Sebagaimana sudah maklum menurut pandangan dan keyakinan ulama-ulama Asy’ariyah bahwa Tuhan memiliki tindakan-tindakan yang bersifat jaiz (boleh). Dengan kata lain, tidak ada yang bisa memaksa atau paksaan kepada Tuhan untuk melakukan suatu tindakan.
Kata Gus Ulil, tindakan Tuhan serba bebas. Tindakannya bukan tindakan yang mekanistik-deterministik seperti sebuah mesin atau robot. Anda Tahu! Sehebat-hebatnya robot pada akhirnya akan tetap kalah dengan manusia. Demikian juga secanggih dan secerdas-cerdasnya Artificial Intelligence (kecerdasan buatan) akan kalah dengan manusia.
Manusia mempunyai tindakan sekalipun terkadang tindakannya serba ceroboh seperti kekeliruan (human error) dan lainnya. Tindakannya tidak sesempurna dan sepresisi mesin. Akan tetapi dalam diri manusia ada sesuatu yang bersifat ilahiyah (ketuhanan). Ia tidak bisa dijelaskan hanya dengan mekanisme anatomi murni.
Dan sifat kehendak (iradah) manusia itu muncul dan bersumber dari ilahiyah. Hanya saja bedanya, jika iradah Tuhan adalah mutlak, maka iradah manusia tidak mutlak. Dengan kata lain iradah manusia hanya secuil dari iradah Tuhan. Inilah yang membuat tindakan manusia bisa bernilai.
Baca juga: Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Apakah Tindakan-Tindakan Tuhan itu Wajib?
Lalu apa bukti Tuhan boleh memberi beban kepada manusia di atas kemampuannya?
Kata Gus Ulil, memang Tuhan tidak akan memberikan beban kepada manusia di luar kemampuannya. Akan tetapi hal ini bukan suatu kewajiban terhadap Tuhan. Melainkan karena kasih sayang Tuhan kepada manusia.
Kita tahu bahwa Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang. Tetapi Tuhan tidak wajib pengasih dan penyayang. Karena itu, jika Tuhan menyayangi manusia, maka itu bukanlah suatu kewajiban Tuhan, melainkan Tuhan melakukannya karena tafaddulan wa imtinanan (rasa kasih sayang-Nya dan kesukarelaan-Nya).
Sekali lagi, Tuhan boleh men-taklif manusia dengan sesuatu yang manusia sendiri mampu untuk melakukannya atau tidak. Namun, jika pada akhirnya Tuhan tidak memberikan taklif kepada manusia yang tidak mampu melakukannya, maka itu bukan berarti Tuhan sedang menjalankan kewajiban, melainkan karena Tuhan sayang kepada hambanya. Sebab, jika Tuhan mau maka boleh saja Tuhan memberikan sesuatu yang manusia sendiri tidak mampu untuk melakukannya.
Berbeda dengan pandangan Muktazilah. Dalam hal ini, Muktazilah memandang Tuhan seperti mesin; agak deterministik-mekanistik. Artinya, dalam pandangan Muktazilah ada sedikit pandangan unsur deisme. Adalah pandangan filosofis yang menyatakan bahwa Tuhan menciptakan alam semesta, tetapi tidak ikut campur dalam urusan manusia dan alam semesta. Lagi-lagi pandangan yang demikian ini karena faktor rasionalitas.
Kata Gus Ulil, rasionalitas bertentangan pada satu aspek dengan kehendak bebas. Jadi antara rationality, free will dan freedom seperti kontradiksi. Di sinilah paradoksnya manusia, jika Anda berpihak pada rasionalitas, maka otomatis semua hal harus rasional dan Anda akan kehilangan kehendak bebas (spontanitas sebagai manusia).
Kenapa? Karena dalam satu kondisi terkadang Anda tidak harus mengandalkan rasionalitas, namun kadang-kadang menggunakan insting. Di situlah Anda menjadi manusia. Sebab, jika Anda rasional murni, maka Anda akan seperti mesin atau robot yang bekerja dengan algoritmik melalui logika-logika tertentu. Akan tetapi, jika Anda berpihak kepada kehendak bebas, terkadang Anda harus menabrak rasionalitas.
Baca Juga: Gus Ulil Ngaji al-Iqtishad Fi al-I’tiqad: Tindakan-Tindakan Tuhan
Karena Muktazilah lebih condong kepada rasionalisme, maka ujungnya mereka akan menggambarkan dan memahami Tuhan secara deterministik. Ya begitulah konsekuensi dari rasionalitas yaitu, mekanistik-deterministik.
Sebaliknya, apabila Anda berpihak kepada manusia, maka otomatis Anda berpihak kepada kehendak bebas. Dan Asy’ariyah berpihak kepada manusia dan kehendak bebas. Inilah aspek yang jarang dilihat oleh para pengkaji teologis.
Sekali lagi, rasionalitas berujung kepada deteminisme. Dan jika Anda menggambarkan Tuhan murni secara rasional maka otomatis Anda menggambarkan Tuhan seperti mesin yang bekerja secara deterministik.
Syahdan, jika Asy’ariyah mengatakan bahwa Tuhan boleh men-taklif manusia dengan sesuatu yang ia mampu untuk melakukannya atau tidak, maka Muktzilah mengatakan Tuhan mustahil men-taklif manusia dengan sesuatu yang manusia tidak mampu untuk melakukannya. Kenapa mustahil?
Jika alasannya mustahil pada dirinya sendiri, maka itu salah dan batal kata Al-Ghazali. Misalnya, warna hitam dan putih bercampur jadi satu di dalam sebuah benda, maka itu tidak bisa bersatu. Akan tetapi jika warna hitam dan putih dicampur lalu menciptakan warna baru, maka itu bisa.
Kata Gus Ulil Tuhan men-taklif manusia dengan sesuatu yang tidak dimampui oleh manusia pada dirinya sendiri tidak mustahil. Tidak seperti bercampurnya warna hitam dan putih dalam satu wadah pada waktu yang sama. Kenapa? Karena intinya taklif menurut orang Muktazilah adalah lafdun (mengucapkan sesuatu). Dengan demikian Tuhan bisa saja mengucapkan sesuatu yang sesuatu itu tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Kata Al-Ghazali, “Saya juga bisa mengucapkan sesuatu kepada teman saya yang tidak mungkin mereka bisa melakukannya.”“Berbeda dong kalau pendapat kami mengenai soal taklif,” jawab al-Ghazali pada Muktazilah. Menurut kami, “Taklif itu adalah tuntutan. Menuntut seseorang untuk melakukan sesuatu jika sesuatu itu berupa perintah, atau tidak melakukan sesuatu jika berupa larangan.”
Baca juga: Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Dzat dan Sifat Tuhan dalam Benak Muktazilah
Menuntut orang lain berbuat sesuatu bisa Anda lakukan, baik orang lain mampu melakukannya atau tidak. Misalnya, Anda punya pembantu dan Anda tahu kalau pembantu itu bisa berdiri dan berjalan. Ya intinya, selama ini sang pembantu mampu berdiri dan melakukan sesuatu.
Nah, tiba-tiba saja Anda meminta sang pembantu untuk dimasakin mie instan (karena Anda tahu bahwa pembantu mampu untuk mengerjakannya). Akan tetapi, dalam perjalanan sang pembantu mengalami kelumpuhan, dan Anda tidak tahu. Maka dalam hal ini tidak ada persoalan.
Di sinilah terjadi perintah berbuat sesuatu, padahal yang dituntut tidak mampu untuk melakukannya. Namun, pada saat Anda sudah tahu bahwa dia sedang lumpuh, maka keinginan menuntut sang pembantu memasak mie, masih bertahan pada Anda. Artinya, taklif masih ada dalam diri Anda.
Tentu saja, Anda tidak mungkin untuk memaksakan pembantu memasak mie, akan tetapi keinginan menuntut dan menghendaki pembantu untuk memasak mie masih ada (gagasan atau ide masih ada). Ini sebagai bukti bahwa Tuhan boleh men-taklif manusia dengan sesuatu manusia yang tidak mampu melakukannya.
Jelasnya, Tuhan bertindak bukan karena kewajiban, melainkan Tuhan bertindak secara bebas sebebas-bebasnya. Tidak mekanistik-deterministik dan kebebasan kehendak manusia adalah bagian dari aspek ilahiyah dalam diri manusia. Wallahu a’lam bisshawab. [MFN]