Al-Azhar dan Indonesia telah lama menjalin hubungan yang cukup intens, dengan hadirnya para pelajar dari sekitar tahun 1850 hingga sekarang. Mereka datang dari Indonesia untuk mereguk samudera keilmuan kepada Masyayikh Al-Azhar untuk kemudian kembali ke tanah Air untuk menyebarkan risalah keilmuan kepada masyarakat tanah airnya.
Kisah ini diabadikan oleh Syaikh DR. Husam Syakir, Dosen Fakultas Komunikasi Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir yang pernah berkunjung ke Indonesia, berkeliling ke beberapa tempat disana, bertemu dengan para Ulama, akademisi untuk menggali tentang hubungan baik antara Al-Azhar dan Indonesia. Dari risetnya tersebut beliau menuliskannya dalam kitab al-Mujaz al-Latif fi ‘Alaqat Indonesia bil Azhar as-Syarif.
Kami mendapatkan informasi kitab ini dari DR. (Cand) KH. Faiz Chusaini, MA, Ketua Tanfidziyah Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Republik Arab Mesir dan Kandidat Doktor Universitas Al-Azhar, Kairo saat menghadiri munaqosyah (sidang) disertasi DR. Nyai Hj. Iffatul Umniyati Ismail, Lc, MA berjudul Ijtihad dan Fatwa Fikh Kontemporer dan Penerapannya pada Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia (Perspektif Ushul Fikh) di Auditorium Prof. DR. Abd Tawwab, Fakultas Studi Islam dan Bahasa Arab Universitas Al-Azhar Putri, Kairo. Dan berikut beberapa uraian Syaikh DR. Hussam Syakir tentang perjalanan orang Indonesia untuk belajar di Ruwaq (Hunian) Al-Azhar.
Hubungan antara Al-Azhar dan Indonesia semakin diperkuat pada masa ibadah haji (Mekkah dan Madinah). Dimana masyarakat Indonesia tinggal dalam tempo yang lama disana dan bertemu dengan para Masyayikh Al-Azhar. Diantara mereka ketika pulang dari haji, mereka singgah ke Mesir dan menetap di sana. Para pelajar tersebut tinggal di Masjid Al-Azhar untuk menuntut ilmu dari para Masyayikh disana.
Ali Pasha Mubarak mengabarkan bahwa pada tahun 1306 H atau 1888 M, masyarakat Indonesia datang untuk belajar di Al-Azhar. Mereka datang sejak 130 tahun yang lalu. Saat itu merupakan perkara yang sangat sulit jika kita memahaminya, karena pada masa itu belum ditemukan pesawat terbang. Perjalanan sulit yang hanya dapat dilakukan oleh para laki-laki yang memiliki keinginan yang kuat. Perjalanan dari Indonesia ke Mesir melalui jalur laut memakan waktu yang lama, sampai beberapa bulan dan di zaman itu yang hanya ada kapal layar atau kapal uap.
Merujuk Pada Catatan DR. H. Abdurrahman Fakhir Mantan Duta Besar Republik Arab Mesir pada Kurikulum Pembelajaran di Al-Azhar merujuk pada sistem yang telah dilaksanakan dari semenjak kedatangan generasi pelajar Indonesia pertama di Mesir yang bertempat di Masjid Al-Azhar pada tahun 1850 Masehi. Salah satu diantaranya yang hidup pada masa itu adalah Syekh Abdul Manan Dipomenggolo al-Tarmasi al-Jawi, Pendiri Perguruan Islam Pondok Tremas di Pacitan, yang belajar pada Syaikh Ibrahim al-Bajuri, Syaikh Al-Azhar di masanya.
Sebelum kedatangannya ke Mesir, Syaikh Abdul Manan Dipomenggolo belajar di Pondok Pesantren Tegalsari, Ponorogo, Jawa Timur kepada Kyai Hasan Besari. Kemudian beliau melanjutkan studi ke Mekah di bawah bimbingan Syaikh Muhammad Syatha. Syaikh Abdul Mannan, Semoga Allah merahmatinya meninggal dunia pada tahun 1862 Masehi
Kemudian digantikan oleh putranya, yakni Syaikh Abdullah, yang wafat pada tahun 1311 Hijriyah bertepatan 1894 Masehi. Dilanjutkan oleh cucunya, Syaikh Muhammad Mahfudz, Pengarang kitab: Al-Fawa’id Al-Tarmasiyah fi Asnad Al-Qira’at Al-Ashriyyah, Al-Badr Al-Munir fi Qira’at Imam Ibnu Katsir, Ta’mim Manafi’ fi Qira’at Imam Nafi, Bughyatul Adzkiya’ fi Karamat Auliya’, Is’af Mathali’ bi Syarah Badr al-Lami’ Nadzam Jam’ul Jami’ karya Imam Jalaluddin as-Suyuthi dan lain-lain.
Kepada Syaikh Mahfudz banyak ulama dari Indonesia yang belajar kepadanya, diantaranya adalah KH. Muhammad Hasyim Asy’ari pendiri Nahdlatul Ulama. Syaikh Mahfudz semoga Allah merahmatinya wafat di Makkah dan dimakamkan bersama keluarga Syatha di Pemakaman Ma’la pada tahun 1338 Hijriyah Bertepatan 1920 Masehi.
Kemudian Perjuangan Syekh Abdul Manan di Tremas digantikan oleh cucunya Syaikh Dimyathi bin Abdullah yang mengasuh Perguruan Islam Pondok Tremas, pesantren tersebut sampai sekarang masih eksis di Jawa Timur dimana Presiden Suharto pernah mengunjunginya. Keturunan Syekh Abdul Mannan berikhtiar untuk terus berusaha menjaga hubungan baik dengan Al-Azhar, sebagaimana yang disampaikan Syekh KH. Luqman Hakim Harus Dimyathi, Pengasuh Perguruan Islam Pondok Tremas sekarang.
Pada kunjungannya ke Mesir pada tahun 1443 Hijriyah bertepatan 2021 Masehi beliau menyerahkan dua kitab karya Syekh Muhammad Mahfudz kepada Dr. Muhammad Al-Duwaini, Wakil Grand Syaikh Al-Azhar, bersama dengan KH. Amal Fathullah Zarkasyi, Pengasuh Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo. Beliau banyak berdiskusi dengan para pimpinan Al-Azhar tentang penyetaraan ijazah Perguruan Islam Pondok Tremas dengan Universitas Al-Azhar. Kemudian KH. Luqman Haris Dimyathi melaksanakan salat Jumat di Masjid Al-Azhar untuk mengenang tempat kakeknya dulu pernah belajar di Ruwaq (Hunian) Al-Jawi.
Jumlah santri Jawi di Mesir pada awalnya sedikit. Mereka tinggal di Masjid Al-Azhar di Ruwaq Jawi, yaitu sebuah kediaman kecil yang terletak di antara Ruwaq Sulaymaniyah dan Shawam, yang berisi rak buku yang diperuntukkan bagi santri yang datang dari Asia Tenggara seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, dan negara-negara Melayu “Malaysia masa kini” dan Siam “Thailand masa kini”. Ruwaq-Ruwaq di Masjid Al-Azhar saat itu dipersiapkan untuk menyambut generasi muda terbaik bangsa Islam dari seluruh penjuru dunia yang harapan mereka tertuju pada Mesir untuk membentuk peradaban baru dalam kebudayaan Islam dengan Al-Azhar sebagai Kiblat Ilmu bagi seluruh Umat Islam.
Tentang kisah Ruwaq Jawi dan Ruwaq-ruwaq lainnya yang dihuni oleh pelajar-pelajar Al-Azhar dari berbagai belahan dunia pernah dituliskan oleh Mu’hid Rahman, Mahasiswa Pascasarjana Turats dan Manuskrip Arab Institut Riset dan Studi Arab Kairo Mesir dalam artikelnya berjudul Hunian Orang-orang Jawi di Masjid Al-Azhar yang dimuat di laman tawazun.id. Dan berikut uraiannya
Dalam sejarahnya, masjid Al-Azhar mengenal sistem hunian yang bernama ruwaq. Ruwaq Al-Jawiyyah untuk para pendatang dari Kepulauan Nusantara salah satunya. Umumnya ruwaq (hunian) di Masjid Al-Azhar dinamai sesuai negeri asal para para para mujawir (orang yang mendekat/tinggal di masjid) yang menghuninya. Setidaknya terdapat 18 riwaq yang dikhususkan bagi mereka yang datang dari luar Mesir.
Ada Ruwaq Asy-Syawwam untuk para talib dari Negeri Syam. Ruwaq Al-Magharibah untuk Negeri Barat Mesir. Ruwaq Al-Atrak untuk negara Turki, Yugoslavia, Albania, Rusia, dan Turkistan. Ruwaq Al-Haramain untuk Negeri Hijaz. Riwaq Al-Yamaniyyah (Yaman). Ruwaq Al-Barnu (Senegal, Nigeria, Guinea, Ghana). Ruwaq Al-Jabartiyyah (Ethiopia, Eritrea, Somalia). Ruwaq Al-Barabirah (Mauritania dan sekitaran).
Ada pula As-Sulaimaniyyah untuk para talib dari negara yang sekarang ini wilayah Afghanistan. Ruwaq Al-Hunud untuk orang-orang India. Ruwaq As-Shin dan Janub Afriqiyah untuk Cina dan Afrika Selatan. Satu yang menjadi topik bahasan kali ini adalah Ruwaq Al-Jawiyyah, hunian yang dikhususkan untuk para talib pendatang dari sejumlah negeri di arah Jawa.
Berdasarkan beberapa manuskrip yang bertanda wakaf dan sejumlah buku, riwaq ini disebut dengan beberapa nama berbeda. Ruwaq Al-Jawah, Ar-Ruwaq Al-Jawi, atau yang paling banyak berulang adalah Ruwaq As-Sadah Al-Jawiyyah. Dari semuanya, nisbat Jawa yang dimaksud tentunya tidak terbatas pada pulau Jawa yang kita kenal, melainkan mencakup negeri-negeri di Kepulauan Nusantara atau Dunia Melayu. Wilayah ini sekarang menjadi bagian dari negara modern Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei, dan Filipina.
Penamaan ruwaq di masjid Al-Azhar memang kerap menggunakan nisbat yang disertai huruf ta’ li-dalalat al-jam’. Ruwaq Al-Jawiyyah salah satunya. Ta’ yang terbaca wakaf pada Jawiyyah menunjukkan makna jamak pada lafal sebelumnya. Yakni Hunian Orang-orang Jawi. Lalu, kenapa Kepulauan Nusantara disebut dengan nisbat Jawa? Jawaban yang paling mungkin bahwa Jawa adalah penjuru yang paling pas untuk ditunjuk dari kawasan Arab oleh khalayak di zaman itu. Meskipun Jawi yang dimasukkan adalah negara-negara di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, Filipina dan lain-lain.
Alkisah, tersebutlah seorang yatim bernama Utsman. Utsman Qazdughli Katkhuda. Ia adalah anak asuh Hasan, ayah Abdurrahman yang disebut di video Pendar Lampu Belajar. Saat menjadi amir, Utsman juga dikenal punya banyak amal. Ia tercatat sebagai orang yang mendirikan sejumlah ruwaq di Masjid Al-Azhar pada tahun 1148 H. Zawiat Al-‘Umyan, Ruwaq Asy-Syawwam, Ruwaq As-Sulaimaniyyah, dan tentu riwaq yang diapit keduanya, Ruwaq Al-Jawiyyah. Tak sekedar mendirikan, ia juga mewakafkan banyak petak sawah dan hasil bumi demi mencukupi kebutuhan riwaq.
Ruwaq Al-Jawiyyah terbilang kecil jika dibandingkan dengan beberapa ruwaq lain. Tentunya karena jumlah penghuninya pun tak banyak. Namun, ruwaq mungil ini mampu menggaji tinggi para mujawir yang menghuninya plus tiga pegawai. Urusan kebersihan, fasilitas, dan pengisi air. Hunian ini juga dilengkapi khazanah yang menghimpun 46 jilid kitab. 11 roti dijatah untuk dua hari sekali. Sedangkan tiap harinya, penghuni Ruwaq Al-Jawiyyah disyaratkan mendaras enam juz Al-Quran.
Pada 1954 rencana pembangunan Madinat Al-Bu’uts Al-Islamiyyah diresmikan oleh pemerintah. Asrama itu rampung dibangun lima tahun setelahnya. Para penghuni masjid Al-Azhar dialihkan ke asrama berkonsep kota mini itu. Sebagian Ruwaq pun menghilang. Namun, Ruwaq Al-Jawiyyah adalah salah satu yang masih bertahan di dalam masjid meski posisinya harus bergeser sebab penataan ulang.
Ia tak lagi berada di antara Ruwaq Asy-Syawwam dan Ruwaq As-Sulaimaniyyah. Namanya pun beralih menjadi Ruwaq Indunisiya meski penghuninya juga mencakup para talib asal Siyam, Filipina, dan Semenanjung Malaya. Dalam bukunya, seorang peneliti Mesir Mona Abaza merekam keberadaan riwaq ini di awal dekade 90-an.
Para mujawir asal Asia Tenggara dikenal solid, pandai beradaptasi, dan bergaya mutakhir. Mereka pun tak ketinggalan berita aktual. Kecintaan mereka pada negeri nan jauh tak pupus bin lekang dari hati. Para mujawir Jawi tercatat pernah membentuk sejumlah organisasi di beberapa masa yang berbeda. Sebut saja Al-Jam’iyyah Al-Khairiyyah li Ath-Thalabah Al-Azhariyyah Al-Jawiyyah, Persatuan Pelajar Indonesia dan Melayu (Perpindom), dan Jam’iyyah Ad-Difa’ ‘An Istiqlal Indunisiya (Organisasi Perjuangan Kemerdekaan Indonesia).
Hari ini, sistem Ruwaq dan istilah Mujawir di Masjid Al-Azhar sudah tiada lagi. Namun, keduanya tak begitu saja serejang menghilang. Seperti banyak hal di dunia ini, ia beralih wujud secara perlahan dan menyesuaikan zaman. Seiring berjalannya waktu para pelajar dari Indonesia yang berjumlah sekitar enam belas ribu orang banyak yang bermukim di beberapa tempat yang tersebar di sekitar Kairo yakni Darrasah, Hayyu Sabi’, Hayyu Ashir, Muqottam, dan Zahra. Mereka menyewa flat dengan kawan-kawan mereka dari daerah provinsi masing-masing atau alumni pesantrennya. Semoga mereka kelak bisa mendapatkan ilmu yang bermanfaat dari para Masyayikh Al-Azhar agar bisa menyebarkan spirit Moderasi Islam di tanah air kita tercinta dan penjuru dunia. Amin. []
Kairo, 18 Sya’ban 1445 H/ 28 Februari 2024 M
Al-Faqir Muhammad Abid Muaffan
Khadim Sanad Al-Qur’an Nusantar