Hikmah

Hirshnya Kiai Sahal

Kiai Sahal

Kiai Sahal adalah Ulama besar dengan segudang Prestasi, baik keilmuan maupun sosial.

Karya Kiai Sahal Ada yang berbahasa Arab dan Ada yang berbahasa Indonesia. Thariqatul Hushul ala Syarhi Ghayatil Wushul, Al-Bayanul Mulamma’ ‘An Alfadzil Luma’, Anwarul Bashair ala Syarhi al-Asybah Wa al-Nadhair, Nuansa Fikih Sosial, Pesantren Mencari Makna, dan Kiai Sahal Mahfudh Menjawab Problematika Umat, adalah sebagian karya Kiai Sahal.

Hebatnya, banyak karya Kiai Sahal ini, khususnya yang berbahasa Indonesia, adalah makalah yang dipresentasikan di berbagai forum ilmiah, baik Internasional, Nasional, maupun regional. Artinya, gagasan dan pemikiran besar Kiai Sahal sudah diuji dan dipertanggjawabkan secara ilmiah argumentatif yang dihadiri para Ulama dan cendekiawan Nasional.

Apa rahasia kesuksesan Kiai Sahal dengan Prestasi besarnya ?

Banyak sekali. Riyadlah kedua orangtua, pendidikan KH Abdullah Zain Salam, keikhlasan guru-guru, Dan lingkungan yang kondusif dalam pembelajaran ilmu.

Namun, di antara faktor keberhasilan Kiai Sahal menurut Penulis yang paling menonjol adalah al-hirsh. Hirsh dalam bahasa guru-guru kami adalah grangsang, curiosity, rasa ingin tahu yang membara dalam dada, dan semangat besar dalam Memahami, mengungkap, dan mengembangkan ilmu.

Ingat syiir populer di Pesantren yang Ada dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim:

الا لا تنال العلم إلا بستة – سأنبيك عن مجموعها ببيان
ذكاء وحرص واصطبار وبلغة – وإرشاد استاذ وطول زمان

KH Bahauddin Nursalim (Gus Baha’) dalam ceramahnya saat Haul KH Mahfudh Salam Dan KH MA Sahal Mahfudh di Komplek PP. Maslakul Huda Kajen (Sabtu, 16 November 2019) mengisahkan hirsh Kiai Sahal dalam Thalabul Ilmi. Kiai Sahal, kata Gus Baha’, pernah berujar padanya “Ha’ Kue Pinter, tapi ijeh Pinter Aku. Soale zaman biyen golek kitab iku angel”. Ha’ kamu pintar, tapi masih pintar Saya karena zaman dulu mencari kitab itu sulit.

Baca Juga:  Fikih Sosial dan Kesejahteraan Umat

Salah satu indikator hirsh Kiai Sahal dalam Thalabul Ilmi adalah:

Pertama, beliau mencari kitab-kitab penting untuk dikaji (muthalaah). Informasi yang Penulis dapatkan dari Gus Mujib Shohib Al-Maghfurlah Denanyar Jombang, Kiai Sahal pernah muthalaah kitab berjilid-jilid sampai khatam. Kitab tersebut hasil pinjaman, sehingga selesai di-muthalaah, langsung dikembalikan kepada yang punya.

Artinya, untuk memuaskan dahaga ilmu, Kiai Sahal tidak malu meminjam kitab-kitab besar untuk di-muthalaah sampai khatam.

Hal ini mengonfirmasi keterangan Gus Baha’ di atas yang mengisahkan dawuh Kiai Sahal bahwa mencari kitab zaman dulu sulit. Namun Kiai Sahal tidak patah semangat. Beliau mencari kitab yang dituju sampai dapat. Salah satu caranya adalah meminjam. Beliau lakukan upaya ini demi memuaskan dahaga ilmu yang selalu membara di dada.

Kedua, beliau tidak hanya mencukupkan diri dengan kajian kitab Kuning sebagai trade mark utama Pesantren dalam tafaqquh fiddin. Kiai Sahal sejak di Kajen sudah melompati kebiasaan orang Pesantren. Beliau mengambil kursus administrasi, Tata Negara, dan lain-lain yang mendukung dan melengkapi keilmuan Pesantren. Di Pesantren Bendo Kediri, beliau tidak hanya membaca kitab kuning, tapi juga membaca koran, majalah, dan buku-buku umum yang meningkatkan wawasan dan cakrawala pemikiran.

Ketiga, Kiai Sahal Selalu meng-update referensi terbaru. Kiai Sahal adalah sosok Ulama yang tidak membedakan kitab Kuning dan kitab putih. Keduanya adalah ilmu yang harus dikaji untuk memberikan kemanfaatan bagi umat manusia.

Kiai Muadz Thohir sering mengisahkan ini. Ketika beliau menjumpai buku baru, kemudian dihaturkan kepada Kiai Sahal, ternyata Kiai Sahal sudah membaca buku tersebut. Ini membuktikan bahwa Kiai Sahal Selalu meng-update dan meng-upgrade wawasan Dan pemikiran dari referensi-referensi baru sehingga tidak ketinggalan zaman.

Baca Juga:  Fikih Sosial Kiai Sahal Sebagai Solusi Problematika Umat

Maka wajar jika kitab kuning di tangan Kiai Sahal menjadi segar, aplikatif, Dan kontekstual karena pendekatan yang digunakan Kiai Sahal Selalu up-todate dengan pemikiran dan realitas kontemporer.

Keempat, Kiai Sahal tidak membedakan ilmu. Dikotomi ilmu dilarang Kiai Sahal. Mana ilmu yang bermanfaat diambil Kiai Sahal. Filosofi Kiai Sahal adalah خذ ما صفا ودع ما كدر ambil sesuatu yang bersih dan tinggalkan sesuatu yang Kotor.

Dalam pengantar buku Ahkamul Fuqaha, Hasil Muktamar, Munas dan Kombes NU, Kiai Sahal mengisahkan perdebatan para Ulama NU tentang kriteria “al-kutub al-mu’tabarah”. Kiai Sahal mengusulkan kitab-kitab mu’tabarah dijelaskan parameternya, tidak figurnya. Meskipun pendapat Kiai Sahal ini kalah oleh mayoritas, namun itu menunjukkan jika Kiai Sahal tidak alergi dengan pemikiran di luar mainstream karena alat ukurnya adalah substansi pemikiran, bukan fanatisme tokoh yang subyektif.

Maka wajar jika pemikiran Kiai Sahal tidak hanya terbatas pada madzhab Syafii, tapi juga melebar kepada madzahibul arba’ah, dan bahkan di luar madzahibul arba’ah. Dalam makalah-makalah Kiai Sahal beliau mencantumkan referensi dari para pakar, dalam maupun luar negeri, yang mencerminkan inklusivitas pemikiran Kiai Sahal.

Kiai Sahal meneladani KH Ali Ma’shum yang terbuka terhadap berbagai pemikiran, sehingga dalam kitab Hujjah Ahlissunnah Wal Jamaah, Kiai Ali Ma’shum sering mengutip pendapat Ibnu Taimiyah, Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, Dan pendapat madzahibul arba’ah, Tidak sebatas Syafiiyyah.

Kelima, Kiai Sahal tidak mau terbatasi tempat dalam Thalabul Ilmi. Ketika masih di Pesantren, beliau sering murasalah (korespondensi) dengan Syaikh Yasin bin Isa al-Fadani ketika menjumpai musykilat (masalah-masalah rumit), khususnya dalam kitab karya Syaikh Yasin. Beliau tidak segan-segan menentang dan memberikan argumentasi jika ada sesuatu yang menurut beliau tidak tepat. Surat Kiai Sahal ini ternyata di balas Syaikh Yasin.

Baca Juga:  Fikih Sosial dan Kesejahteraan Umat

Akhirnya, momentum pertemuan Kiai Sahal Dan Syaikh Yasin saat tindak haji dimanfaatkan betul Kiai Sahal untuk Thalabul Ilmi dengan Syaikh Yasin yang reputasi ilmunya dalam Bidang hadis tidak diragukan. Syaikh Yasin dikenal sebagai Musnidun Dunya (Ahli Sanad Dunia).

Lima indikator di atas pondasinya satu, yaitu muthalaah. Kiai Sahal adalah sosok kutu buku, ahli muthalaah.

Saat muthalaah ini Kiai Sahal merasakan “ladzdzatul Ilmi” kenikmatan berjumpa dengan pemikiran-pemikiran besar yang ada dalam kitab-kitab dan buku-buku. Kenikmatan inilah yang membuat Kiai Sahal mampu berlama-lama muthalaah.

Memang tidak ada cerita orang besar yang tidak berangkat dari tradisi muthalaah yang kuat. Falsafah اقرأ (bacalah) menjadi kunci keberhasilan dalam bidang ilmu dan bidang yang lain.

Maka menjadi tugas santri, penerus Kiai Sahal, untuk menapaki jalan yang dilalui Kiai Sahal, supaya proyek pemikiran Dan pemberdayaan sosial Kiai Sahal bisa dilanjutkan Dan dikembangkan lebih dinamis. Amiin.

فتشبهوا إن لم تكونوا مثلهم – ان التشبه بالرجال فلاح

والله اعلم بالصواب

Dr. H. Jamal Makmur AS., M.A.
Penulis, Wakil Ketua PCNU Kabupaten Pati, dan Peneliti di IPMAFA Pati

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah