Pada tulisan sebelumnya sudah disinggung bahwa proyeksi terjadinya kontradiksi antara kemaslahatan dengan teks adalah sesuatu yang tidak akan terjadi sebagaimana bantahan al-Būtī dalam bukunya. Jikapun ada dugaan kontradiktif di antara keduanya, maka itu adalah disebabkan keterbatasan akal dalam memahami teks secara dangkal (hlm. 222).
Untuk mengingat kembali argumen al-Tūfī, berikut saya kutipkan ulang statemennya berikut (hlm. 34):
ومما يدل على تقديم رعاية المصلحة على النصوص والإجماع على الوجه الذي ذكرناه وجوه: أحدها أن منكري الإجماع قالوا برعاية المصلحة، فهي إذا محل وفاق، والإجماع محل الخلاف والتمسك بما اتفقوا عليه أولى من التمسك بما اختلفوا فيه. والوجه الثاني: أن النصوص مختلفة متعارضة فهي سبب الخلاف في الأحكام المذموم شرعا ورعاية المصلحة أمر متفق في نفسه لا يختلف فيه فهو سبب الاتفاق المطلوب شرعا فكان اتباعه أولى.
Pada tulisan ini, akan difokuskan pada kritik al-Būtī terhadap statemen al-Tūfī pada argument yang kedua. Yakni, bahwa teks-teks otoritatif baik al-Qur’an maupun hadis itu berbeda-beda (mukhtalifah) dan saling kontadiktif (muta’āridhah). Itu sebabnya, jika terjadi pertentangan antara teks dan maslahat harus diutamakan maslahat. Karena dalil teks menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan fukaha, sementara dalil maslahat adalah dalil yang disepakati dan menjadi sebab terjadinya kesepakatan dalam istinbāth hukum.
Benarkah teks-teks otoritatif berupa al-Qur’an atau hadis saling kontradiktif dan berbeda-beda sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat? Al-Būtī dengan tegas menyoal asumsi al-Tūfī tersebut. Al-Būtī berkata demikian:
فكيف تكون نصوص الشريعة مختلفة متعارضة وهي آتية من عند الله عز وجل؟ ولو كانت مختلفة متعارضة كما يقول لكان ذلك أكبر دليل على أنها من عند غيره سبحانه وتعالى، ولذا نبه الله عباده إلى أن تناسق القرآن وتوافق نصوصه وآياته، أكبر دليل على أنه من عند الله عز وجل.
Maksudnya: Bagaimana mungkin teks-teks syariat itu berbeda-beda dan saling kontradiktif sementara ia adalah datang dari dari Allah? Andai saja berbeda-beda dan kontradiktif sebagaimana yang dikatakan niscaya dapat menjadi bukti kuat bahwa teks-teks tersebut bukan datang dari-Nya. Oleh karenanya, Allah mengingatkan kepada hamba-hamba-Nya kepada bahwa al-Qur’an saling bersinergi satu sama lain sebagai bukti bahwa bahwa teks-teks tersebut benar-benar bersumber dari Allah.
Lebih jauh, al-Būtī menjelaskan bahwa asumsi al-Tūfī bahwa teks-teks keagamaan menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan fukaha, sementara menjaga maslahat sesuatu yang disepakati para fukaha sehingga menyebabkan kesepakatan dalam produk hukum tidaklah benar menurut para pakar hukum Islam. Hal ini karena perbedaan produk ijtihad bukan disebabkan oleh perbedaan dan kontradiksi antar-teks itu sendiri, tetapi lebih disebabkan oleh perbedaan mujtahid dalam memahami teks. Al-Būtī menjelaskan demikian (hlm. 226):
فالخلاف الذي وقع بين الأئمة في الفروع إنما هو خلاف في فهم النصوص والوصول إلى حقيقة مدلولاتها، لتفاوت الأفهام فيما بينهم، لا خلاف بين النصوص في ذاتها، وهذا الخلاف أمر متصور الوقوع في الاجتهاد، ومعلوم أن اختلاف المذاهب في الاجتهاد لا يعني بحال اختلاف النصوص في مدلولاتها، ولكنه يعني أن واحدا غير معين قد وافق الحقيقة واخطأها الآخرون، وقد رفعت الشريعة عنهم تبعة هذا الخطأ على لسان النبي صلى الله عليه وسلم إذ قال: إذا اجتهد المجتهد فأصاب فله أجران وإذا اجتهد فأخطأ فله أجر واحد، ذلك أن الله لم يلزم أهل العلم بأكثر من بذل الجهد للوقوف على ما اشتبه عليهم من الأحكام…
Pernyataan al-Būtī di atas menunjukkan bahwa terjadinya perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan mazhab fikih dalam masalah-masalah furū’iyyah bukan bersumber dari adanya perbedaan dan kontradiksi (nushūs mukhtalifah-muta’āridhah) antar-teks itu sendiri. Akan tetapi, perbedaan dalam memahami teks dan metode dalam mengungkap petunjuk-petunjuk teks berdasarkan perbedaan manhaj dalam menganalis dilālah teks.
Pada titik ini, seorang mujtahid memiliki perbedaan metode dalam memahami teks sehingga melahirkan kesimpulan hukum yang berbeda. Oleh karenanya, mujtahid yang berijtihad secara benar mendapat dua pahala, sementara yang berijitihad tetapi salah, maka ia dapat satu pahala. Hal ini karena ia sudah mengerahkan segala kemampuannya untuk memahami makna teks dalam suatu produk hukum meskipun “kurang tepat” secara hakikat dari aspek memahami dilālah-nya.
Hal ini sejalan dengan dengan pernyataan al-Syātibī berikut:
أما تجويز أن يأتي دليلان متعارضان فإن أراد الذاهبون إلى ذلك التعارض في الظاهر وفي أنظار المجتهدين، لا في نفس الأمر، فالأمر على ما قالوه جائز، ولكن لا يقضي ذلك بجواز التعارض في أدلة الشريعة.
Maksudnya: “Adapun kebolehan adanya dua dalil yang saling bertentangan, jika mereka maksudkan adalah pertentangan secara zahir dan hanya dalam persepsi mujtahid, bukan pada hakikatnya. Maka asumsi yang mereka katakan itu sesuatu yang mungkin. Akan tetapi, hal itu bukan berarti meniscayakan adanya pertentangan antara dalil-dalil syariat.
Dalam konteks ini, pertentangan antar-teks itu mungkin terjadi dalam persepsi mujtahid saja, bukan pada hakikatnya (fī nafs al-amr). Mengapa demikian? Karena jika kontradiksi antar-teks itu benar terjadi, niscaya mengarah pada pembebanan syariat yang tidak mungkin dapat ditunaikan oleh mukallaf.
Penjelasannya begini: Karena jika ada dua teks yang saling kontradiktif fi nafs al-amr, sementara keduanya dikehendaki oleh Syāri’, maka ada tiga kemungkinan bagi mukallaf: (1) diperintahkan keduanya, (2) tidak diperintahkan sama sekali dan (3) diperintahkan salah satunya. Kemungkinan yang pertama pasti gugur karena tidak mungkin membebankan syariat bi mā lā yuthāq, karena saling bertentangan satu sama lain.
Oleh karena itu, al-Būtī mengkritik keras al-Tūfī dengan mengatakan demikian:
ولقد استدل الطوفي على هذا الزعم العجيب بالخلاف الذي وقع بين الأئمة والفقهاء بسبب النصوص، ولست أدري كيف يتصور عاقل من الناس ضرورة الصلة بين هذا الدليل وذلك الزعم.
Dengan demikian, menjadikan argumen bahwa teks berbeda-beda dan saling kontradiktif untuk membangun kesimpulan bahwa jika terjadi pertentangan antara teks dan maslahat maka diutamakan maslahat karena teks bersifat kontradiktif satu sama lain sementara maslahat dalil yang otoritatif karena disepakati para fukaha tidak dapat diterima.
Hal itu karena beberapa hal: (1) perbedaan produk ijtihad fukaha bukan disebabkan teks yang berbeda-beda dan saling kontradiktif, tetapi perbedaan tingkat pemahaman mujtahid dalam mengungkap maksud teks itu sendiri, (2) terjadinya pertentangan dalil teks itu hanya terjadi dalam persepsi mujtahid semata, bukan pada hakikatnya (fi nafs al-amr). Karena mustahil, Allah menurunkan wahyu dengan saling kontradiksi satu sama lain, dan (3) tidak ada korelasi antara argumen yang dibangun dan kesimpulan yang diajukan al-Tūfī. Wallāhu a’lam. [HW]