Konflik Sosial Keagamaan di Masa Pandemi Covid 19

Awal bulan Maret tahun 2020, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan mewabahnya virus baru yang telah menyebar di berbagai negara lain sehingga menyebabkan dampak yang sangat serius pada aspek-aspek kehidupan. Oleh WHO sebagai organisasi kesehatan dunia telah menetapkan bahwa wabah virus ini merupakan wabah pandemic global yang dinamakan sebagai COVID-19 atau Coronavirus Disease 2019. Wabah ini muncul pertama kali di kota Wuhan Cina. Wabah virus yang disebabkan oleh organisme mikroskopis atau yang disebut bakteri ini menjadi penyakit yang sangat serius karena dapat menyebabkan kerusakan pada tubuh hingga menyebabkan kematian.

Terdapat tiga level seseorang dapat dikatakan sebagai pasien covid 19 yakni ODP (Orang Dalam Pengawasan) yaitu orang yang berpergian kedalam wilayah zona merah dan berinteraksi dengan orang lain tanpa menggunakan protocol kesehatan, PDP (Pasien Dalam Pengawasan) yaitu orang yang sudah melalui pengecekan bertahap , dan pasien positif atau orang yang terjangkit virus covid 19.

Dengan menyebarnya virus yang sulit untuk dideteksi maka pemerintah Indonesia memberlakukan system Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) secara parsial maupun total untuk beberapa wilayah yang terdampak paling parah. Sistem pembatasan social berskala besar di Indonesia juga menyebabkan aktivitas massal dan kerumunan dilarang sebagai upaya mencegah penyebaran virus covid 19 ini. Pemerintah juga menetapkan protokoler kesehatan yang harus diperhatikan oleh semua elemen masyarakat yakni dengan menjaga jarak, menghindari keramaian, menjaga kebersihan tempat, badan, dan pakaian, serta menggunakan masker saat bepergian.

Agama merupakan system yang mengatur keimanan seseorang terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dalam pandangan Islam, wabah dinilai sebagai ujian terhadap manusia agar manusia kembali menyucikan diri dan mengingat akan Allah swt. Dengan adanya kesadaran agama bagi setiap manusia, maka mereka akan menyikapi wabah covid-19 ini dengan optimis dan bersabar seraya melakukan upaya yang terbaik serta lebih bertawakkal kepada Allah swt. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw yang pada saat itu juga pernah terjadi pandemic penyakit menular kemudian sebagai Tindakan pencegahan, Nabi memerintahkan untuk tidak berdekatan dengan penderita maupun wilayah yang terkena wabah sambil memohon pertolongan kepada Allah swt.

Baca Juga:  Kehidupan Sosial di Era Pandemi

Konflik merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan dalam berkehidupan social. Menurut pendapat Berger dan Luckman, institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan serta diubah melalui adanya tindakan dan interaksi, meskipun masyarakat dan institusi social terlihat nyata obyektif namun pada kenyataannya semuanya dibangun dalam definisi subyektif melalui proses interaksi pada keduanya. Sebagai makhluk social, manusia pasti berinteraksi satu sama lain.

Maka dari interaksi social inilah  akan timbul konflik jika kepentingan antar individu saling bertentangan. Selain dari adanya pertentangan antara kepentingan individu, konflik juga akan muncul dari adanya perbedaan pemaknaan terhadap symbol-simbol komunikasi yang digunakan seperti pada media social atau dunia maya yang menyediakan symbol atau emoticon untuk menyampaikan pikiran seseorang.

Wabah covid-19 ini telah menyebabkan perubahan perilaku keagamaan masyarakat Indonesia termasuk masyarakat Islam. Perubahan ini dapat ditemukan disekitar kita yakni mulai dari shalat berjamaah di rumah, shalat Jum’at di rumah, shalat idul fitri di rumah, perubahan kalimat pada sebagian kata dalam adzan hingga pemerintah yang membatalkan pemberangkatan jamaah haji. Perlu kita ketahui bahwa hal tersebut termasuk kedalam perubahan tradisi keagamaan dan perilaku beragama. Banyak dari masyarakat yang mematuhi aturan pemerintah dengan melakukan kegiatan keagamaan dari rumah masing-masing, namun ada pula masyarakat yang menghiraukan aturan pemerintah dengan dalih bahwa di desa mereka aman dan tidak ada yang terpapar covid 19.

