana?
Itulah makanya, kadang saya senang mengadakan ujian lisan, agar yakin bahwa mahasiswa memang sadar apa yang ia sampaikan. Teman dosen yang lain malah kembali ke masa lalu, meminta tugas tulisan tangan, agar meskipun entah dari mana sumbernya, tapi paling tidak mampir ke otak dulu sebentar sebelum ditulis.
Sambil lalu, soal ChatGPT, awalnya saya tahu chatbot ini karena dikenalkan oleh teman. Dia seorang dosen, sama-sama mengajar di satu kampus dengan saya, tapi di program studi yang berbeda. Bersama teman ini, yang namanya tidak perlu disebutkan, saya mencoba praktik bertanya-tanya kepada si chatbot dan hasilnya memang mengagumkan. Lalu saya coba lagi, bertanya tentang nama seorang dosen lain yang kebetulan saat itu ikut nimbrung. Yang ini dosen satu program studi dengan saya dan akan saya sebut namanya. Saya ketikkan nama ‘Mohammad Rofiqi’. Eh, ternyata ChatGPT tidak bisa menjawab, mungkin karena belum kenalan.
Tapi meski saat itu belum kenal ‘Mohammad Rofiqi’, saya yakin si chatbot AI ini akan semakin spektakuler perkembangannya. Perkembangan teknologi tak akan terbendung dan produk-produk AI yang lain kiranya akan terus lahir di mana kecerdasannya tak terduga lagi ternyana. Kemudian, karena latar belakang dunia di mana saya beraktivitas tak lepas dari bidang keagamaan, maka pikiran saya soal AI pun kemudian melayang ke lingkup keagamaan.
***
Pada diri saya ini, ada sedikit bau-bau dunia pesantren. Lalu saya pun berpikir bagaimana nanti peran pemuka agama di lingkungan pesantren, yaitu kyai, di tengah derasnya perkembangan teknologi AI. Saya menyebut pak kyai di sini maksudnya sekedar sebagai representasi, bukan berarti menafikan peran para aktor lain di dunia pesantren. Soal pemuka agama di pesantren, bisa saja juga tentang bu nyai, gus, ning, ustadz, ustadzah dan yang lain. Juga pun, pembahasan saya ini juga mungkin tetap relevan untuk dikaitkan dengan para pemuka agama Islam yang ada di luar pesantren. Kita tahu, kyai pun tidak semuanya adalah pengasuh pesantren.
Kembali soal AI, tentu saja hal ini terkait dengan kecerdasan. Secara sederhana, cerdas bisa berarti hafal dan tahu banyak hal. Bicara soal agama, kecerdasan adalah hal yang tak lepas dari sosok-sosok penting dalam Islam. Dalam kajian kenabian misalnya, kita kenal ada faṭānah atau kecerdasan sebagai salah satu sifat wajib seorang nabi. Dalam Ilmu Hadits, periwayat hadits yang unggul mesti bersifat ḍābiṭ yang kira-kira makna sederhananya adalah cerdas dengan memori yang kuat. Juga misalnya dalam Ushul Fiqh, para ulama mensyaratkan bahwa seorang mufti atau mujtahid mesti memiliki kecerdasan dan telah mencapai tingkatan tertentu sebagai orang yang ‘alim.
Bagi seorang kyai, menjadi ‘alim adalah hal yang mesti dicapai, meskipun berbeda-beda tingkatan dan spesifikasinya sesuai konteks keumatan. Yang belum jadi kyai, masih menjadi santri atau pelajar, bisa disebut sebagai santri yang ‘alim. Seorang gus sebagai calon pengganti ayahnya yang kyai, bisa juga disebut sebagai gus yang ‘alim. Kadang kyai yang benar-benar ‘alim akan disebut sosok yang telah mencapai level tabaḥḥur atau kira-kira artinya ‘meluas dan mendalam bagai samudera’ yang dalam Bahasa Jawa disebut nyegara.
Tentu label ‘alim ini diperoleh melalui proses pembelajaran yang panjang dengan sekian banyak kriteria. Senarai ilmu yang mesti dikuasai dalam dunia pesantren sungguh begitu banyaknya. Ada Al Quran dan Al Hadits sebagai sumber-sumber utama yang mesti dikaji dengan sekian cabang ilmunya masing-masing. Aqidah, fiqih, akhlaq, masing-masing juga punya cabang-cabang ilmu. Ada ilmu kebahasaan yang juga tidak sedikit cabang-cabang ilmunya. Banyak rumpun ilmu, dengan segala cabangnya, dimuat dalam kitab-kitab yang juga tidak sedikit, bertingkat-tingkat sesuai jenjangnya. Tidak hanya dipahami, beberapa materi perlu dihafalkan sebagaimana Al Quran, Al Hadits, serta ilmu-ilmu lain yang kadang termuat dalam format syair-syair atau manẓūmah.
Saking banyaknya cabang ilmu dalam dunia pesantren, terkadang pesantren atau kyai akhirnya dikenal dengan spesialisi. Satu pesantren terkenal menonjol di satu rumpun ilmu tertentu,. Ada pesantren Al Quran, ya konsentrasinya hafalan Al Quran serta penguasaan ilmu-ilmu Al Quran yang lain. Ada istilahnya pesantren kitab, dengan konsentrasi penguasaan cara membaca dan memahami kitab-kitab klasik yang mencakup beragam cabang ilmu Islam. Tidak hanya jenis pesantren Al Quran atau pesantren kitab, bahkan ada pesantren yang spesifik terkenal dengan bidang ilmu tertentu.
Soal kyai juga begitu. Ada kalanya orang bilang, kalau mau belajar tauhid ke kyai ini, kalau belajar fiqih ke kyai ini, ilmu nahwu ke kyai ini, dan seterusnya. Sebagaian kyai pada akhirnya menekuni bidang ilmu masing-masing secara spesifik, karena memang sungguh tidak mudah menguasai seluruh cabang-cabang ilmu agama Islam. Namun ini bukan berarti seorang kyai ‘spesialis’ tidak menguasai ilmu-ilmu yang lain sama sekali. Ini sekedar masalah pendalaman di satu bidang ilmu tertentu.
Seorang kyai yang ‘alim juga sudah semestinya mampu mengkontekstualisasikan khazanah keilmuan yang ia kuasai itu dengan kondisi riil yang dihadapi oleh umat. Kyai yang ‘alim tidak hanya mampu menjawab pertanyaan soal perkara yang sudah dibahas sebelumnya, namun ia juga bisa menjawab pertanyaan yang benar-benar baru dengan rujukan substansi maupun metode dari khazanah keagamaan Islam, baik klasik maupun kontemporer, yang ia kuasai.
***
Yang kemudian saya pikirkan adalah bagaimana jika kecerdasan kyai dalam bidang agam Islam nanti akan digeser oleh kecerdasan robot AI. Saya ingat berita waktu itu tentang bagaimana robot AI mulai menyaingi posisi seorang grandmaster catur. Di tahun 1997, warta berita mengabarkan kalahnya Garry Kasparov dalam permainan catur melawan robot bernama Deep Blue. Saat itu memang masih kaget rasanya menyadari manusia dikalahkan kecerdasannya oleh robot. Namun lama-kelamaan, tidak bisa kita elakkan lagi kenyataan bahwa kecerdasan robot bisa bersaing dengan kecerdasan manusia.
Coba bayangkan, jika ada satu robot berbasis AI yang hafal dan tahu tentang sekian banyak hal dari materi ilmu-ilmu keagamaan Islam. Si robot ini misalnya hafal Al Quran, dengan segala variasi qira’at (bacaan) yang jumlahnya tujuh atau yang sepuluh itu. Materi tajwid sampai ulumul Quran yang lain juga dia kuasai. Ilmu tata Bahasa Arab tak ketinggalan; Alfiyyah Ibni Malik, Al Jauhar Al Maknun dan lain-lain dia hafal. Ilmu tauhid dan mantiq, fiqih, ushul fiqih, qawa’id Fiqhiyyah juga maqashid syari’ah, akhlaq serta tasawwuf juga iya. Pokoknya semuanya dikuasai.
