Kali ini saya hanya bisa mengintip para kyai NU membahas masalah mengkaji lagi waktu ibadah haji. Sebab di lain ruangan (Zoom) saya menjadi nara sumber bedah buku Fikih Qurban yang diadakan oleh Masjid Ainul Yaqin, UNISMA.
Awalnya saya sedikit skeptis melihat nara sumber yang sepertinya tidak berimbang. Kyai yang mewakili santri bersarung hanya Kyai Afif. Sementara kyai-kyai lainnya sudah lebih progresif dalam hal pemikiran baru dalam Islam.
Anggapan saya salah besar. Sebab Katib Am PBNU, Gus Yahya, benar-benar berdiri di tengah. Sehingga penentunya adalah Gus Nadir, kemana beliau memiliki kecondongan antara kepada Kiai Afif ataukah ke Kiai Masdar. Kebetulan saya menemukan beberapa kali forum Bahtsul Masail yang selalu “berbeda posisi” berdirinya. Anehnya beliau berdua tetap akrab jika selesai diskusi.
1. Pendapat KH Afifuddin Muhajir
Beliau yang ahli dan pakar Ilmu Ushul Fiqh dalam menyampaikan ilmunya tidak sampai bersebrangan dengan hasil ijtihad ulama Madzhab Syafi’i terdahulu. Soal ibadah haji Yai Afif tetap berpendapat seperti mayoritas ulama bersama dengan dalil-dalilnya.
2. Pendapat KH Masdar Farid
Ini adalah pendapat yang sudah lama beliau gagas. Saat ini disampaikan lagi karena ada momentum penundaan ibadah haji karena Covid-19.
Menurut beliau waktu ibadah haji tidak terbatas pada 9 Dzulhijjah saja, boleh dilakukan selama dalam bulan-bulan haji. Dan dalil Al-Qur’an dijelaskan dalam hadis bahwa bulan-bulan haji itu dimulai sejak Syawal, Dzulqa’dan dan Dzulhijjah.
3. Pendapat Gus Nadir
Kalau argumen yang disampaikan oleh Kyai Farid masih tetap argumen lama yang beliau sampaikan, ternyata argumen Gus Nadir lebih terupdate. Kemana arah pendapat beliau?
Pertama, soal waktu pelaksanaan. Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam pernah melakukan shalat wajib tertunda dari awal waktu. Ini menunjukkan bahwa waktu shalat ada kelonggaran waktu. Tapi soal haji, apakah Nabi pernah menunda Wukuf di Arofah? Tidak pernah. Dalam hadis lain pun Nabi tidak menyatakan ada waktu Wukuf selain tanggal 9 Dzulhijjah tersebut.
Kedua, rangkaian ibadah haji dari Wukuf tidak berhenti di situ saja, tapi ada rangkaian mabit (bermalam) di Mina dan Muzdalifah, dan waktunya pun dijelaskan pada saat 10 Dzulhijjah dan hari Tasyriq. Jika dilakukan di luar bulan Dzulhijjah maka bagaimana cara bermalam di Mina dan Muzdalifah tadi? Akhirnya kita tahu pendapat Gus Nadir tidak ‘mendongkel’ cara pandang Fikih yang telah mendarah daging di ulama Syafi’iyah, khususnya Nahdliyyin.
Catatan Penulis Embongan:
Kita tahu dalam kenyataan ijtihad ulama soal haji ada banyak kelonggaran. Mina yang dulu sempit, kini diperlebar menjadi Mina Jadid. Tempat Sa’i dirombak total, dulu yang 2 jalur berangkat balik ke Shofa Marwah kini jadi satu arah, arah baru membuka jalur sendiri. Soal waktu lempar jumrah, badal dalam rukun dan wajib haji akan ditemukan seabrek pendapat ulama. Kita tinggal memilih jika kesulitan dengan keadaan saat pelaksanaan.
Namun dari semua longgarnya khilafiyah kita belum menemukan usulan pendapat ulama klasik mulai dari Maroko sampai Merauke, dari Madinah sampai Madura, yang berpendapat memindah waktu haji dan 9 Dzulhijjah ke bulan lainnya. Sebab Nabi shalallahu alaihi wasallam bersabda:
ﺧﺬﻭا ﻋﻨﻲ ﻣﻨﺎﺳﻜﻜﻢ
“Ambillah tata cara haji kalian dariku” (HR Muslim, redaksi hadis terdapat dalam riwayat Al-Baihaqi). [IM]