Pada pengajian sebelumnya (episode 127 klaim ketiga) dikatakan bahwa tindakan-tindakan Tuhan menurut Asy’ariyah mampu (boleh) untuk memberikan penderitaan dan kesengsaraan kepada hewan-hewan, termasuk manusia yang tidak berdosa (Ilamu al-Hayawaani al-Bari’), dan ini terjadi.
Statemen ini kemudian dibantah keras oleh lawan debatnya yaitu Muktazilah dengan mengatakan, “Apakah tidak berarti Tuhan dzalim? Orang yang tidak berdosa masa disiksa dengan cara diberikan penderitaan dalam kehidupannya? Apa iya demikian?”
Al-Ghazali tak tinggal diam saja, justru ia menjawab, “Mari kita telaah istilah dzalim.” Secara umum kata dzalim dinafikan dari Tuhan melalui penafian yang murni (al-Salbu al-Mahdu). Sebab, bagaimana mungkin ada Tuhan yang dzalim, kata Al-Ghazali.
Penafian murni dalam hal ini, kata Al-Ghazali, misalnya ada sebuah tembok. Nah, bisa kita katakan bahwa tembok ini tidak bisa lupa, menulis, mengingat dan lainnya, karena tembok tidak punya kemampuan untuk melakukan hal itu semuanya. Ia tidak mempunyai pikiran.
Jadi, jika kita mengatakan bahwa Tuhan tidak dzalim maka bisa betul dalam pengertian seperti kasus tembok (sebagaimana tembok tidak bisa lupa). Contoh lainnya adalah bahwa kambing itu tidak bisa bernyanyi.
Anda mengatakan kambing tidak bisa bernyanyi ya betul, namun juga sekaligus tidak betul. Betul dalam pengertian menafikan secara murni (al-Salbu al-Mahdu), kata Gus Ulil. Sementara dianggap tidak betul karena statemen itu mengandaikan bahwa kambing semula atau pada dirinya mempunyai kemampuan bernyanyi, akan ia tidak bisa bernyanyi.
Jelasnya, Tuhan tidak dzalim betul dalam pengertian negasi murni, akan tetapi juga tidak betul karena Anda menyebut Tuhan dzalim, lalu istilah dzalim itu artinya apa? Dzalim itu adalah Anda melakukan tindakan yang melanggar terhadap miliknya orang lain.
Jika kembali kepada Tuhan, maka semua hal di dunia ini milik Tuhan. Kemudian, ketika Tuhan bertindak, maka otomatis Tuhan bertindak kepada miliknya sendiri. Lalu Anda dengan tegasnya mengatakan bahwa Tuhan dzalim? Di mana letak dzalim-Nya? Apakah ada milik yang selain Tuhan?
Jadi, kata Asy’ariyah kepada Muktazilah, Anda menyebut Tuhan dzalim secara tidak langsung mengandaikan Tuhan sudah melanggar miliknya orang lain selain Tuhan? Lalu siapa yang mempunyai kepemilikan selain Tuhan? Dengan demikian Tuhan sangat tidak mungkin untuk berbuat dzalim, sebagaimana tembok tidak mungkin bernyanyi.
Lalu bagaimana dengan klaim teologis keempat ini?
Kata Asy’ariyah Tuhan tidak wajib melakukan sesuatu yang paling ber-mashlahat kepada hamba-Nya (Riayah al-Aslah). Sementara Muktazilah mengatakan Tuhan wajib melakukan sesuatu yang paling mashlahat bagi hamba-Nya.
Syahdan. Suatu waktu ada tiga anak kecil. Salah satu dari tiga anak itu meninggal dalam keadaan masih kecil dan muslim. Jika ditanya apakah anak kecil itu bisa Islam? Jawabannya bisa, jika orang tuanya Islam, maka ia Islam. Dalam hal ini, menurut hukum Islam, agamanya anak kecil ikut kepada orang tuannya.
Sementara, yang kedua dari anak kecil itu berlanjut hidup sampai dewasa dalam keadaan Islam, dan kemudian meninggal dalam keadaan Islam juga. Berbeda dengan anak yang ketiga. Ia sudah sampai pada usia dewasa, akan tetapi tidak Islam dan meninggal dalam keadaan kafir. Lalu bagaimana kondisinya kelak diakhirat ketiga anak ini?
Menurut Muktazilah, anak yang sudah mencapai aqil-baligh dan kafir itu akan langgeng di dalam neraka. Sementara mereka yang sudah sampai aqil-baligh dan sudah masuk Islam serta meninggal dalam keadaan Islam, akan masuk ke dalam surga. Bedanya, muslim yang meninggal dalam keadaan usianya sudah baligh, maka level surganya lebih tinggi dari pada muslim yang anak-anak.
“Iya jelas akan mendapatkan surga yang lebih tinggi secara level,” kata Muktazilah. Sebab, mereka sudah bersusah-payah beribadah dan melakukan kebaikan-kebaikan semasa hidupnya. Dengan kata lain, ia mempunyai kesempatan beramal ketimbang anak kecil yang meninggal itu. Inilah hukum yang adil menurut Muktazilah.
Protes-memprotes ketiga anak
Pertanyaannya adalah bagaimana jika anak kecil belum dewasa yang sudah meninggal itu protes? “Wahai Tuhanku! Kenapa Engkau menurunkan levelnya aku, padahal kita sama-sama meninggal dalam keadaan muslim?” Tanya sang anak kecil.
Tuhan menjawab, “Karena sesungguhnya yang dewasa (al-Baligh al-Muslim) telah mencapai usia baligh dan ia taat kepada-Ku. Sementara kamu tidak sempat mencapai usia baligh untuk taat kepada-Ku sehingga kamu lebih rendah levelnya di surga.”
Anak kecil itu protes lagi, “Wahai Tuhanku! Wajar saja aku lebih rendah karena Engkau mematikanku dalam keadaan aku masih kecil sebelum baligh sehingga aku tidak sempat beribadah. Adaikan Engkau mematikanku dalam keadaan dewasa seperti dia, maka aku bisa mencapai level yang sama. Lalu kenapa Engkau mematikanku dalam keadaan kanak-kanak? Ini berarti salahnya Engkau wahai Tuhan.”
Artinya, kata Gus Ulil, mestinya kemaslahatannya dia dewasa lalu meninggal dalam keadaan muslim sehingga bisa berbuat amal-amal yang banyak untuk meraih tempat dan level yang sama.
Rupanya, dalam standar rasionalitasnya Muktazilah mengatakan, bahwa Tuhan sudah tahu, andaikan mereka anak kecil hidup beranjak dewasa, maka ia akan menjadi manusia yang selalu bermaksiat.
Itu sebabnya, ia dimatikan oleh Tuhan dalam keadaan kecil supaya tidak masuk neraka. Inilah yang sesuai dengan kemaslahatannya anak kecil. Bahkan, kata Muktazilah, walaupun level di dalam surganya berbeda, namun ia tetap lebih utama dari mereka yang masuk neraka.
Mendengar jawaban yang seperti ini, akhirnya anak ketiga yang kafir memanggil-manggil dari neraka hawiyah, “Wahai Tuhan! Jika Engkau sudah tahu bahwa pada saat usia aqil-baligh aku akan menjadi kafir, lalu kenapa aku tidak dimatikan pada usia kanak-kanak saja?” Tanpa disadari, setelah sampai pada jawaban anak ketiga ini, orang-orang Muktazilah tiba-tiba terdiam tak bisa menjawab.
Jelasnya, kata Gus Ulil, posisi akidah Asy’ariyah dalam hal tindakan-tindakan Tuhan lebih realistis; sesuai dengan realitas kehidupan manusia yang kadang-kadang masuk akal dan tidak masuk akal menurut manusia. Yang jelas, bagi Tuhan boleh jadi masuk akal dan sesuai dengan hikmah. Sebaliknya, terkadang manusia menganggapnya tidak sesuai dengan akal. Lalu apakah Tuhan harus mengikuti akal kita? Lalu kita ini siapa? Wallahu a’lam bisshawab. []