Nama lengkapnya Ismail Fahmi Dhofir. Saya kenal sejak 2014 melalui fesbuk. Akunnya bernama Fahmi Wirasmaradjatie. Kemudian anjut kopdar, 5 Mei 2018, saat saya diminta ngisi di pesantren yang diasuh oleh ayahnya, PP. Maftahul Uluum Jatinom Kanigoro Blitar.
Putra pasangan KH. Abdul Hafidz Dhofir dan Hj. Hafshoh Nirdinina Sofwan ini orangnya asyik. Pendengar yang baik, sekaligus lawan diskusi yang kece. Belum lagi joke-nya. Segar. Cara meledek diri juga unik. 10 menit obrolan dengannya ada saja yang membuat pendengar terbahak.
Gus Fahmi sering diminta menjadi narasumber acara di pesantren, NU dan lembaga-lembaganya. Biasanya, dia segera chat singkat ke saya, “Punya slide materi tema ini? Saya butuh buat ngisi Muslimatan. Kirim dong!” Atau, pada 4 Agustus 2020, beliau chat, rencana mendekatkan kajian hadits kepada anak-anak muda dengan bahasa milenial. Minta rujukan kitab Al-Arbain An-Nawawiyyah dengan kupasan gaya bahasa anak muda. Di chat lain, juga sama. Karena mau ngisi di kajian PMII dan IPNU.
Saya segera menurutinya. Sebaliknya, kalau pikiran saya sedang buntu, saya segera chat Gus Fahmi. “Gus. Kasih masukan dong buat tema ini!”
Tak berselang lama, Gus Fahmi membalas. Sesederhana dan seasyik itu hubungan persahabatan kami.
27 September 2020 silam, saya diminta ngisi materi Pelatihan Kepemimpinan Milenial. Lokasinya di pesantren ayahnya. Gus Fahmi, yang nyantri sejak 1993-1999 di PP. Alfalah, Ploso, Kediri, itu juga mendampingi saya di forum. Beliau menjadi pemantik diskusi dengan para santri. Diskusi yang gayeng dan unik.
Malam harinya, kami berdiskusi lesehan bersama adiknya, Gus Ahmad Khubby Ali R dan mbakyunya, Ning Madiana Havidz beserta suaminya, Mas Heri, dan anak-anaknya, Mas Risyad Tabattala dan Mas Fikri. Diskusi tambah menarik karena kedatangan Shohibul Hikayah yang punya banyak cerita, Mas Arif Jauhari.
Beragam topik kami bahas, lengkap dengan humor yang membuat kami terbahak. Sayang, adik Gus Fahmi lainnya, Mas Ibrahim Kholilul Rohman tidak hadir.
Tak disangka ini adalah pertemuan terakhir kami. Waktu itu beliau sempat bilang dengan nada tanda tanya, “Kita ini bukan saudara kandung, hanya dua kali bertemu, tapi keakraban saya dan keluarga dengan sampeyan bahkan sudah melampau hubungan persaudaraan.”
Kiai muda kelahiran 17 April 1975 ini bilang sambil menyodorkan kopi, “Ya mungkin leluhur kita, entah yang keberapa, pernah bersahabat erat Gus. Bisa pula Mbahbuyut kita pernah tunggal guru. Entah ke siapa.” saya menjawab sekenanya.
Gus Fahmi tertegun. “Ya, bisa jadi.”
Lalu mengalir cerita. Tentang kakeknya, Kiai Sofwan dan buyutnya, Kiai Muhammad Bukhori. Dua nama ini merupakan aktivis Sarekat Islam yang dibuang ke Banda Neira pada 1926-1938.
Wajah Kiai Bukhori ada di salah satu bersama HOS. Tjokroaminoto dalam Kongres Sarekat Islam di Blitar. Aura wajahnya kuat berwibawa. Kumis mbaplangnya juga mendukung kharismanya. Dugaan awal, Kiai Muhammad Bukhori ini yang menjadi salah satu guru spiritual dan mentor diskusi Pak Tjokro. Untuk menjauhkan relasi keduanya, Belanda membuang Kiai Bukhori ke Banda Neira. Sepulang dari pembuangan, Kiai Bukhori melanjutkan kiprah pendidikan dakwahnya di pesantren. Untuk mengenang Banda Neira, beliau membawa bibit pala, rempah yang melambungkan reputasi Banda selama beberapa abad, dan ditanam di pelataran pesantren. Dan, hingga saat ini, pohon tersebut masih ada. Bahkan pohon pala dimasukkan dalam logo pesantren.
Di Banda Neira, pada masa akhir pembuangan, Kiai Bukhori berkawan dengan Hatta dan Sjahrir, dua tokoh penggerak yang dipindah dari Digul ke Banda. Juga bersahabat dengan dr. Tjipto Mangunkusumo dan Iwa Kusumasumantri. Dua tokoh bangsa lainnya.
Dalam memoar berjudul “Bersama Hatta, Sjahrir, dr. Tjipto dan Iwa K. Sumantri“, anak angkat Bung Hatta, sejawaran dan dokumentator Des Alwi, menulis cerita seorang kiai sepuh dari Jawa yang membuatkan rak buku untuk Pak Tjip. Kiai sepuh itulah Kiai Bukhori, dan anaknya, Kiai Sofwan. Kakek dan buyut Gus Fahmi.
Nama nama mereka terpatri di salah satu prasasti di samping Hotel Cilu Bintang Estate, yang dikelola Pak Rizal Bahalwan, salah satu keluarga terpandang di Banda Neira. Pak Rizal Bahalwan ini adalah cucu dari “Tuan Bahalwan”, sosok yang diceritakan oleh Bung Hatta dalam “Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi” sebagai orang Arab yang belum pernah ke sana tapi pengetahuannya tentang Arab sangat mendalam dan suka kajian tafsir.
Di prasasti itu, nama Kiai Bukhari tertulis di bawah nama anaknya, Kiai Sofwan, sebagai “Kiai Muhammad Imam”. Adapun G.A.J. Hazeu, penasihat pemerintah untuk urusan pribumi era kolonial, menyebut nama Kiai Bukhori ini dengan sebutan “Kiai Boekari”, dengan spesialisi penguasaan mendalam atas Fathul Qarib.
*
Di akhir Oktober 2020 silam, Gus Fahmi dan Gus Khubby sudah menjalin kontak dengan keluarga Pak Rizal Bahalwan. Rencananya, setelah pandemi berakhir, keluarga Pondok Jatinom berencana silaturahmi ke keluarga Bahalwan di Banda Neira sekaligus juga menelusuri jejak kakek buyutnya di sana.
Sayang, rencana Gus Fahmi tidak terlaksana dini hari tadi, 19 Januari 2021, pukul 01.50 WIB beliau berpulang setelah melawan sakitnya.
Selamat jalan Gus Fahmi. Semoga Allah senantiasa merahmati panjenengan, memberi nikmat kubur, dan mencatat kiprah panjenengan di dunia pendidikan dan dakwah sebagai amal jariyah. Lahul Fatihah. []