Robot ini bisa memberi jawaban ketika ditanya soal hukum fiqih. Dia juga bisa diminta memberi kultum, ceramah tausiah sampai mau’idzah hasanah. Diminta membaca doa, dia juga bisa. Yang terakhir disebut ini bahkan sudah terjadi, meskipun baca doanya belum rapi. Saya pernah menonton video sekumpulan anak muda entah dalam momen apa. Pas butuh pembacaan doa, mereka tanya Google dan doa kemudian dibaca oleh Mbak Google yang suaranya khas situ.
Intinya, bayangan saya ialah tentang adanya satu robot yang begitu cerdas, hafal dan tahu banyak tentang materi agama, sampai-sampai semua orang punya robot AI sendiri untuk urusan agama. Bahkan, sampai saya bayangkan bahwa robot ini berupa satu hal yang bisa ditanam dalam diri manusia. Jadi tiba-tiba seorang manusia yang awalnya tidak punya pengetahuan apa-apa, kemudian ‘kerasukan’ robot AI dan tiba-tiba jadi hafal sesuatu. Khayalan ini mungkin masih terbaca aneh, tapi kita tidak tahu bagaimana perkembangan teknologi nanti. Yang sebelumnya tak terbayangkan, ternyata bisa saja menjadi kenyataan.
***
Jika keadaan kemudian seperti itu, penguasaan ilmu bisa tergeser oleh AI, lalu bagaimana peran pak kyai pemuka agama? Menurut saya, kemajuan teknologi AI tidak perlu dianggap oleh seorang kyai sebagai kompetitor, namun sebagai mitra sejawat. Berdasar pada pengalaman-pengalaman sebelumnya, ada produk-produk teknologi menyangkut agama yang awalnya, saat baru muncul, disikapi dengan resistensi oleh umat, namun pada akhirnya juga diterima. Teknologi ini tidak akan ditolak asal digunakan sesuai porsinya dan penggunaannya bertujuan positif.
Dulu, suatu saat di awal tahun 2000-an, saya ngobrol dengan seorang teman yang pernah mengenyam pendidikan pesantren, tentang fenomena bahtsul masa’il. Saya cerita tentang Mbah Sahal atau K.H. Sahal Mahfudh, juga soal gaya baru peserta bahtsul masa’il tanpa bawa kitab tapi bawa laptop. Kata teman saya waktu itu, bahtsul masa’il dengan laptop itu bermasalah dalam hal berkah. Sekarang, saya kira sudah tidak ada lagi yang mempermasalahkan kegiatan buka kitab melalui gawai.
Teknologi terkait agama tak perlu ditolak asal tidak digunakan di luar konteks dan dengan untuk tujuan negatif. Dulu di Indonesia tahun 1970-an pernah terjadi prank tingkat nasional di mana seorang perempuan mengaku hamil dan bayi di dalam kandungannya bisa melantunkan ayat-ayat Al Quran. Setelah ditelusuri ternyata bunyi yang ada berasal dari suara kaset. Ini adalah contoh di mana teknologi mutakhir yang berhubungan dengan agama saat itu, yaitu kaset berisi rekaman bacaan Al Quran, malah digunakan untuk tujuan negatif.
Nah, misal teknologi melahirkan robot yang hafal dan tahu banyak soal agama, seorang pemuka agama tetap mutlak dibutuhkan perannya, karena eksistensinya tidak melulu berhubungan dengan soal kecerdasan kognitif. Dalam soal ritual keagaman umat Islam contohnya, fiqih mensyaratkan adanya peran manusia di dalamnya, di mana pada akhirnya para pemuka agamalah yang akan mengambil peran itu. Seorang kyai tetap akan dibutuhkan umat sebagai semisal imam shalat, sebagai khatib sampai wali nikah. Secerdas-cerdasnya robot, urusan taklif atau beban hukum syariat menurut Islam bukanlah tanggungan dia.
Di luar ritual keagamaan, mungkin robot masih bisa mengambil peran-peran kyai lain. Namun demikian, efektivitasnya masih perlu diuji karena semuanya tidak hanya terkait hafalan dan pengetahuan. Jika seorang kyai banyak didatangi tamu karena doanya dianggap mustajab, lebih manjur dari doanya Mbak Google, ini bukan sekedar soal hafalan doa. Robot bisa saja memberikan saran berdasar analisis politik, namun fenomena kyai diserbu banyak orang menjelang dan di tahun politik, tentu juga bukan sekedar perkara analisis politik saja.
Tentang ketokohan seorang kyai, urusannya memang bukan cuma kecerdasan kognitif dan kemampuan memimpin ritual keagaamaan. Taruhlah misalnya kajian Clifford Geertz tentang kyai yang berperan sebagai ‘cultural broker’, kajian Zamakhsyari Dhofier tentang kyai dalam ‘merawat ideologi’, atau kajian Pradjarta Dirdjosanjoto soal kyai yang mengambil peran ‘memelihara umat’. Tentunya semua ini tidak hanya perkara kyai dalam hubunganntya dengan kecerdasan kognitif ataupun kepemimpinan dalam ritual keagamaan. Seorang kyai juga punya peran spiritual sekaligus sosial dan kultural yang susah tergeser oleh kehadiran robot AI
***
Satu hal lagi yang saya pahami sejauh ini adalah bahwa robot masih belum mampu menandingi manusia dalam soal perasaan. Waktu itu, pada saat perkembangan kapasistas hard disk drive komputer sampai mencapai kapasitas terabyte, seorang teman saya dibuat terkagum-kagum. Kata dia, betapa hebat komputer dibanding otak manusia, dalam urusan memuat dan mengolah data. Saya hanya diam namun membatin “kalau manusia dipukul bisa marah, kalau komputer dipukul ya anteng-anteng saja.” Marah itu adalah salah satu bentuk kehebatan manusia, batin saya.
Masih terkait perasaan, menurut ajaran agama, manusia dibebani taklif dan akan mendapat reward maupun punishment justru karena dia sendiri juga diberi hawa nafsu. Sampai saat ini, saya belum tahu adanya robot yang diberi program hawa nafsu. Sebaliknya, bagi manusia hawa nafsu ini adalah tantangan yang jika dia mampu kendalikan, dia terhidar dari punishment, mendapat reward, makin dekat kepada Allah dan dapat meraih riḍā dari-Nya. Urusan hawa nafsu dan perasaan ini tentu saja hubungannya erat dengan terma-terma semisal batin, jiwa, hati dan sejenisnya. Hal-hal ini adalah elemen ‘terdalam’ dalam diri manusia yang keberadaannya jelas signifakan dalam perkara agama.
Satu hadits Nabi yang termuat dalam Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim memberikan pelajaran tentang tiga matra kehidupan seorang Muslim yaitu, islam, iman dan ihsan. Matra islam banyak berkait tentang peribadatan hamba Allah yang tak lepas dari aspek marterial-fisikal. Matra iman berkait tentang keyakinan dan kepercayaan yang dimiliki oleh hamba Allah. Sementara itu, ihsan memberikan penjelasan bagaimana tata batin seseorang sebagai hamba Allah. Matra ihsan diterangkan terakhir, menurut saya karena urusan batin itulah yang paling susah.
Matra Islam bisa dikatakan paling susah teorinya, namun jika sudah dikuasai, praktiknya akan lebih mudah dibanding teorinya. Matra iman ada di tengah-tengah dengan tantangan untuk memengang teguh keyakinan dan sekaligus menyokongnya dengan penalaran. Sementara itu, matra ihsan boleh saja dianggap mudah di tataran teori, tapi paling susah di tataran praktik. Tidak terbayangkan bagaimana sebuah robot AI bisa mempraktikkan hal yang ketiga ini, mengolah aspek ihsan dengan melakukan olah batin.
