Di antara naskah kuno tulis tangan (manuskrip/ makhthûth) yang penting yang menjadi koleksi Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) Jakarta adalah manuskrip bernomor kode (?). Manuskrip tersebut memuat beberapa buah judul teks kitab karya Syaikh Yusuf Makassar (w. 1699), seorang ulama besar Nusantara abad ke-17 M asal Gowa (Sulawesi Selatan), yang kemudian bermukim di wilayah Kesultanan Banten dan berperang melawan pihak VOC Belanda hingga akhirnya ditangkap dan dibuang jauh ke Afrika Selatan hingga wafat di sana.
Pada halaman 64 hingga 68 manuskrip tersebut, berisi sebuah teks yang menarik untuk diperbincangkan di sini. Teks tersebut berisi sebuah risalah yang mengandung kajian bidang hadits dan tasawuf, ditulis dalam bahasa Arab. Sayangnya, Syaikh Yusuf tidak memberikan judul secara spesifik terhadap risalah kecilnya tersebut. Masa kepengarangan risalah tersebut diperkirakan pada rentang tahun 1683.
Hal lainnya yang jauh lebih menarik dari teks risalah kecil karya Syaikh Yusuf Makassar ini adalah kaitannya dengan jaringan keilmuan Syaikh Yusuf Makassar dengan para ulama Tatar Pasundan di wilayah Priangan Timur, khususnya Sukapura (sekarang Tasikmalaya).
Dalam risalah kecil tersebut, Syaikh Yusuf mengatakan dirinya sedang melintas di kampung Bihbul, yang merupakan salah satu kampung di wilayah kawedanaan Mandala di negeri (kabupaten) Sukapura. Saat ini, wilayah kawedanaan Mandala telah berubah nama menjadi kecamatan Cikatomas. Sementara nama Sukapura telah berubah nama menjadi Tasikmalaya.
Di kampung Bihbul, Syaikh Yusuf mengatakan dirinya berjumpa dengan seorang bernama Haji Abdul Jalil yang merupakan penduduk lokal setempat. Haji Abdul Jalil juga disebutnya sebagai salah satu dari murid kolega Syaikh Yusuf yang merupakan ulama besar Tatar Pasundan pada zamannya, yaitu Syaikh Abdul Muhyi Karang (Pamijahan). Syaikh Yusuf menulis:
وبعد. فلما سافتي الله تعالى بحكمة ما يعرفها بالوصول الى قرية رنتو بتع ثم الى قرية بيبول من أرض قرية مندالة المباركة حرسها الله تعالى من جميع الآفات. اجتمعت رجلا يقال له عبد الجليل من أهل تلك القرى وهو من بعض مريد الأخ العارف بالله تعالى مرشد أوانه وبركة أهل زمانه سيدنا عبد المحي المقيم بقرية كارع المبارك طول الله عمره وأعانه في كل أموره آمين
(Wa ba’du. Ketika Allah Ta’ala menuntun takdir hidupku dengan hikmah pengaturanNya sehingga aku dapat sampai di kampung Rantu Batang [?] lalu sampai di kampung Bihbul yang merupakan salah satu kampung di kawedanaan Mandala [saat ini Cikatomas] yang diberkahi, semoga Allah Ta’ala menjaganya dari segala macam marabahaya. Aku bertemu dengan seorang lelaki bernama Abdul Jalil, penduduk wilayah setempat, yang juga ia adalah salah satu murid dari kolegaku, seorang yang ‘Ârif Billâh, mursyid pada masanya dan berkah bagi ahli zamannya, yaitu Tuan Kita Syaikh ‘Abdul Muhyi yang bermukim di desa Karang [Pamijahan] yang diberkahi. Semoga Allah memanjangkan usianya, dan senantiasa menolongnya dalam setiap rupa urusannya. Amin)
Sebagaimana disebutkan di atas, Syaikh Yusuf Makassar memanggil Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan dengan sebutan “al-akh” (saudara), hal yang menunjukkan kedekatan hubungan antar keduanya. Selain itu, Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan juga disebut dengan “al-‘Ârif Billâh”, yang berarti orang yang telah sampai kepada derajat makrifat atas Allah Ta’ala. Selanjutnya, Syaikh Yusuf Makassar juga menyebut Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan dengan “mursyid awânihi” atau “guru besar pada masanya”, juga “barakah ahli zamânihi” atau “sumber keberkahan bagi orang-orang pada zamannya”.
Tentu saja, beberapa gelar yang dinisbatkan oleh Syaikh Yusuf Makassar untuk Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan sebagaimana disebut di atas mengukuhkan posisi dan kedudukan Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan sebagai ulama besar Tatar Pasundan pada zamannya sekaligus inti jaringan intelektual ulama wilayah tersebut.
Selanjutnya, Syaikh Yusuf Makassar menjelaskan jika Haji Abdul Jalil mengajukan dua buah pertanyaan kepada dirinya berkaitan dengan makna dua buah hadits yang berisi “hati seorang mukmin adalah singgasana Allah”, juga hadits “barangsiapa mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya”. Haji Abdul Jalil juga meminta Syaikh Yusuf Makassar untuk menuliskan sebuah karya risalah kecil untuk menjawab pertanyaannya tersebut. Selain itu, Haji Abdul Jalil juga meminta Syaikh Yusuf Makassar untuk menuliskan silsilah keguruan tarekat yang dimilikinya, khususnya Tarekat Syathariyyah.
Syaikh Yusuf menulis:
ثم الأخ المذكور عبد الجليل المزبور التمس مني بعد ما أخذه عني بأن أرقم له تحقيق مقصود معنى حديث قلب المؤمن عرش الله وتحقيق مراد معنى حديث من عرف نفسه فقد عرف ربه أيضا وطلب أيضا بأن كتب له جميع سلاسل مشايخنا من أهل الطريق فما يسر الله على ذلك سلسلة السادة الشطارية نفعنا الله بهم آمين
(Lalu, sang kolega tersebut, yaitu Abdul Jalil, mengajukan sebuah permintaan kepadaku setelah berdiskusi denganku, agar aku menulis sebuah risalah dalam menjelaskan maksud dari hadits “hati seorang mukmin adalah singgasana Allah”, serta menjelaskan maksud dan makna hadits “barangsiapa mengenal dirinya, maka ia telah mengenal Tuhannya”. Ia juga memintaku untuk menuliskan seluruh silsilah guru-guruku para ahli thariqat, di antara yang dimudahkan darinya adalah silsilah Tarekat Syathariah, semoga Allah memberikan kita manfaa’at dengan berkah ilmu mereka. Amin)
Syaikh Yusuf Makassar pun kemudian bergegas untuk mememuhi permintaan dari Haji Abdul Jalil di atas setelah terlebih dahulu melakukan istikharah kepada Allah Ta’ala. Tertulis di sana:
فاستخرت الله تعالى مرة بعد مرة وكررت ذلك مرة بعد كرة فحصل لي إذن منه تعالى وقلت لست أهلا لذلك وما كنت من فرسان هذا الميدان من هنالك. غير أني مؤد لأمانة شيوخنا المستحقين مما هنالك
(Maka aku pun beristikharah kepada Allah Ta’ala berkali-kali, dan mengulanginya lagi dan lagi, sehingga aku mendapatkan petunjuk dariNya. Aku berkata bahwa sesungguhnya diriku bukanlah seorang yang ahli untuk menjawab permintaan semua itu, juga bukan orang yang mumpuni dalam bidang ini. Namun semua ini tak lain adalah semata-mata menunaikan amanat ilmiah dari para guru-guru kami yang memang memiliki hak)
* * * * *
Abu Hamid dalam bukunya yang berjudul “Syekh Yusuf Makassar: Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang” (Jakarta: Yayasan Obor, 1994) menyinggung keberadaan jejak Syaikh Yusuf Makassar di wilayah Tatar Pasundan. Abu Hamid menyebut Syaikh Yusuf dan pasukannya dari Banten, Makassar dan Sunda melalukan perang gerilya melawan kekuatan VOC Belanda yang dipimpin oleh Van Happel dan De Ruys dan hendak menangkap mereka.
Pasca melemahnya kekuatan Kesultanan Banten yang ditandai dengan ditangkapnya Sultan Abu al-Fath Abdul Fattah yang bergelar Ageng Tirtayasa pada bulan Maret 1683, pasukan pejuang Banten yang dipimpin oleh Syaikh Yusuf Makassar mengubah strategi perang perlawanan atas Belanda dengan taktik gerilya. Sultan Ageng Tirtayasa sendiri adalah murid dari Syaikh Yusuf Makassar.
Di antara rute gerilya yang dilalui oleh Syaikh Yusuf Makassar dan pasukannya setelah keluar dari wilayah Banten adalah wilayah Cikaniki, Cisarua, Padaherang (Paladarang), Limbangan (Garut), Cisokan, Cintandui, Karangwesi, Dayeuhluhur, hingga Mandala (Cikatomas) di Sukapura. Di Sukapura itu pulalah Syaikh Yusuf berhasil ditangkap oleh Van Happel dalam sebuah aksi yang penuh muslihat. Peristiwa penangkapan Syaikh Yusuf tersebut terjadi pada 14 Desember 1683.
Pasca penangkapan tersebut, Syaikh Yusuf Makassar ditahan di Cirebon, lalu dipindah ke Batavia, lalu dibuang ke Srilanka, lalu dibuang lebih jauh lagi ke Afrika Selatan hingga wafat di tempat pengasingan yang jauh itu pada tahun 1699.
Informasi penting lainnya yang terekam dalam manuskrip ini adalah keberadaan sosok Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan yang pada perempat terakhir abad ke-17 M telah menjadi seorang ulama besar dan memiliki pengaruh yang kuat setidaknya di wilayah Tatar Sunda. Apa yang diungkapkan oleh Syaikh Yusuf Makassar terkait sosok Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan sebagai “mahaguru ulama pada masanya” dan “sumber tuah berkah bagi ahli zamannya” tentu saja mengukuhkan posisi Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan sebagai tokoh sentral yang mengkoneksikan jaringan keilmuan ulama wilayah Priangan dengan pusat-pusat jaringan keilmuan lainnya di Nusantara seperti Banten, Makassar, Aceh dan tentu saja dengan sentralnya di Timur Tengah. []
Wallahu A’lam
Ciherang, Cianjur, Akhir Rajab 1443 H/Awal Maret 2022
Alfaqir A. Ginanjar Sya’ban
Alfaqir menghaturkan terima kasih kepada Dr. Nur Ahmad Nur Ahmad, dosen UIN Walisongo Semarang (Jawa Tengah) yang juga alumnus Universitas Leiden (Belanda), yang telah berbaik hati berbagi file manuskrip yang berisi bungarampai karangan Syaikh Yusuf Makassar.