Sebagai manusia yang notabene sebagai makhluk berpikir; analisis, kalkulasi serta hening kontemplasi harusnya memiliki nilai urgensifitas yang tinggi untuk mematangkan ‘ruang privat’ ideologi. Tanpa analisia mendalam, kalkulasi akurat serta kontemplasi yang fokus, manusia melulu pola pikirnya akan dijangkiti ideologi prematur yang bodoh, serampangan dan cenderung konyol.
Tetapi dalam banyak kasus; analisis, kalkulasi serta kontemplasi sama sekali tidak bekerja sesuai fungsi normatifnya, bahkan kesemuanya didistorsikan begitu jauh dari teritori kerjanya. Ini terjadi, karena pemilik ideologi berbangga diri dengan minimnya pengatahuan dan kekosongan rasionalitasnya. Sehingga pola pikir serta ideologinya selalu terbantah dan terbata-bata dalam ruang aktual.
Pengetahuan serta rasionalitas adalah dua perangkat yang harus selalu dipakai untuk memasak analisa, menuang kalkulasi serta memurnikan kontemplasi dalam pikiran dan ideologi yang sedang dibuat. Sehingga tinggi rendahnya rasionalitas sangat menentukan dan menjamin prematur tidaknya ideologi seseorang. Atau prematur tidaknya ideologi seseorang sarat dengan pengetahuan dan rasionalitas dirinya.
Lebih jauh secara hitungan ilmiah; kakacauan imagine, ketaksaan berpikir, kerancuan nalar serta kedunguan keseimbangan juga menjadi penyumbang terhadap prematurnya sebuah ideologi yang sedang dibangun, sehingga juga berimplikasi pada aktualisasi yang gagal-frontal. Cacat ideologi seperti ini bukan saja fatal, lebih dari itu evaluasi transormnya amat sulit ditemukan.
Terakhir, jauh sebelum peradaban besar manusia modern terjadi, Nabi Muhammad SAW. mengingatkan kita dalam haditsnya;
..belajar adalah keniscayaan bagi pemeluk jalan kepasrahan (Islam)..”
Ini berarti, belajar yang ‘pasti’ akan melahirkan pengetahuan serta kekokohan rasionalitas adalah fondasi yang harus dibangun untuk melandasi konstruk ideologi serta gerakan yang didengungkan, bukan?