Dalam diskursus Filsafat Islam, Abid Al Jabiri dalam Bunyat al Fikr al `Arabi menyebut bahwa secara epistemologis tradisi Islam mengetengahkan tiga sumber pengetahuan yaitu; bayan, burhan dan irfan. Bayan terkait tentang teks keagamaan, burhan terkait logika sementara irfan terkait olah jiwa atau batin atau hati. Dengan kacamata filosofis sedemikian, berarti sesungguhnya hati pun sebenarnya adalah sumber pengetahuan, tetapi pengetahuan yang sudah ‘next level’. Itulah kenapa dalam tasawwuf, istilah ma’rifat yang secara leksikal berarti pengetahuan itu dimaknai sebagai ‘pengetahuan yang tidak biasa’. Nah, ‘pengetahuan tidak biasa’ inilah yang tidak bisa disentuh oleh Robot AI.
Ruang-ruang yang tak tersentuh oleh robot AI inilah yang akan terus menjadi medan perjuangan seorang kyai. Soal hafalan dan analisa, bolehlah kecerdasan robot yang menguasai. Tapi bagaimana menjaga iman, mengelola hawa nafsu, melawan godaan hingga mendekatkan diri kepada AllahnSWT, sang kyai lah yang bisa memberikan contoh bagi umat. Robot AI tidak bisa menjadi contoh panutan bagi umat dalam mengendalikan nafsu, karena memang ia tidak memiliki hawa nafsu. Robot AI ibarat malaikat yang seperti teman saya di sekolah dulu pernah bilang bahwa “malaikat itu sudah diprogram”.
***
Pada intinya saya memandang bahwasanya kecanggihan AI saat ini tidak bisa sepenuhnya menggeser peran pemuka agama Islam termasuk seorang kyai. Hal ini adalah salah satunya karena Robot AI tidak punya perasaan dan hawa nafsu. Maka masih ada ruang-ruang yang tidak bisa diambil alih dari seorang kyai. Ini bukan hanya soal peran seorang kyai dalam ritual keagamaan saja, namun bagaimana dia menjadi teladan bagi umat. Kalau pemuka agama hanya bisa memberi teori tanpa teladan, maka robotpun bisa. Masa iya, keteladanan pun harus diharapkan dari sebuah robot? Bagaimanapun, robot bisa saja jadi ahli dalam pengetahuan agama, tapi tak bisa beragama.
Memang saya samar-samar mendengar berita soal Robot AI yang mulai memiliki perasaan. Namun dugaaan saya, kompleksitasnya masih belum bisa seperti perasaan manusia. Tapi pikiran saya tidak bisa ditahan untuk tidak terus mengembarakan khayal. Saya membayangkan ada Robot AI berperasaan, seperti Sonny dalam film I, Robot (2004), yang pelakon utamanya adalah Will Smith. Dalam film itu, perasaan Sonny yang meskipun belum ‘sophisticated’, sungguh sudah bisa bikin tatanan dunia robot menjadi cukup terguncang. Sonny sendiri oleh penciptanya didesain berperasaan, berbeda dari robot yang lain, justru dalam rangka menjaga peri kemanusian dari desakan peri kerobotan.
Coba bayangkan adanya emosi dalam diri robot yang entah itu artifisial atau hasil evolusi dari kecerdasan. Emosi ini bisa bikin robot jadi bahagia, senang, susah, takut, cemas, stress, marah, sombong, malu dan seterusnya. Lalu robot ini juga punya hawa nafsu artifisial, punya keinginan berkuasa, mengeruk kepemilikan, mencari ‘pleasure’dan seterusnya. Robot ini juga kemudian punya jiwa, yang akhirnya punya sipritualitas, kenal agama, menjadi robot yang saleh, rajin beribadah, menahan hawa nafsu dan meninggalkan perkara-perkara duniawi. Sang robot juga nanti bisa punya sifat sabar, tawakkal, dermawan, jujur, berakhlak mulia kepada manusia dan seterusnya. Lalu manusia mulai menjadikan robot ini sebagai teladan dalam hal agama.
Lalu… Ah, sudah, sudah! Stop, stop, stop! Mari kita hentikan khayalan ‘mengerikan’ ini. Akan terjadi atau tidak, mana kita tahu. Lalu bagaimana kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi? Allāhu a`lam. Kita pikir saja lagi nanti. Atau coba saja tanya ChatGPT. []