Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar dipercayai menerima tarekat Sayyiduna Abu Bakar dari sahabat Salman al-Farisi, sebagaimana disebutkan Muhammad Ahmad Darniqah dalam buku Ath-Thariqah an-Naqsyabandiyah wa A’lamuha, dan berbagai silsilah sanad tarekat Naqsyabandiyah. Al-Mizzi dalam Tahdzibul Kamal menyebut al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq, sering dipanggil Abu Muhammad dan Abu Abdurrahman al-Madani. Imam al-Bukhori, yang dikutip al-Mizzi menyebutkan bahwa Al-Qasim yatim sejak kecil di pangkuan Aisyah, karena ayahnya yang bernama Muhammad bin Abu Bakar dibunuh pada tahun 63 H., setelah kematian Sayyiduna Utsman bin Affan.
Tentang ibu Al-Qasim, yang berarti istri Muhamamd bin Abu Bakar, disebut sebagai seorang putri dari Kaisar Persia bernama Yazdijard, yang berhasil ditaklukan pada masa Khalifah Umar bin Khathab. Abdurrahman bin Husein dalam kitab Syamsu Zhahirah menyebutkan, dengan mengutip Zamakhsyari, bahwa pada masa Khalifah Umar, para sahabat (yang mengalahkan Persia) datang dengan membawa 3 perempuan anak Yazdijard. Tiga orang ini kemudian menjadi Ummu Walad dari Abdullah bin Umar, Al-Husein, dan Muhammad bin Abu Bakar: dengan Abdullah bin Umar beranak dengan nama Salim; dengan Imam Husein memiliki anak dengan nama Ali Zainal Abidin, dengan Muhammad bin Abu Bakar memiliki anak dengan nama Al-Qasim. Ketiga perempuan itu masih saudara.
Selain ahli tarekat, Al-Qasim juga menjadi guru sanad hadis. Beliau berguru dan mengambil hadis dari `Abdullah bin Zubair, `Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib, Aslam Maula `Umar bin Khathab, Rafi’ bin Khudaij, `Abdullah bin `Abdurrahman bin Abu Bakar ash-Shiddiq, `Abdullah bin `Abbas, `Abdullah bin `Umar, `Abdullah bin Amru bin Ash, `Abdullah bin Mas`ud (secara mursal), Muhammad bin Abu Bakar (ayah), Sayyidah `Aisyah, Fathimah binti Qais, Asma’ binti `Umaisy, Zainab binti Jahsy, dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
Sanad hadisnya diambil oleh murid-murid, di antaranya Usamah bin Zaid bin Aslam dan Usamah bin Zaid al-Laitsi, Isma`il bin Abi Hakim, Aflah bin Humaid, Anas bin Sirin, Ayyub as-Sakhtiyani, Tsabit ibnu Muhamamd al-Anshari, Ja’far bin Muhammad ash-Shiddiq, Nafi Maula Ibnu Umar, dan banyak lagi yang lain.
Al-Mizzi mengutip Muhammad bin Sa`ad, menyebutnya sebagai orang yang memiliki derajat tinggi, alim, faqih, menjadi imam, wara’, memiliki banyak hadis, dan Imam Bukhari bahkan menyebutnya memiliki 100 hadis. Al-Qasim dikenal dan dipuji sebagai “orang yang utama di zamannya, tidak aku lihat seorang yang lebih utama darinya, tidak aku lihat seorang yang lebih faham sunnah dari al-Qasim bin Muhammad, dan termasuk tabiin pilihan fuqaha di antara mereka.”
Abu Nu’aim al-Ashfihani dalam Hilyatul Auliya’ juga meriwayatkan penilaian lain, melalui Yahya bin Sa`id yang menyebutkan: “Kami tidak menemukan seorang di Madinah yang kami utamakan karena kefaqihannya dari Al-Qasim bin Abdullah.” Meski sangat alim, al-Qasim dikenal sangat tawadhu, rendah hati, dan tidak mau makan kecuali makan yang halal.
Di antara perkataannya karena kema’rifatannya, sebagaimana diriwayatkan Abu Nu’aim al-Ashfihani, begini:
Melalaui Yahya bin Said, al-Qasim berkata: “…seseorang akan menjadi jahil setelah mengetahui haqq-Nya Allah ta`ala, lebih baik baginya mengatakan, tidak ada yang tahu (kecuali Allah).”
Melalui riwayat Zaid bin Ayyub, ketika al-Qasim ditanya banyak masalah, beliau menjawab: “Demi Allah, kami tidak tahu apa yang kalian semua tanyakan…”.
Ibnu Ishaq meriwayatkan: “Seorang laki-laki badui datang, dan bertanya kepada Al-Qasim: “Apakah engkau atau Salim yang lebih alim?” Al-Qasim berkata: “Itu maqamnya Salim, dan tidak menambahi apapun, sampai badui itu berdiri.” Muhammad bin Ishaq berkata: “Al-Qasim tidak mengatakan “Salim lebih alim dariku”, karena kalau berkata begitu itu berarti dia berbohong; dan kalau mengatakan “aku lebih alim dari Salim”, berarti memuji diri sendiri.”
Di antara riwayat hadits yang diriwayatkan Abu Nu’aim al-Ashfihani melalui jalan al-Qasim, dari Sayyidah `Aisyah dari Nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya Allah ta’ala mendidik salah satu di antara kalian itu bertahap, sebagaimana Allah mendidik kamu semua terpisah-pisah, sampai Allah menjadikannya sebagaimana Jabal Uhud.”
Imam Al-Qasim wafat di Mekkah pada masa pemerintahan Dinasti Umayyah, ketika dipegang Yazid bin `Abdul Malik (dikenal sebagai Yazid II, memerintah tahun 720-724 M.), setelah pemerintahan Khalifah `Umar bin `Abdul `Aziz (717-720 M.), tetapi juga banyak pendapat yang berbeda dan menyebutnya beliau wafat di Mekkah, pada tahun 105 H. (725 M.) atau 106/107/108/112/117 H., yaitu pada masa pemerintahan Hisyam bin Abdul Malik.
Di antara murid al-Qasim bin Muhammad ini, yang diberi tarekat dan sampai bertahan periwayatannya hingga hari ini, adalah Imam Ja’far bin Muhammad ash-Shadiq, yang biasa dipanggil dengan Imam Ja’far ash-Shadiq. Imam Ja’far ash-Shadiq ini, selain menerima tarekat Sayyiduna Abu Bakar juga menerima tarekat Imam Ali, melalui ayahnya, Imam Muhammad al-Baqir. [HW]
[…] Ja’far ash-Shodiq menjadi masyayikh Naqsyabandiyah setelah Imam Al-Qosim bin Muhammad, juga masyayikh Qodiriyah-Naqsyabandiyah dan tarekat Syathariyah setelah Imam Muhammad al-Baqir. […]