Meski tidak dapat dilakukan generalisasi, range usia muslim di Indonesia dapat dipetakan dari jenis mushaf yang dibacanya. Selain itu, mengetahui mushaf yang dibaca dapat membantu mengenali pola-pola kebiasaan pada proses belajar dan membaca Al-Qur’an.
Seperti halnya negara-negara lain di belahan dunia, sejarah permushafan Indonesia dimulai dengan edisi mushaf tradisional. Dimana untuk menghasilkan satu buah mushaf membutuhkan waktu yang cukup lama dengan seorang juru tulis handal (khatthat). Mushaf yang dihasilkan relatif sangat sederhana, tanpa hiasan di bagian sampul, baik depan atau belakang, apalagi pada bagian tepi tiap-tiap halaman dalam. Hiasan-hiasan ini membutuhkan lebih banyak waktu dan tenaga seniman khusus serta biaya yang tidak sedikit.
Karenanya, dari sisi ini, mushaf umumnya dibedakan dari segi fungsi atau pemiliknya. Mushaf pertama lazim dimiliki rakyat jelata atau kalangan bangsawan dengan tujuan dibaca sehari-hari. Sedangkan mushaf kedua, cenderung hanya dimiliki kalangan bangsawan sebagai hiasan atau artefak kerajaan. Jika anda memiliki mushaf ini dan masih menggunakannya sebagai media membaca Al-Qur’an, kemungkinan anda memiliki darah bangsawan. Jika tidak, berarti anda masuk generasi old, super old. Karena aktivitas ini telah lama ditinggalkan sejak awal abad dua puluh. Itu seratus tahun yang lalu!
Penemuan mesin cetak pada paruh pertama abad lima belas memberi pengaruh yang cukup kuat, termasuk pada penulisan Al-Qur’an. Atau tepatnya pencetakan mushaf Al-Qur’an. Sayangnya butuh waktu sekitar empat abad untuk sampai di Indonesia. Adalah Palembang kala itu yang menjadi pencetak mushaf pertama pada tahun 1848 dengan teknik cetak litograf atau cetak batu.
Pada tahun-tahun berikutnya aktivitas cetak-mencetak mengalami perkembangan yang sangat pesat. Namun industri pencetakan mushaf terlihat signifikan pada sekitar 1930-an dimotori oleh ‘Abdullah bin ‘Afif di Cirebon, Sulaiman Mar’i di Singapura dan Penang, Salim bin Sa’ad Nabhan di Surabaya, dan Al-Islamiyah di Bukittinggi. Naskah mushaf yang dicetak merupakan salinan dari model mushaf Bombay dengan cetakan huruf tebal dan gemuk serta kebanyakan mengikuti model rasm imla’i.
Model ini terus berlanjut seiring kenaikan industri percetakan mushaf ditahun 1970 dan 1980-an. Hingga dekade ini telah banyak muncul penerbit dan percetakan seperti Toha Putra Semarang dan Menara Kudus yang terkenal dengan model mushaf bahriyah atau Qur’an pojok-nya.
Seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, anda yang saat ini tengah berusia sekitar tiga puluh tahun sangat mungkin ngaji dengan mushaf Bombay atau bahriyah. Anda juga mungkin memiliki pilihan mushaf lebih banyak dengan desain lebih modern dan huruf yang lebih slim. Apa sebabnya?
Disaat yang sama, sekitar tahun 1984/1985 (1505 H.) , Pemerintah Saudi Arabia meresmikan percetakan khusus Al-Qur’an bernama Mujamma‘ Malik Fahd Li Thiba‘ah Mushaf al-Syarif. Tidak kurang 10.000.000 juta mushaf disebarluaskan ke seluruh dunia. Mushaf dengan pilihan qira’ah Hafsh dari Imam ‘Ashim dan rasm ‘utsmani ini ditulis oleh khatthat ‘Utsman Taha dengan anatomi huruf yang cantik dan ramping.
Mushaf ini (baca: mushaf Madinah) lah yang menjadi inspirasi percetakan dan penerbit Indonesia saat itu untuk kemudian ramai-ramai beralih. Dimulai dari penerbit Diponegoro, Bandung, yang melakukan rekayasa modifikasi pada tulisan ‘Utsman Taha dan diikuti hampir seluruh penerbit yang ada. Mushaf produk ini lah yang kebanyakan digunakan generasi millenial saat ini.
Periodisasi perkembangan mushaf ini menjelaskan dua model utama mushaf yang dimiliki Indonesia. Mushaf Bombay memiliki bentuk huruf gemuk dan tebal, sehingga memberi kesan penuh pada halaman mushaf. Hal ini berbeda dengan mushaf Madinah yang lebih slim dan terlihat lebih modern. Perbedaan karakter huruf ini yang umumnya mempengaruhi pilihan mushaf pada masyarakat muslim Indonesia.
Jika sudah jatuh pada satu pilihan model, mereka cenderung istikamah dan tidak berpindah. Apa alasannya? Apabila diteliti lebih lanjut, dua model mushaf ini ternyata memiliki perbedaan dari sisi rasm, penggunaan harakat, dan tanda baca. Mushaf Bombay lebih mudah digunakan karena rasmnya merupakan campuran ‘utsmani dan imla’i, harakatnya diterapkan secara menyeluruh dan tanda bacanya seperti waqaf lebih sering dijumpai, sehingga memberi ruang berhenti lebih sering. Ketiga hal ini tidak akan dijumpai di mushaf Madinah.
Berdasar data ini, mereka yang umumnya ‘terlanjur’ menggunakan mushaf Bombay cenderung lebih sulit berpindah ke mushaf Madinah daripada sebaliknya. Jika hal ini diketahui, manfaat lain dari mengetahui model mushaf Indonesia adalah tidak gonta-ganti mushaf dalam proses pembelajaran. Karena hal ini akan menjadikan proses belajar menjadi semakin sulit.
Untuk menjembatani kedua model mushaf ini dilakukanlah ‘perkawinan silang’ dengan mengambil masing-masing kelebihan yang dimiliki: penggunaan harakat dan tanda baca dari mushaf Bombay dan keindahan tulisan dari mushaf Madinah. Upaya ini dengan menyertakan adaptasi rasm secara gradual dari imla’i mayoritas (Bombay) menuju ‘utsmani mayoritas (Madinah).
Jadi, yang mana mushaf anda?. [HW]
[…] Melalui percetakan Al-Bahiyyah pada tahun 1890 M., pemerintah Mesir juga melakukan pencetakan mushaf Al-Qur’an. Tak tanggung-tanggung, pencetakan ini bahkan melalui penelitian khusus. Sayang, karena kualitas […]