Pesantren Menjawab Islamophobia

Semenjak era Walisanga, pesantren telah berperan aktif dalam perkembangan peradaban dan perjuangan ideologi Islam di Nusantara. Pesantren, selain sebagai pusatnya penyebaran ajaran Islam, juga  sebagai markas pergerakan dan perlawanan penjajahan di saat pra-kemerdekaan. Bentuk nyata peran santri dalam kemerdekaan Indonesia dapat disaksikan melalui berdirinya barisan Hizbullah,  sebuah gerakan perlawanan rakyat yang dikomandoi oleh para Kiai.

Pasca kemerdekaan, peran pesantren untuk Indonesia, kembali pada fokus utamanya. Yakni tafaqquh fiddin. Menurut Kiai Sahal, sebagai lembaga yang memiliki tujuan untuk mencetak generasi yang faqih (terutama) dalam persoalan agama, pesantren juga tidak boleh abai dengan persoalan-persoalan di sekitarnya. Termasuk dalam memberikan perannya dalam menangkal radikalisme dan menghadapi persoalan Islamophobia.

Islamophobia sendiri dapat dimaknai dengan suatu ketakutan yang berlebihan terhadap Islam. Baik ketakutan terhadap Islam sebagai doktrin agama maupun sebagai peradaban. Islamophobia sendiri ditengarai mulai menghantui masyarakat Amerika dan Eropa pasca runtuhnya menara kembar Word Trade Centre di New York, Amerika pada 11 September 2001. Ketakutan itu terus berlangsung seiring munculnya peristiwa yang dianggap bagian dari gerakan Islam. Misalnya peristiwa bom bunuh diri di berbagai tempat yang ditengarai sebagai bagian dari gerakan jihadis Islam.

Gerakan-gerakan yang mengatasnamakan Islam ini sesungguhnya amat merugikan umat Islam sendiri. Hal ini karena jelas-jelas prilaku yang mereka tunjukka justru tidak mencerminkan ajaran Islam itu sendiri. Kelompok ini menggelorakan aksi jihad fi sabilillah tanpa mengetahui dasar jihad yang sebenarnya. Akibatnya banyak konflik yang ditimbulkan yang pada akhirnya memberikan efek phobia kelompok di luar Islam kepada orang orang Islam. Karenanya, tidak dapat dipungkiri bahwa munculnya fenomena Islamophobia di berbagai negara, justru disebabkan oleh praktek beragama kaum jihadis Islam yang tidak mencerminkan agama yang rahmatan lil ‘âlamin.

Nah, inilah bagian dari tantangan pesantren hari ini. Bagaimana pesantren seharusnya mampu berperan sebagai bagian penting dari terciptanya Islam sebagai rahmat bagi semesta.

Baca Juga:  Meluruskan Niat Menuntut Ilmu

Islamophobia yang dipicu oleh banyaknya aksi teror yang mengatasnamakan jihad Islam, memang banyak terjadi di negara-negara yang mayoritas dihuni oleh penduduk non-muslim. Artinya, di negara-negara yang penduduk Islamnya berposisi sebagai minoritaslah, Islam justru dianggap menakutkan.

Indonesia, sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, sebenarnya memiliki kesempatan cukup kuat untuk menjadi “cerminan” bagi perilaku Islam yang ramah. Di Indonesia sendiri, terdapat lebih dari 13.000 pesantren. Jika rata-rata setiap pesantren dihuni oleh 500 santri, dapat dihitung seberapa besar jumlah santri di Indonesia. Secara kuantitas, jumlah santri dan pesantren ini memiliki kekuatan signifikan dalam mengkampanyekan Islam yang ramah. Sehingga dengan demikian, santri, pesantren dan Islam Indonesia dapat memberikan warna pada pandangan dunia, mengenai bagaimana sesungguhnya ajaran Islam itu dimaknai dan diterapkan. Dari sinilah dapat dipahami, bagaimana pesantren dapat berperan aktif dalam menangkal isu Islamophobia. Baik di lingkup nasional maupun internasional.

Selain dari sisi kuantitas, atau jumlah santri dan pesantren, peran penting pesantren dalam menangkal Islamophobia adalah dengan pendekatan budaya. Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama tertua di Indonesia selama ini mendidik santri untuk bersikap ramah dan lemah lembut kepada sesama. Hal ini sebagaimana dengan ajaran Islam yang termaktub dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 159 yang berbunyi:

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Artinya: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.

Dari penjabaran di atas, maka dalam rangka menangkal Islamophobia, penulis memandang pentingnya pesantren untuk melakukan hal-hal berikut ini:

  1. Menunjukkan citra diri Islam yang sesungguhnya, terutama di level generasi muda. Yaitu konsep Islam yang rahmatan lil ‘âlamin.
  2. Berperan nyata dalam membantu permasalahan sosial, yaitu dengan pendekatan sosio-kultural. Pada konteks ini telah disinggung dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang termaktub dalam kitab Sunan Turmudzi, juz 3, halaman 388. Nabi bersabda:
Baca Juga:  Kesederhanaan KH. Marzuki Mustamar, Ketika di Kampus Mengajar

الرَّاحمونَ يرحمُهُمُ الرَّحمنُ . ارحَموا من في الأرضِ يرحَمْكم من في السَّماءِ ، الرَّحمُ شُجْنةٌ منَ الرَّحمنِ فمن وصلَها وصلَهُ اللَّهُ ومن قطعَها قطعَهُ اللَّهُ

Artinya: “Orang-orang yang memiliki sifat kasih sayang akan disayang oleh Allah yang Maha Penyayang, sayangilah semua yang ada di bumi, maka semua yang ada di langit akan menyayangimu. Kasih sayang itu bagian dari rahmat Allah, barangsiapa menyayangi, Allah akan menyayanginya. Siapa memutuskannya, Allah juga akan memutuskannya”. (HR. Turmidzi).

  1. Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang Islam dengan berbagai media, baik media massa maupun media lainnya.
  2. Menularkan pengalaman dan pemahaman yang menyenangkan tentang Islam.
  3. Memberikan interpretasi ulang terhadap ayat-ayat tentang jihad.
  4. Merumuskan makna jihad baru, yaitu jihad dalam teknologi informasi, politik, ekonomi, pendidikan dan sosial budaya, terkhusus jihad dalam konteks memerangi hawa nafsu. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

مرحباً بكم قدمتم من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر فقالوا وما الجهاد الأكبر قال جهاد النفس

Artinya: Selamat datang, Kalian telah datang/menuju dari jihad paling kecil menuju jihad paling besar. Mereka berkata: Apakah jihad besar itu? Nabi SAW menjawab: Yaitu jihad melawan hawa nafsu”.

Meskipun hadis tersebut masih menjadi perdebatan ulama terkait keshahihannya, akan tetapi setidaknya dapat memberikan legitimasi bahwasanya saat ini bukan lagi eranya berjihad dengan menghunus pedang, melainkan berjihad yang lebih urgen, yaitu jihadunnafsi. Pemaknaan tentang jihad ini perlu diperkuat dan diperluas melalui dakwah orang-orang pesantren. Karakteristik pesantren yang dari dulu lokasinya menyatu erat dengan masyarakat, tanpa dibatasi pagar dan bahkan para santri bebas berbaur dengan masyarakat sekitar, merupakan sanggar yang tepat dalam penjawab persoalan Islamophobia. []

Muhammad Rifqi Ali
Mahasantri Ma'had Aly Maslakul Huda, Kajen, Margoyoso Pati.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini