Tak ubahnya pesantren lain yang menyajikan sekolah tinggi pasca menengah atas, di Sukorejo Situbondo juga ada tempat padanan, yang hari ini bernama “Universitas Ibrahimy”. Nah, ngomongin Universitas Ibrahimy, yang pasti Lahirnya perguruan tinggi dari rahim Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo itu, tentu berkaitan erat dengan hiruk-piruk historis panjang era pengasuh pesantren kala itu, yaitu khadratus syaikh KHR. As’ad Syamsul Arifin.
Kurang lebih begini.
Di era 60-an, pahlawan nasional itu setidaknya terilhami oleh pergerakan G30S PKI yang selalu berakhir tumbang di tanah air. Alih-alih kandasnya gerakan ini, versi Kiai As’ad faktor terkuatnya adalah, karena di negeri ini masih selalu penuh ulama-ulama yang hebat nan tangguh.
Namun, hadirnya ulama-ulama tangguh itu menurut beliau masih dirasa tidak cukup berimbang, dan belum bisa memadai untuk tantangan masa depan yang akan semakin kompleks. Bukan sebatas titel “ulama” saja yang dibutuhkan untuk mengurus ranah pendidikan, pembangunan, politik dll. Pada negeri ini, juga perlu adanya tenaga-tenaga sarjana yang mahir dan terampil sebagai pengawal di era yang serba formalitas esok hari.
Pertimbangan ayahanda Kiai Fawaid itu kian menjadi bahan perhatian, disaat kondisi orde baru dan subsidi dari pesantren masih kurang optimal. Kondisi awal-awal orde baru, kala itu bisa dibilang sulit dan minim dijumpai tenaga sarjana dari golongan kita, umat Islam. Disamping itu, jebolan anak pesantren juga dirasa kurang memadai untuk menghadapi kebutuhan umat yang sekali lagi, semakin hari semakin luas nan komplek. Dengan bahasa yang lebih jelas, waktu itu jebolan alumnus pesantren hampir tak dijumpai yang menyandang gelar “sarjana”.
Nah, dari pemikiran dan pertimbangan yang panjang nan brilian ini, di akhir 60-an, persisnya pada tanggal 13 Zhulhijjah 1388 H atau yang bertepatan dengan 14 Maret 1968 M, akhirnya sang pemegang kebijakan nomer wahid pesantren, KHR. As’as Syamsul Arifin resmi membuka perguruan tinggi di bawah naungan Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo dengan tajuk mulia “UNNIB”. Lima huruf ini, merupakan kependekan dari “Universitas Nahdlatul Ulama Ibrahimy”.
Tak hanya seorang pengasuh pesantren yang membuka dan memperkenalkan debut baru perguruan tinggi di sukorejo ini. Dalam peresmian UNNIB silam, juga turut hadir Dirjen Binisa Islam Depertemen Agama Republik Indonesia, Rusaan (semacam petugas pemerintah), dan beberapa Terus LP Ma’ruf Nahdatul Ulama. Di hari peresmiannya itu, UNNIB hanya mengusung sebuah fakultas, yaitu Fakultas Syariah.
Ihwal tenaga pengajar atau dosennya, pada mulanya UNNIB hanya mengampu 15 orang, yang berasal dari berbagai daerah. Surabaya, malang, situbondo, dan beberapa lainnya berasal dari penduduk lokal sendiri, Sukorejo. Jumlah peserta mahasiswa nya pun di periode ini bisa dibilang tidak sedidkit. Di Tahun akademik 1969-1970 saja, UNNIB sudah bisa mencatatkan nama 130 peserta didik baru, yang mayoritas dari mahasiswa dan sebagian lagi mahasiswi.
Tak jauh dari hari lahirnya kepangkuan Sukorejo, atas peraturan pemerintah, perguruan tinggi kebanggaan ini harus berubah nama menjadi “UNIB”, tanpa memakai kata “Nahdlatul Ulama”. Kembali, di usianya yang sudah cukup lama, atas dasar kebijakan pemerintah pula Universitas Ibrahimy harus berganti nama menjadi “Institute Agama Islam Ibrahimy”, atau yang masyhur dengan sebutan “IAII”.
Alasannya cukup wajar, karena untuk menyandang nama “universitas”, pemerintah hanya bisa memberikan untuk perguruan tinggi yang memiliki fakultas sosial dan eksakta. Sementara perguruan tinggi di Sukorejo ini, kala itu masih memiliki satu fakultas, yaitu Fakultas Syariah. Tak mencukupkan dengan semata wayang fakultas, di kemudian hari “IAII” ini bisa melahirkan beberapa cabang fakultas. Perikanan misalnya, pertanian, pertukangan dan jamak yang lainnya.
Nah, tepat setelah beberapa diksi di paragraf sebelumnya, ada kisah menarik dari Kiai as’ad sebelum pulang keharibaan sang ilahi robby. Dalam sebuah kesempatan, Kiai As’ad pernah memberi wejangan kepada para santri dan beberapa pengurus yang turut hadir dalam kesempatan itu. Dalam wejangannya, beliau menyampaikan; bahwa beliau sudah sepuh, salah satu cita-citanya saat wafat nanti, beliau ingin meninggalkan beragam pendidikan pada pesantren tercinta, Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo.
Ditengah wejangannya, Kiai Asad sempat mengkaitkan pada tanya jawab dengan malaikat saat tiba di alam barzah nanti. Sebab, beliau saat wafat kelak timbul rasa kehawatiran akan tanya dari malaikat. “Bagaimana santri-santrimu? Kamu meninggalkan apa buat mereka?” dawuh Kiai As’ad, memerankan diri sebagai malaikat. Beliau lanjut meniru seolah-olah malaikat; “Kok tidak membuat sekolah nelayan? Bukankah negeri ini negeri agraris bahari?”
Kembali pada ihwal lahirnya perguruan tinggi yang didirikan Kiai As’ad, bahwa setelah sekian lama menyandang nama “IAII”, di pertengahan 2017 kemaren perguruan tinggi ini “kembali” mengukir sejarah prestisius. Orang nomer wahid di tanah air, presiden RI bapak Jokowi singgah ke bumi Sukorejo, spesial guna meresmikan perubahan IAII menjadi UNIB, alias “Universitas Ibrahimy”.
“Unik”, bukan? Perguruan Tinggi di Sukorejo ini. Dari pertama-tama menyandang nama “UNNIB”, berubah menjadi “UNIB”, berlanjut ke “IAII”, dan berkat perjalanannya yang mapan nan gemilang, pada akhirnya berubah kepada “UNIB” (kembali).
Berkah, Universitas Ibrahimy.
Semoga bisa melahirkan insan-insan mulia, dan bisa mewujudkan visi dari sang prakarsa, murobby “KHR. As’ad Syamsul Arifin”.
Sumber:
Biografi dan Perjuangan Hidup Kiai As’ad
Kharisma Kiai As’ad di Mata Umat