Imam Sibawaihi, Zumbur dan Politik

Abu Bisyr, julukan yang disematkan pada Imam Sibawaihi. Dan Sibawaihi sendiri adalah nama panggilan dari Amr bin Ustman, nama yang berasal dari Persia yang bermakna aroma apel. Imam Sibawaihi lahir pada tahun 765 M di Kota Syiraz, Persia (sekarang Iran) dan wafat pada usia 32 tahun di kota yang sama pada tahun 796 M.

Nama Sibawaihi tidak asing bagi kalangan linguis dan ulama tatabahasa, karena semarak ilmu nahwu tidak terlepas dari pikiran inteleknya, sebuah fan yang ada dalam kaidah bahasa Arab. Ilmu yang dikenal sulit, ruwet, dan dijahui, tetapi baginya menjadi sebuah keindahan, dan di tanganya menjadi sesuatu yang mudah.

Imam Nahwu, hujjah Arab, demikian julukan lain yang disematkan padanya oleh para pakar tatabahasa Arab. Karyanya sampai hari ini belum ada yang menandinginya, dan hal itu diakui oleh al-Jahidh, Ibnu Katsir, Abu Ishaq dan para imam lainnya.

Sosok yang dikenal lembut, rendah hati, cerdas, dan ganteng ini, bila berdebat tentang ilmu nahwu, maka lawannya akan terdiam, terkagum-kagum, dan tidak mampu mendebatnya kembali. Tulisannya lebih mengagumkan dari pada bicaranya, ia agak gagap (hubsah) tetapi ia paling presentatif bila menyampaikan ilmu dari gurunya, Khalil Al-Farahidi, kata Muawiya bin Bakr.

Peristiwa Zumbur, dan arah politik negara yang tidak mendukungnya, membuatnya pergi dari Basrah (sekarang Irak). Tempat, dimana membuat namanya melambung tinggi, bahkan kemasyhurannya mengalahkan gurunya, Khalil Al-Farahidi. Peristiwa pahit yang dialaminya, adalah kecamuk antara kebenaran dan dukungan politik. Kebenaran ilmu yang tidak didukung oleh politik pada waktu itu, membuatnya getir.

Dulu, di negeri Irak (masa ke khalifahan Abbasiyah) terdapat tiga daerah penting; Basrah, Kufah dan Baghdad. Kota Basrah dikenal dengan Madrasah Nahwu-nya dibawah asuhan Imam Sibawaihi, Kufah dengan Imam Kisa’i-nya yang juga dikenal dengan tokoh tatabahasa Arab. Sedangkan Baghdad, lebih dikenal dengan pusat pemerintahan, atau kota politik.

Baca Juga:  Belajar Literasi dari TGH Abubakar H Abidin: Ulama Bima Ahli Nahwu Shorof

Basrah dan Kufah, dua blok madrasah nahwu. Imam Sibawaihi dan Imam Al-Kisa’i, dua tokoh yang sama-sama dikagumi tidak hanya di dua kota tersebut, tetapi diberbagai propinsi di bawah pemerintahan Abbasiyah keduanya sangat masyhur.

Peristiwa Zumbur, bukan sebuah peristiwa perang, atau pertikaian memperebutkan kekuasaan, tetapi sebuah perdebatan tentang tatabahasa yang melibatkan blok Basrah dan blok Kufah. Perdebatan itu terjadi di Propinsi Baramiqah yang fasilitasi langsung oleh gubernur, Yahya bin Khalid. Debat yang difasilitasi oleh pemerintah ini diumumkan ke halayak, sehingga dari berbagai penjuru kota banyak orang-orang yang ingin menyaksikan perdebatan antara dua blok Basrah dan Kufah. Dari blok Kufah tidak hanya dihadiri oleh sang tokohnya, Al-Kisa’i, tetapi bersamanya beberapa orang Arab, yang sengaja dibawa oleh blok Kufah. Sebelum perdebatan berlangsung, Al-Kisa’i bertanya pada Sibawaihi; “Kamu yang bertanya padaku, atau Aku bertanya padamu?” Sibawaihi menjawab, “Kamu yang bertanya terlebih dahulu!”.

Kemudian Al-Kisa’i bertanya pada Sibawaihi, “Bagaimana kamu menanggapi kalimat berikut?

قَد كنْتُ أظنُّ أن العقربَ أشدَّ لسعة من الزُنْبُور فإذا هو هي، أو فإذا هو إياها بعينها؟

Dan Al-Kisa’i juga bertanya beberapa masalah lainnya yang tidak jauh berbeda, seperti kalimat;

خرجت فإذا عبد الله القائمُ أو القائمَ؟

Menurut pendapatmu, kalimat di atas dibaca rafa’ atau nasab?

Imam Sibawaihi menjawab, bahwa semua kata di atas hanya boleh dibaca rafa’, sedangkan Al-Kasa’i berbeda dengan Sibawaihi, bahwa kalimat di atas boleh rafa’ dan nasab. Sibawaihi dengan berbagai argumennya membantah pendapat Al-Kisai. Keduanya tetap mempertahankan pendapatnya masing-masing, tidak ada yang mengalah atau merasa kalah. Kemudian sang fasilitator turun tangan melihat perdebatan sengit dan belum ada tanda-tanda siapa yang benar dan salah, Gubernur Yahya bin Khalid berkata, “Kalian berdua berbeda pendapat, dan kalian adalah para imam di kota kalian, terus siapa yang akan menjadi hakim?”

Baca Juga:  Bahasa Agama dan Politik di Zaman Nabi

Di sinilah kesempatan emas Al-Kisa’i untuk mengusulkan orang Arab asli (badui) menjadi hakim mereka berdua. Gubernur setuju atas pendapat tersebut, kemudian dipanggillah beberapa orang Arab, yang sebenarnya sudah disiapkan oleh Imam Al-Kisa’i untuk hadir di tempat tersebut. Setelah beberapa dari mereka dihadirkan untuk menjadi saksi dan menimbang atas perbedaan pendapat kedua imam tersebut, maka mereka berpendapat, bahwa bacaan yang benar adalah pendapat Imam Al-Kisa’i. Di sinilah skenario itu berjalan dengan apik. Imam Sibawaihi meradang mendengar pendapat orang Arab yang hadir di arena debat, dan keputusan di forum debat itu pun ternyata memenangkan Imam Al-Kasa’i.

tentu Imam Sibawaihi sangat kecewa dengan peristiwa yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Setelah usai perdebatan dua blok antara Basrah dan Kufah, orang-orang yang hadir dalam debat membicarakan tentang kekalahan yang diderita Imam nahwu dari kota Basrah tersebut. Sibawaih dalam hati nuraninya, bahwa hal tersebut tidak perlu terjadi, sebuah persekongkolan, dan Imam Sibawaihi tidak membayangkan bahwa kejahatan seperti ini akan meluas, menodai tempat suci ilmu pengetahuan dan ulama; Dia sangat sedih, dan memutuskan pada saat itu untuk pergi dari kota Basrah ke tempat lain di mana tidak ada kedengkian dan kejahatan; dan ia berniat pergi ke Khurasan.

Perjalanan sang Imam seolah-olah sedang berjalan menuju akhir dari perjalanan hidupnya; Penyakit menyerangnya ketika ia dalam ia menuju Khurasan, dan tidak tertolong, ia menghadap Tuhannya di usia yang masih relatif muda, 32 tahun. []

Halimi Zuhdy
Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dan Pengasuh Pondok Literasi PP. Darun Nun Malang, Jawa Timur.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Ulama