Kita selalu berpikir atau dalam benak kita menanti datangnya seorang mesiah, ratu adil, satria piningit atau yang sejenisnya dalam setiap permasalahan yang melanda kehidupan sosial kemasyarakatan kita. Di saat “terancam” keadilan, kesejahteraan dan keamanan kita sebagai seorang manusia. Kita selalu menggantungkan masa depan dan solusi dari permasalahan-permasalahan yang ada kepada satu orang. Tanpa kita sadari, bahwa perubahan adalah sebuah tugas kolektif.
Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan mereka sendiri. Bukankah firman tersebut sudah cukup jelas? Bahwa perubahan menuntut adanya kerjasama kolektif di antara kita semua.
Seperti halnya yang kita ikuti di media massa, tentang kekejaman Israel yang membabi buta terhadap warga Palestina, tentu kita merindukan datangnya Imam Mahdi, datangnya seorang juru selamat yang akan mencabik-cabik para zionis biadab itu.
Tapi, di satu sisi, apakah kita (sebagai sebuah komunitas muslim) sudah mencoba untuk berbenah? Sudahkah kita mengintrospeksi diri kita? Sudahkan kita mencoba merubah nasib kita sendiri agar Allah memberikan kita pertolongan-Nya? Apakah moral dan akhlak kita sudah bisa mengembalikan masa kejayaan Islam itu?
Sayangnya, kita terlalu fokus pada “sosok figur” yang akan memberantas semua kejahatan di muka bumi. Sosok “manusia super” yang kedatangannya akan membawa pengaruh signifikan terhadap kelangsungan jagad dan umat.
Mari kita membaca Sejarah
Dalam buku Hakadza Dhahara Jiil Salahuddin wa Hakadza ‘Aadat al-Quds karya Dr. Majid Kailani, dijelaskan bagaimana keadaan dan dinamika sosial-politik umat Islam ketika terjadinya gelombang Salib Pertama (1095-1099 M.).
Pada waktu itu, umat Islam terpecah baik secara politik, sosial maupun pemikiran. Hal yang paling signifikan adalah banyaknya pemikiran sektarian yang menjangkiti umat, baik dari kalangan ulama maupun awam. Ulama yang seharusnya menjadi teladan dan obat malah menjadi sumber penyakit yang memperparah keadaan.
Dr. Majid Kailani menyebutkan: “Sejak paruh kedua abad 5 H, para pengikut dari berbagai mazhab terlibat dalam perselisihan yang menyia-nyiakan usaha seluruh pihak dalam hal-hal yang tidak bermanfaat. Hal ini mengakibatkan aspek budaya dan sosial menjadi pasif (negatif) serta menyuburkan taklid dan jumud. Kesatuan umat terpecah dan terbagi dalam golongan-golongan yang saling bertikai dan bertentangan. Masalah-masalah besar umat tersingkirkan, bahkan menjadi sampingan dalam pandangan mazhab dan kelompok tersebut.”
Persatuan umat terpecah karena adanya fanatisme mazhab, golongan ataupun kedaerahan yang mengedepankan kepentingan masing-masing. Setiap dari mereka mengklaim bahwa mereka merupakan representasi umat muslim yang “paling benar” padahal sejatinya hanya terjebak dalam doktrin para imam mazhab yang menginginkan jabatan-jabatan di pemerintahan. Kelompok-kelompok itu dibentuk untuk menjilat penguasa dan mendapatkan jabatan-jabatan strategis yang akan mendulang popularitasnya di tengah masyarakat. Karena inilah, para ulama dan pelajar terdisorientasi terhadap tujuan utama untuk belajar dan mencerdaskan masyarakat disekitarnya.
Ulama yang awalnya menjadi sumber rujukan dalam berbagai permasalahan berubah menjadi akar dari rusaknya kehidupan sosial-politik. Mazhabisme tadi merembet pada kehidupan orang awam yang memiliki taklid buta terhadap “figur” imam mazhabnya. Sehingga, terjadilah pertikaian hanya karena perbedaan tata cara ibadah atau masalah furu’iyah. Hal ini sampai menimbulkan kerusuhan sosial di berbagai tempat dan hancurnya kesatuan umat karena bergeser pada fanatisme mazhab, golongan atau kedaerahan.
Dalam dunia politik, perseteruan antar Sultan membuat “para pemimpin Islam” itu saling menjatuhkan sampai mendukung agresi tentara salib terhadap lawan politiknya untuk menyingkirkannya. Saat kota-kota terancam dengan Invasi kaum Salib, kota-kota lain memalingkan diri untuk membantu.
Bobroknya Mental dan Moral
Benang merah dari semua kekacauan di atas adalah bobroknya mentalitas dan moral umat Islam. Maka, tidak heran jika kala itu umat Islam tidak kuasa menghadapi gempuran pasukan Salib yang membantai 70,000 umat Muslim di masjid al-Aqsa (15 Juli 1099).
Terpecahnya umat, saling beradu kepentingan, fanatisme golongan adalah sebab nafsu yang diikuti. Maka dari itu salah satu peletak dasar reformasi moral – Imam al-Ghazali (w. 505 H./ 1111 M.)– menyerukan adanya jihad al-nafs (jihad melawan hawa nafsu).
Dalam magnum opusnya –Ihya Ulumuddin– Imam al-Ghazali tidak menekankan jihad ataupun menyalahkan serangan Tentara Salib terhadap kemunduran Umat Islam –karena umat Islam kala itu memang pantas menerima kekalahan yang diakibatkan oleh kemerosotan moral dan perpecahan internal–, tapi menekankan perlu dan wajibnya mengintrospeksi dan mengevaluasi diri umat Islam. Langkah yang diinisiasi oleh Imam al-Ghazali adalah al-Insihab wa al-Audah. (Al-insihab) yang berarti menarik diri dari kesibukan dunia untuk memperbaiki diri kemudian dilanjutkan dengan (al-Audah) kembali ke tengah-tengah masyarakat untuk memperbaiki permasalahan-permasalahan umat. Praktik ini didasarkan pada hadits Nabi: “Jika kamu melihat keegoan ditaati, nafsu diikuti, dunia diutamakan, dan setiap orang yang berilmu membanggakan pendapatnya, maka kamu harus sibuk membenahi diri sendiri dan hindarkan dirimu dari urusan orang banyak”. (HR Tirmidzi).
Usaha Imam al-Ghazali inilah yang akhirnya menjadi fondasi lahirnya berbagai madrasah dan Instutusi pendidikan yang menyerukan pada kesatuan umat dan Islah. Madrasah-madrasah itu juga bertujuan untuk menyiapkan calon-calon pemimpin dan ulama. Perbaikan moral dan kehidupan sosial kemasyarakatan melalui corong pendidikan ini, berdampak pada lahirnya sebuah generasi yang siap untuk mencapai kemenangan.
Sejarah mengajarkan kita sebuah pola, Ibnu khaldun berkata “Masa yang sulit melahirkan Generasi Kuat, Generasi Kuat melahirkan Masa yang Mudah, Masa yang Mudah melahirkan Generasi Lemah”. Dulu dan sekarang tentu berbeda, tapi hari ini –setelah 8 abad berlalu–, kita seperti melihat semua yang ditulis dalam sejarah terjadi tepat di depan mata kita. Allah berfirman: Dan Aku pergilirkan kejayaan dan keruntuhan suatu bangsa agar kamu dapat berfikir. Kita sudah terlalu lama terlena dan terdistorsi oleh banyak kesenangan duniawi, menjadikan kita abai terhadap tugas kita sebagai seorang muslim dan khalifah-Nya di muka bumi.
Untuk menyikapi carut marut permasalahan ini, kita perlu untuk terus memperbaiki diri. Setelah itu kita harus memberikan dampak kepada mujtama’ (Komunitas) kita sehingga akan lahir kembali sebuah generasi Salahuddin jilid kedua. Kita harus mengintrospeksi serta mengevaluasi arah perjuangan kita, serta menyatukan umat yang tengah terpecah belah. Kita mesti bersatu demi membebaskan kota suci itu untuk yang kedua kali dari tangan-tangan yang ingin berbuat kerusakan di muka bumi (Zionisme).
Refleksi Kebangsaan Kita dan Proyek Pembangunan Generasi
Tsun Zu dalam The Art of War-nya menyatakan “Begitu Pasukan disatukan dengan erat, yang berani tidak berkesempatan maju sendirian, yang pengecut tidak berkesempatan mundur sendirian” lebih jauh lagi, Tsun Zu mengatakan “Atasan dan bawahan yang menginginkan hasrat yang sama adalah kemenangan”. Dari sini, kita dapat memahami, bahwa persatuan dan kesatuan adalah suatu yang mutlak untuk mencapai kemenangan. Ini juga yang melatarbelakangi Salahuddin dalam proses pengkonsolidasian Dinasti Ayyubiyah yang didirikannya untuk menyatukan Mesir dan Syam (1174-1175) sebelum membebaskan al-Aqsa (2 Oktober 1187).
Pertanyaaanya apakah hanya Salahudin seorang yang membuat misi pembebasan itu berhasil? Apakah hanya Sang Sultan sendiri yang berangkat ke medan perang dan memenggal pimpinan musuh? Tentu semua itu diawali dengan proses yang lama sehingga sejarah mencatatnya sebagai “Generasi Salahuddin”. Generasi yang lahir atas kekacauan umat pada saat itu. Rentetan peristiwa pembebasan tidak datang “ujug-ujug” tapi diawali dengan perbaikan moral melalui corong pendidikan kemudian lahirlah generasi yang mengkonsolidasikan misi pembebasan melalui kekuasaan dibawah panji Sultan Salahuddin al-Ayyubi.
Sebagai seorang Muslim dan Indonesia kita memiliki banyak sekali PR. Tentu seperti yang telah kita bahas sebelumnya bahwa keberhasilan atau kesuksesan tidak mengacu pada satu tokoh saja, tapi kerjasama kolektif antar semua pihak. Kesuksesan tidak terjadi dalam satu malam, kembalinya al-Aqsa ke tangan kaum Muslimin mebutuhkan waktu 88 tahun. Artinya, kita membutuhkan satu generasi untuk mencapainya.
Pendidikan adalah kunci, membina baik akal maupun hati adalah tugas kita untuk generasi yang akan datang. Kita sudah mempunyai semua sarana dan sistem, tinggal bagaimana kita memodifikasinya di masa digital ini. Fokus terhadap sisi pendidikan dan moral adalah hal yang layak untuk diterapkan di setiap zamannya. Karena meskipun generasi berubah puluhan kali dalam sejarah, cara hidup masyarakatnya tidak banyak berubah. []
Artikel ini juga dimuat di https://analisis.republika.co.id/berita/smbslz320/carut-marut-dunia-islam-kezaliman-zionis-dan-generasi-salahuddin-alayyubi-part3