Seperti pada saat melakukan shalat Jum’at yang seharusnya dilakukan secara berjamaah di masjid sebanyak empat puluh orang maka dengan adanya aturan pemerintah untuk melakukan social distancing, beberapa dari kelompok masyarakat yang akhirnya mengganti shalat Jum’at dengan shalat dhuhur dan beberapa kelompok lain melakukan shalat Jum’at secara diam-diam dengan tanpa pengeras suara dan menerapkan protocol kesehatan. Di sisi lain kepentingan kelompok yang tidak melakukan shalat Jum’at adalah untuk menghentikan penyebaran covid 19, sedangkan untuk kepentingan kelompok yang melakukan shalat Jum’at pada saat pendemi ini terjadi adalah karena tidak ingin melanggar perintah dan ajaran agama.

Baca Juga:  Hari Santri: Kontekstualisasi Ruhul Jihad di Era Pandemi

Selanjutnya, dari kejadian ini timbullah konflik yang konstruktif sehingga membuat perubahan social yang terjadi di masyarakat berubah menuju arah yang positif. Hal ini tidak menguatkan pendapat yang dikatakan oleh Lewis Coser di dalam The Funcion Of Conflict bahwa konflik tidak selamanya berwajah negative. Dengan adanya konflik seperti ini maka masyarakat justru banyak belajar dan merasa tersadar untuk mempertahankan identitas social keagamaan mereka. Kemudian, penyelesaian konflik yang terjadi ini adalah dengan dialog antar kelompok masyarakat dengan tokoh agama yang mana menyebabkan debat dan menyisakan persoalan, namun persoalan yang terjadi selesai begitu saja pada saat kelompok yang taat aturan pemerintah tidak bisa melarang kelompok lain untuk melakukan shalat Jum’at di masjid. Dengan ini penyelesaian terjadi secara begitu saja tanpa adanya deklarasi.

Contoh lain yakni lunturnya berjabat tangan antar sesama padahal dalam Islam disebutkan bahwa seseorang yang bertemu kemudian berjabat tangan, maka Allah swt akan mengampuni dosa mereka yang berjabat tangan tersebut. Namun, pada saat pandemic yang terjadi bukannya membudayakan ladang pahala tersebut malah menghindari bersentuhan dan kerumunan sebagai sikap antisipasi. Kemudian dengan seiring berjalannya waktu, begitu juga sama seperti konflik shalat Jum’at di masjid maka konflik berjabat tangan ini juga mereda. Beberapa dari mereka tetap berjabat tangan saat bertemu dan beberapa dari mereka lainnya enggan berjebat tangan namun memberikan kata sapaan yang sopan.

Jika dilihat lebih dalam lagi, covid 19 ini merupakan sebuah ujian dari Allah swt yang bukan hanya mendatangkan sisi negatif tetapi juga sisi positif yang berupa kembalinya masyarakat pada ajaran agama khususnya agama Islam yang sering dilanggar atau bahkan dilupakan. Maka dari itu, sudah sepatutnya  untuk bertaubat dan memohon perlindungan dari Allah swt sebagai hamba yang penuh dengan khilaf dan dosa yang bahkan tidak disadari oleh diri sendiri. []

Baca Juga:  Peran MUI dalam Arus Transformasi Sosial Budaya di Indonesia

 

Sumber Referensi

Ghofur, Abdul, Bambang Subahri. “Konstruksi Sosial Keagamaan Masyarakat Pada Masa Pandemi Covid-19.” DAKWATUNA 6, no. 2 (2020): 281-301.

Syatar, Abdul, dkk. “Darurat Moderasi Beragama di Tengah Pandemi Corona Virus Desease 2019 (Covid-19).” KURIOSITAS 13, no. 1 (2020): 1-13.

Fakhruroji, Moch, dkk. “Strategi Publik Penanganan COVID-19 di Indonesia: Prespektif Sosiologi Komunikasi Massa dan Agama.”

Azizah, Lutfatul, Nuruddin. “Konflik Sosial Keagamaan Dimasa Pandemi Covid-19.” Sangkep 4, no. 1 (2021): 94-108.

Maziyatussufiyah
Mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini