ijtihad-umar-ibn-khattab-melawan-teks-benarkah

Salah satu produk ijtihad Khalifah Umar ibn Khattāb adalah kebijakannya untuk tidak menghukum potong tangan bagi pelaku tindak kriminal pencurian (had al-sariqah) saat kondisi ekonomi sulit (majā’ah). Kebijakan ini oleh sebagian kalangan diklaim sebagai produk ijtihad yang progresif. Mengapa?

Karena Umar ibn Khattāb diklaim berani “melawan” QS al-Māidah [5]: 38. Bahkan, ada yang berkesimpulan bahwa Umar ibn Khattāb mendahulukan maslahat daripada teks al-Quran. Khalifah Umar ibn Khattāb meninggalkan bunyi teks al-Quran dan berpaling pada maslahat.

Mari kita simak komentar Mustafā Zaid dalam bukunya “al-Maslahah fi al-Tasyrī’ al-Islāmī” (hlm. 31) berikut:

…ولم يقطع يد سارق أو سارقة في عام المجاعة لأنه رأى أن هذه السرقة كانت لحفظ الحياة، وحفظ الحياة مقدم على حفظ المال، هذا مع أن آية القصاص صريحة في أن النفس بالنفس، وآية حد السرقة صريحة في الأمر بقطع يد السارق والسارقة دون قيد.

Statemen di atas, senada dengan yang ditulis Alī Hasballāh dalam bukunya “Ushūl al-Tasyrī’ al-Islāmī” (hlm. 156). Ahmad Amīn juga memuji Umar ibn Khattāb atas kebijakan (ijtihād) tersebut. Amīn menulisnya dalam salah satu bukunya berjudul “Fajr al-Islām” (hlm. 238). Begini Amīn menulis:

…بل يظهر لي أن عمر كان يستعمل الرأي في أوسع من المعنى الذي ذكرنا، ذلك أن ما ذكرنا هو استعمال الرأي حيث لا نص من كتاب ولا سنة، ولكنا نرى عمر سار أبعد من ذلك فكان يجتهد في تعرف المصلحة التي لأجلها كانت الآية ثم يسترشد بتلك المصلحة في أحكامه، وهو أقرب شيئ إلى ما يعبر عنه الآن بالاسترشاد بروح القانون لا بحرفيته.

Pertanyaannya, benarkah Umar ibn Khattāb mengabaikan teks al-Quran dan berpaling pada maslahat an-sich dalam mengambil kebijakan politik (siyāsah syar’iyah) tersebut?

Baca Juga:  Ijtihad Ulama Open House dan Close House di Era Covid-19

Menurut al-Būtī, dalam bukunya yang populer “Dhawābit al-Maslahah fi al-Syarī’ah al-Islāmiyah” (hlm. 156-158) bahwa Khalifah Umar ibn Khattāb sama sekali tidak menyalahi, mengabaikan apalagi “melawan” teks (nash) dalam ijtihad terkait hukuman bagi pelaku tindak pidana kriminal pencurian di masa krisis tersebut.

Adapun klaim sebagian kalangan bahwa Umar ibn Khattāb mengabaikan teks al-Quran dan berpaling pada maslahat [semata] sebagai dasar pijakan ijtihadnya adalah tidak tepat. Karena yang terjadi justru sebaliknya, Umar ibn Khattab sangat memegangi dan memedomi teks QS al-Māidah [5]: 38 secara komprehensif dan kontekstual.

Sebagaimana diketahui dalam disiplin ushul fiqh bahwa dalam memahami teks tidak bisa berkutat hanya pada pemahaman tekstualis. Tetapi, ia harus melibatkan penalaran bayānī terhadap teks. Penalaran bayānī ini dapat dilakukan dengan menguji apakah ayat tersebut termasuk ayat global (al-mujmal) yang butuh penjelasan (al-bayān) atau ayat bersifat umum (al-‘āmm) yang butuh mukhassis sehingga harus dibatasi (melalui proses al-takhsīs) atau kemungkinan lainnya.

Jika ditelusuri, ayat QS al-Māidah [5]: 38 adalah termasuk ayat yang bersifat umum (al-āyat al-‘āmmah). Oleh karena itu, dibutuhkan penjelasan teks lain untuk membatasi pemberlakuan ayat tersebut. Itu artinya, makna ayat tersebut tidak dapat dipahami secara tekstualis bahwa setiap pelaku tindak pidana pencurian harus dipotong tangannya.

Hal itu karena ada dalil lain yang memberikan batasan-batasan secara spesifik dalam pemberlakuan ayat tersebut. Proses pembatasan jangkauan teks ini dalam disiplin ushul fiqh disebut takhsīs. Misalnya, hadis tentang batas ukuran barang yang dicuri, tempat menyimpan barang yang dicuri, siapa pemilik dan pelaku pencuriannya, dan seterusnya.

Oleh sebab itu, pelaku pencurian yang mengambil barang curian kurang dari batas minimal yang dijelaskan dalam hadis Nabi maka tidak boleh dihukum dengan potong tangan. Demikian halnya, jika sudah melebihi batas minimal dan ternyata pelakunya adalah anaknya sendiri, juga tidak boleh dihukum potong tangan. Atau istri yang mencuri uang suami juga demikian.

Baca Juga:  Metode Dakwah Santun ala Umar Bin Abdul Aziz

Mengapa anak mencuri harta orang tuanya tidak dihukum potong tangan? Atau istri mengambil uang suaminya juga tidak dipotong tangannya? jawabnya, karena ada syubhat di dalamnya. Syubhat-nya terletak pada adanya hak anak di harta ayahnya, begitu juga hak istri di harta suaminya. Gugurnya hukuman hudūd sebab adanya syubhāt ini sesuai hadis: “udruū al-hudūd bi al-syubhāt” [tinggalkan hukuman hudūd sebab adanya syubhat di dalamnya].

Hadis di atas yang dapat menggugurkan setiap hukuman hudūd dalam Islam. Termasuk hukuman hudūd bagi pelaku tindak pidana pencurian. Karena hadis tersebut berfungsi untuk men-takhsīs (membatasi/mengkhususkan) pemberlakuan teks QS al-Māidah [5]: 38. Konsekuensinya, hukuman bagi pelaku pencurian yang tidak memenuhi kriteria akan beralih dari hukuman hudūd menjadi takzir.

Berangkat dari sini, fukaha sepakat bahwa hukuman bagi pelaku tindakan kriminal pencurian akan menjadi gugur jika ditemukan adanya unsur-unsur syubhāt. Di sinilah pentingnya ijtihad berbasis tahqīq al-manāt, yakni ijtihad melalui proses identifikasi sebab-sebab diberlakukannya hukum sesuai dengan realitas yang terjadi.

Dalam konteks kasus yang diputuskan Umar ibn Khattāb, tidak diragukan, bahwa tindakan kriminal pencurian itu disebabkan oleh kondisi yang mendesak karena situasi krisis (‘ām al-majā’ah), sehingga di dalamnya ada unsur syubhāt-nya. Oleh karena itu, fukaha sepakat bahwa dibolehkan bagi orang-orang yang mengalami situasi terpaksa (dharūrah) untuk mengambil harta orang lain tanpa seizin pemiliknya demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Akan tetapi, fukaha berbeda pendapat dalam hal barang yang dicuri orang dalam situasi darurat tersebut apakah wajib baginya untuk mengganti di kemudian hari sebagai mana pendapat dalam mazhab Syāfi’iyah atau harta yang dicuri tersebut merupakan haknya sehingga tidak wajib menggantinya seperti dalam mazhab Hanafiyah.

Baca Juga:  Umar bin Khattab: Sahabat yang Berintelektual dan Kontroversial

Dengan demikian, ijtihad Umar ibn Khattāb bukan berarti mengesampingkan teks al-Quran, tetapi justru sebaliknya Umar ibn Khattāb memahami teks secara komprehensif sehingga mampu menalar teks dari al-Quran dan hadis dengan pendekatan bayānī secara kontekstual dan bukan parsial.

Dan, yang perlu dicatat, bahwa Umar ibn Khattāb bukan berarti berijtihad dengan metode berpaling dari teks menuju maslahat. Karena faktanya, Umar ibn Khattāb justru memahami teks al-Quran dengan mensinergikan kandungan teks-teks hadis Nabi yang berfungsi sebagai takhsīs atas teks QS al-Māidah [5]: 38 yang bersifat ‘āmm.

Oleh karena itu, ijtihad Umar ibn Khattāb dapat dikatakan sebagai bentuk ijtihad melalui penalaran ijtihad bayānī (berbasis teks), bukan bentuk ijtihad melalui penalaran ijtihad istislāhī (berbasis maslahat an-sich).

Meskipun sekali lagi, ijtihad Umar ibn Khattāb tersebut di dalamnya mengandung nilai maslahat, tetapi bukan maslahat itulah yang menjadi dasar ijtihadnya. Karena maslahat di sini lahir merupakan “buah” dari implementasi pemahaman terhadap teks-teks keagamaan berupa al-Quran (QS al-Māidah [5]: 38), dan hadis secara komprehensif dan kontekstual. Wallāhu a’lam. [HW]

Moh Mufid
Redaktur Maqasid Centre, Penulis Buku dan Dosen Maqasid Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Santri Alumni PP Mambaul Ulum Dagan Lamongan, PP Tambakberas Jombang, dan PP Salafiyah Safi'iyyah Asembagus Situbondo, Alumni Fakultas Syariah Wal Qanun Al-Ahgaff University Hadhramaut Yaman, Alumni Magister Filsafat Hukum Islam IAIN Antasari Banjarmasin dan Doctoral UIN Alauddin Makassar.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini