Waktu itu, menjelang akhir tahun 2000, saya masih mondok di Ponorogo. Salah satu bacaan saya Majalah Sabili. Tahu sendiri kan, majalah ini menduduki urutan puncak majalah “Islami” paling populer di zaman itu. Saya biasanya baca majalah ini di kios buku kondang di Ponorogo, juga dipinjami salah satu guru saya.
Ketika bapak saya berkunjung pada suatu waktu, beliau tanya, darimana tumpukan majalah Sabili. Saya jawab, dipinjami salah satu ustadz. Beliau hanya diam. Jarak dua bulan, bapak saya datang lagi dari Jember. Naik bis sebagaimana kesukaaannya. Kali ini membawa tumpukan Majalah AULA, yang dikelola PWNU Jawa Timur. Kebetulan sejak tahun 1980-an, bapak saya langganan majalah ini, selain TEMPO.
Baca majalah ini lagi ya, kata beliau. Saya mengangguk. Kembalikan Sabili ke bapak gurumu, pintanya. Saya manggut-manggut lagi. Akhirnya, yang saya baca pertama dari tumpukan Majalah AULA waktu itu bergambar seorang Arab, berhidung bangir, tampan, kharismatik, dan memancarkan aura teduh khas ulama yang senantiasa menjaga wudlu’-nya. KH. Muhammad Lutfi Ali bin Yahya. Demikian keterangan di sampul majalah yang mengambil tema “Mencari Teduh Lewat Thoriqoh”. Demikian awal mula saya tahu beliau.
Inilah salah satu cara bapak saya memperkenalkan ulama kepada anaknya. Hanya menyodorkan tumpukan majalah NU, sembari meminggirkan majalah lain. Memberikan alternatif bacaan. Cara bapak ini, saya kira bisa kita tiru sebagai landasan pengenalan ajaran Ahlussunah wal Jamaah. Kenalkan pada ulamanya terlebih dulu, melalui nama maupun gambar, kemudian dilanjutkan dengan ajaran. Sederhana dan efektif.
Waktu itu, pertengahan tahun 2000, Habib Luthfi belum sepopuler sekarang. Namun, keterpilihannya sebagai Rais Aam Jam’iyyah Ahlith Thariqah al-Mu’tabarah (JATMAN), yang menaungi lebih 40 tarekat otoritatif di bawah payung NU mengerek popularitasnya. Kiprah dakwahnya bukan saja dikenal di kalangan kalangan habaib, jamaah tarekat, kiai dan warga NU, melainkan pula para ulama internasional. Reputasinya sebagai Mursyid beberapa tarekat, antara lain Alawiyah, Tijaniyah, Syadziliyah, dan Qadiriyah Wan Naqsyabandiyah, juga semakin membuat jejaring ulama sufi internasional semakin menoleh ke Indonesia.
Di JATMAN, beliau juga menginisiasi berdirinya MATAN alias Mahasiswa Ahlit Thariqah Annahdliyyah. Wadah para pegiat Tarekat dari kalangan mahasiswa.
Tahun 2009, beliau melalui JATMAN dan PBNU, menginisiasi pertemuan sufi internasional. Multaqa Shufi ‘Alami yang mengundang para Mursyid Tarekat sedunia.
Beliau juga menggagas dan mempromotori Konferensi Internasional Ulama yang digelar dua kali, 2016 dan 2019, dimana ulama dari berbagai negara mengunjungi Pekalongan dan membuat kota ini masyhur, selain kota batik. Setiap bulan, pada Jumat Kliwon, majelis tasawuf yang dipimpin Habib Luthfi dipenuhi ribuan kaum muslimin. Lokasinya di gedung yang disebut sebagai Kanzus Shalawat.
Salah satu ciri khas Habib Luthfi, selain mengajak mencintai Kanjeng Nabi, juga mempromosikan Islam sebagai pengayom, adalah kampanye mencintai Indonesia sebagai sebuah “rumah bersama”. Dalam berbagai ceramah, beliau senantiasa menandaskan pentingnya persatuan antar elemen bangsa, ukhuwah Islamiyyah, kepercayaan diri sebagai muslim Indonesia yang bisa menginisiasi perdamaian dunia dan tentu saja aksi menjauhi kekerasan. Selebihnya, mustahil mendengar caci-maki dari lisan Habib Luthfi. Jangan heran jika non-muslim sangat menaruh hormat kepada beliau. Para pejabat juga sama. Level lurah hingga (calon) presiden membutuhkan nasehat beliau. Sejak 2019, Habib Luthfi juga menjadi anggota Wantimpres RI.
Berbagai gagasan dan wadah perdamaian yang dibentuk oleh Habib Luthfi mengingatkan saya pada kiprah dua ulama besar dari belahan dunia lain: Syekh Abdullah bin Bayyah dari Mauritania (Syinqit). Berbagai ceramah dan tulisan beliau sangat elegan dalam mengkampanyekan Islam sebagai rahmat.
Bahkan, sejak 2013, Syekh Abdullah bin Bayyah mendirikan Majelis Hukama’ al-Muslimin, NGO kelas internasional yang berusaha membumikan pesan perdamaian lintas umat. Di India, ada Maulana Wahiduddin Khan yang mendirikan Center for Peace and Spirituality, yayasan yang mendakwahkan kedamaian dan spiritualitas. Maulana Wahiduddin Khan, yang ceramah dan tulisannya mempengaruhi cara pandang muslim India dalam kurun 40 tahun terakhir, senantiasa menjaga ritme perdamaian dan pola dakwahnya di negaranya. Dia menerjemahkan al-Qur’an ke dalam bahasa Urdu dan Inggris, juga mengisi ruang batin muslim India dengan kajian Sirah Nabawiyah, tasawuf, dan hikmah-dakwah para sufi.
Maulana Wahiduddin Khan memang sudah sepuh, 95 tahun, tapi pengaruhnya bisa dirasakan di kalangan pemikir muslim India saat ini. Dari anaknya, Zafarul Islam Khan, hingga penulis buku-anak anak bertema Islam paling top di India, Saniyasnain Khan.
Salah satu quote yang saya favoritkan dari Maulana Wahiduddin Khan, adalah Change yourself–by living a God-oriented life – and you will be able to change the whole world (Ubahlah diri anda sendiri – dengan kehidupan yang berorientasi Allah – dan anda akan dapat mengubah seluruh dunia).
*
Habib Luthfi, Syekh Abdullah bin Bayyah dan Maulana Wahiduddin Khan, semua berpijak pada prinsip-prinsip tasawuf.
Di tangan beliau bertiga, tasawuf dinamis dan aktif. Bukan melulu soal jumlah dzikir harian, perubahan diri, dan pembersihan ruhani, melainkan pada kontribusi Islam pada perdamaian dunia.
Di buku “Nasehat Spiritual: Mengenal Tarekat Ala Habib Lutfhi” yang dieditori oleh Fahmy Jindan, kita menemukan pandangan holistik Habib Luthfi soal spiritualitas, keluasan tazkiyatun nafs.
Sedangkan dalam buku “Secercah Tinta: Jalinan Cinta Seorang Hamba dengan Sang Pencipta”, tasawuf terasa hidup dan tidak bertele-tele. Dari keistimewaan Rasulullah, kemuliaan para sahabat, kedudukan ahlul bait, juga uraian ajaran Ahlussunah wal Jamaah. Uraian tentang jalan dakwah yang ditempuh oleh para Habaib juga dijelaskan oleh beliau. Termasuk cerita soal keramat para guru Habib Luthfi dan juga “orang-orang biasa dengan perilaku luar biasa” bisa kita temui dalam buku yang berasal dari transkrip ceramah beliau yang kemudian disusun secara baik oleh Mas Ahmad Tsauri tersebut.
Dari sini, saya melihat Habib Luthfi sebagai pelanjut gagasan para sufi di masa lampau. Mereka yang mampu mendaratkan ajaran langit secara kontekstual. Ajaran yang “muluk-muluk”, terkesan elitis, dan eksklusif dilaksanakan oleh beliau sesuai dengan kondisi dan nalar “user”. Coba tanya mereka yang sudah pernah sowan, berdiskusi, atau curhat kepada beliau. Tuturannya santai dan lembut tapi memiliki atsar yang membekas di hati. Bahkan, di tengah pisowanan para tamu yang membludak, beliau terbiasa ngobrol dengan bahasa mereka. Kiai Ma’ruf Khozin, yang pernah sowan, diajak ngobrol dengan bahasa Madura oleh Habib Luthfi. Setahu saya, beliau memang poliglot alias menguasai berbagai bahasa. Kelebihan lain, diskusi tema apapun, beliau nyambung, dan tidak pernah menolak permintaan tamunya: dari urusan kebangsaan hingga minta air suwuk.
Soal pisowanan kepada Habib Luthfi pernah diceritakan senior saya dari UIN Sunan Ampel Surabaya. Bersama istrinya, dia sowan Habib Luthfi. Senior ini asalnya Cirebon. Pengen mengadukan masalah. Ketika sowan, “nyali”-nya ciut, sebab yang menjadi tamu Habib Luthfi seabrek. Tentu, agak canggung menyampaikan masalah-nya di hadapan orang banyak. Dia hanya diam saja.
Di sela sela pisowanan itu, dirinya beringsut mundur, mau ke toilet. Ketika dirinya ke belakang itu, Habib Luthfi bertanya kepada tamu lain, “Lho, mana orang Cirebon tadi?”
Istri senior saya ini tentu kaget, sebab suaminya sejak awal hanya diam tidak memperkenankan diri, baik nama maupun asalnya. Anehnya, Habib Luthfi tahu asalnya.
Keunikan lain. Setelah senior saya ini menuntaskan hajatnya, lalu kembali ke ruang tamu, Habib Luthfi langsung memberikan solusi atas masalah yang akan dia sampaikan, padahal senior saya ini belum curhat Beliau tidak secara spesifik menatap wajah senior saya itu, melainkan hanya melirik sekilas sambil tersenyum.
Sepulang dari pisowanan tersebut, senior satu ini semakin yakin dengan ketajaman bashiroh beliau. Di salah satu komentar status fesbuk, saya lupa tepatnya, ada seorang Sayyid muda yang baru pertama kali sowan. Dia hanya memperkenalkan namanya saja, tanpa menyertakan marga/fam darimana dia berasal. Uniknya, Habib Luthfi langsung bisa menyebut nama fam-nya, beserta nasabnya hingga ke jalur Sayyidina Husein bin Ali bin Abi Thalib.
Soal penampilan, kita bisa menemui foto Habib Luthfi dengan berbagai busana: berjubah dengan sorban, memakai atribut dan baret Banser, berjas dan berkopiah hitam, berbatik dan berpeci, denga beskap dan blangkon Jawa, hingga berkaos oblong dengan topi koboi. Dan, sebagaimana KH. A. Mustofa Bisri yang selalu pas menggunakan pakaian dan penutup kepala apapun, Habib Luthfi juga demikian.
Dan, sebagai seorang sarkub alias sarjana kuburuan atau pegiat ziarah makam auliya, saya menilai Habib Luthfi adalah di antara sedikit ulama yang memiliki radar ruhaniah yang peka. Selain Gus Miek dan Gus Dur, Habib Luthfi menjadi detektor makam ulama/wali yang terlupakan. Makam seorang ulama yang wafat ratusan tahun silam dan tidak terawat, bahkan hingga batu nisannya hilang, namun bisa dideteksi keberadaannya oleh beliau.
Beberapa hari yang lalu Habib Luthfi menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Negeri Semarang (UNNES). Beliau menerima menerima anugerah doktor kehormatan Ilmu Pendidikan Bahasa Bidang Komunikasi Dakwah dan Sejarah Kebangsaan.
Tentu, gelar doktor honoris causa ini merupakan salah satu pengakuan atas kontribusi beliau di bidang dakwah. Harus diapresiasi, walaupun gelar yang tepat bagi beliau, menurut saya, adalah Ulama Guru Bangsa. Beliau bukan hanya milik Indonesia, melainkan dunia.
Wallahu A’lam Bishshawab. []