Press ESC to close

Kurikulum Cinta: Jembatan Menuju Ukhuwah, Nasionalisme, dan Toleransi

Belakangan ini, kurikulum cinta ramai diperbincangkan. Banyak yang mengkritik, menganggapnya sebagai bentuk sekulerisme-liberal yang ingin menghapus klaim kebenaran agama. Ada juga yang khawatir kurikulum ini akan melahirkan sikap posesif atau bahkan merusak teologi agama. Namun, benarkah demikian? Mari kita lihat lebih dalam mungkin saja kurikulum cinta justru bisa menjadi alat untuk memperkuat ukhuah (persaudaraan), nasionalisme, dan toleransi, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai agama.

Apa Itu Kurikulum cinta?

Kurikulum cinta bukanlah tentang romantisme atau cinta buta. Ini adalah pendekatan pendidikan yang menekankan nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti kasih sayang, empati, keadilan, dan penghormatan terhadap perbedaan. Tujuannya adalah menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki hati yang tulus dan sikap yang menghargai sesama.

Namun, tidak sedikit yang mencurigai kurikulum ini sebagai bagian dari agenda sekulerisme-liberal. Mereka khawatir kurikulum cinta akan mengikis klaim kebenaran agama dan mempromosikan moderasi beragama secara berlebihan. Apakah kekhawatiran ini beralasan?

Cinta yang Seimbang: Tidak Posesif, Tidak Juga Abai terhadap Nilai

Memang, cinta tanpa batas bisa berbahaya. Cinta yang posesif bisa melahirkan ketergantungan, bahkan kekerasan. Namun, kurikulum cinta tidak mengajarkan cinta yang buta. Sebaliknya, kurikulum ini mengajarkan cinta yang berlandaskan pada nilai-nilai kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.

Dalam agama Islam, misalnya, cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah yang utama. Namun, Islam juga mengajarkan cinta kepada sesama manusia, bahkan kepada alam semesta. Kurikulum cinta bisa menjadi sarana untuk mengajarkan bagaimana mencintai tanpa menindas, menghormati perbedaan tanpa kehilangan identitas, dan membangun hubungan harmonis tanpa mengorbankan prinsip.

Klaim Kebenaran Agama dan Toleransi Bisa Berjalan Beriringan

Salah satu kritik terhadap kurikulum cinta adalah anggapan bahwa kurikulum ini ingin menghilangkan klaim kebenaran agama. Padahal, klaim kebenaran dalam agama tidak harus menjadi sumber kebencian. Justru, klaim kebenaran itu bisa menjadi motivasi untuk berbuat baik dan mengajak orang lain pada kebaikan dengan cara yang santun.

Kurikulum cinta tidak bertujuan menghilangkan klaim kebenaran agama, melainkan mengajarkan cara menyikapi perbedaan dengan bijak. Misalnya, dalam Islam, ada prinsip "lakum dinukum waliyadin" (bagimu agamamu, bagiku agamaku). Prinsip ini mengajarkan umat Islam untuk menghormati keyakinan orang lain tanpa harus mengorbankan keyakinannya sendiri.

Tidak Ada Kerancuan Teologis dalam Kurikulum Cinta

Kekhawatiran lain adalah bahwa kurikulum cinta akan menciptakan kerancuan teologis. Misalnya, apakah sekolah seminari, sekolah calon bhikkhu, atau pesantren harus mengubah teologi dasarnya agar lebih toleran? Tentu tidak.

Kurikulum cinta tidak bertujuan mengubah teologi dasar agama-agama. Justru, kurikulum ini dapat memperkuat pemahaman bahwa setiap agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan yang universal. Misalnya, semua agama mengajarkan tentang keadilan, kasih sayang, dan menghormati sesama. Dengan memahami nilai-nilai universal ini, umat beragama justru dapat lebih menghayati ajaran agamanya sendiri.

Mencegah Agnostik dan Atheisme dengan Nilai-Nilai Agama yang Autentik

Ada juga kekhawatiran bahwa kurikulum cinta akan memicu agnostik dan atheisme. Padahal, kurikulum ini justru bisa menjadi alat untuk memperkenalkan nilai-nilai agama secara lebih humanis dan relevan dengan zaman.

Salah satu alasan mengapa orang menjadi agnostik atau atheis adalah karena mereka melihat agama sebagai sesuatu yang kaku dan tidak relevan dengan kehidupan modern. Kurikulum cinta dapat membantu umat beragama memahami bahwa agama bukan hanya tentang ritual, tetapi juga tentang bagaimana berinteraksi dengan sesama manusia secara baik.

Dengan mengajarkan nilai-nilai agama yang autentik, kurikulum cinta justru dapat menjadi benteng terhadap sekulerisme yang meminggirkan peran agama.

Tujuan Kurikulum Cinta: Membangun Masyarakat yang Harmonis

Lalu apa sebenarnya tujuan kurikulum cinta? Tujuannya adalah membangun generasi yang mencintai sesama tanpa kehilangan identitas agamanya. Kurikulum ini bertujuan untuk:

Pertama, memperkuat ukhuah. Baik ukhuah islamiah (persaudaraan sesama Muslim) maupun ukhuah insaniah (persaudaraan sesama manusia).

Kedua, menanamkan nasionalisme. Cinta tanah air adalah bagian dari iman. Kurikulum cinta dapat memperkuat rasa cinta terhadap bangsa dan negara.

Ketiga, meningkatkan toleransi. Toleransi bukan berarti mengorbankan klaim kebenaran agama, tetapi mengakui hak orang lain untuk menjalankan keyakinannya.

Kurikulum Cinta dalam Praktik

Bagaimana kurikulum cinta bisa diimplementasikan? Berikut beberapa contoh:

Pertama, dialog antar agama. Siswa diajak untuk berdialog dengan teman-teman dari agama lain, sehingga mereka bisa saling memahami dan menghormati.

Kedua, proyek kemanusiaan. Siswa diajak untuk terlibat dalam proyek-proyek kemanusiaan, seperti membantu korban bencana atau mengunjungi panti jompo.

Ketiga, pembelajaran nilai-nilai universal. Siswa diajarkan tentang nilai-nilai universal seperti keadilan, kasih sayang, dan empati, yang diajarkan oleh semua agama.

Kesimpulan: Kurikulum Cinta sebagai Peluang, Bukan Ancaman

Kurikulum cinta bukanlah alat sekulerisme-liberal, melainkan upaya untuk mengajarkan nilai-nilai universal yang diajarkan oleh semua agama. Dengan kurikulum ini, kita dapat memperkuat ukhuah, nasionalisme, dan toleransi tanpa mengorbankan keyakinan agama. Tujuannya adalah membangun masyarakat yang harmonis, di mana perbedaan dihormati dan kebencian diminimalisir.

Mari kita lihat kurikulum cinta sebagai peluang, bukan ancaman. Peluang untuk menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga memiliki hati yang tulus dan sikap yang menghargai sesama. Dengan begitu, kita bisa mewujudkan dunia yang lebih damai dan penuh kasih sayang. 

Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, M.E.

Dosen UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

@PesantrenID on Instagram