Fikih Manhaji; Menggali Hukum Islam dalam Realitas Kontemporer

Telah menjadi kesepakatan para ulama bahwa perilaku dan ucapan manusia baik dalam hal ibadah atau mu’amalah yang berkaitan dengan hukum-hukum atau aktivitas apa saja, sudah tertera dalam syariat islam. Hukum-hukum ini, sebagian sudah tertera dalam nash-nash yang jelas di dalam al-Qur’an maupun hadis, tetapi sebagiannya lagi tertera tidak terang (tidak tekstual). Namun demikian dalam memahami nash-nash yang sudah tertera, baik yang terang atau tidak, perlu adanya suatu alat untuk memahaminya, tidak begitu saja ditelan mentah-mentah.

Syariat dalam Islam yang disampaikan melalui al-Qur’an atau hadis baik yang terang atau tidak, kita perlu memahami disiplin ilmu ushul fiqh-nya, untuk mengetahui apa yang dikehendaki tuhan melalui ayat-ayatnya. Namun demikian, syariat meliputi semuanya sesuai dengan peran para mujtahid untuk memahami dalil-dalil dan perintah yang terkait dan menetapkan bentuk hukumnya.

Setelah para ulama berijtihad memahami dalil-dalil dan perintah yang tertulis dalam nash baik al-Qur’an atau hadist, hukum yang telah ditetapkan biasa kita kenal dengan fikih. Fikih merupakan produk ijtihad ulama yang diambil melalui metode ushul fiqh-nya. Sehingga tidak asing di dalam fikih terdapat perbedaan pendapat, karena berbeda dalam metode memahami nashnya, dan berbeda secara geografisnya yang melatarbelakangi penetapan hukumnya.

Perbedaan pendapat terjadi karena beberapa faktor diantaranya yaitu faktor geografis, waktu, dan ulama yang berijtihad, sehingga fiqih bisa menyesuaikan situasi dan kondisinya, seperti dalam madzhab Syafi’i kita mengenal qaul qadim dan qaul jadid-nya yang dimana kedua qoul tersebut berbeda pada penetapan hukumnya, dengan faktor geografisnya yang dimana qaul qadim merupakan hasil ijtihad imam syafi’i di irak, sementara qoul jadidnya merupakan hasil ijtihadnya di Mesir

Baca Juga:  Ijtihad Klasik dan Kontemporer

Secara faktual, perbedaan tradisi  pada zaman dulu dan sekarang menghasilkan berbagai persoalan yang berbeda, Dengan kenyataan ini untuk merumuskan ulang semangat fikih baru dengan memahami metodologi imam madzhab merupakan sebuah keharusan. Karena bagainamapun rumusan-rumusan fikih yang tertuang dalam kitab-kitab fikih klasik belum cukup untuk menghadapi problematika zaman sekarang yang kita hadapi, sementara zaman terus berkembang dan problematika umat semakin banyak dan membutuhkan sebuah jawaban, hal tersebut sekaligus menjadi tantangan fikih bagi ulama dan para santri untuk mengkonteksualisasikannya, karena ahli fikih tidak seyogyanya membiarkan suatu persoalan tanpa sebuah jawaban hukum.

Kontekstualisasi fikih sebenarnya bukan hanya faktor tempat dan waktu saja, tetapi juga berdasarkan kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan kita agar dapat melaksanakan syari’at islam. Sebagai contoh pada kasus bai’ul araya yaitu menjual kurma mentah yang masih berada di pohonnya dengan kurma matang yang berada di tangan orang lain, Mungkin di Indonesia menjual padi yang masih disawah dengan nasi, pada dasarnya hal ini tidak diperbolehkan karena nilai dan timbangannya yang belum tentu sama, tetapi karena kebutuhan Nabi membolehkan hal itu. (Mu’jam al-Ma’ani).

Ketika kita hanya berpegang teguh pada satu pendapat dan tidak mau melaksanakan kontektualisasi, maka tidak bisa dipungkiri antara ajaran dan realitas akan tidak selaras. Oleh karena itu kontekstualisasi fikih merupakan suatu hal yang mutlak, agar fikih tidak dianggap sebagai hukum yang mengekang. Dalam hal ini yang perlu diperhatikan adalah maqashidusyari’ah yaitu meliputi : (1) hifdz ad-din, menjaga agama, termasuk tidak ada paksaan dalam agama, (2) hifdz al-aql, menjaga akal, (3) hifdz an-nafs, menjaga jiwa, (4) hifdz an-nasl, menjaga keturunan, (5) hifdz al-mal, menjaga harta. Maqashidusyari’ah diupayakan tiada lain untuk mencapai ridho Allah. (Fahmina, 2007).

Baca Juga:  Hukum Menampakkan Ibadah di Era Milenial

Wacana fiqih baru, sudah di lakukan oleh ulama-ulama kita di Indonesia, seperti KH Sahal Mahfudh dengan Fikih Sosialnya dan Pondok Pesantren Lirboyo dengan Fikih Kebangsaanya, karena memang fikih sifatnya ijtihadi sehingga dapat berubah ketentuannya sesuai dengan berkembangnya zaman, namun demikian dalam merumuskan jawaban untuk suatu persoalan umat bukanlah hal yang mudah, ulama fikih memiliki standarisasinya dengan memahami dan menguasi ilmu-ilmu keagamaan, agar fikih tidak keluar dari prinsip maqashidusyari’ah dan mashlahah ‘ammah.

Dan dalam hal ini Fikih Manhaji merupakan fikih yang adaptif untuk merespon persoalan-persoalan baru yang tidak ditemukan pada nash-nash mujtahid melalui kerangka berpikirnya atau metodologinya, dalam mekanisme fikih manhaji secara garis besar dapat dipetakan menjadi dua yaitu: takhrijul furu’ ala al-furu’ (menggali hukum terhadap persoalan baru melalui nash madzhab) dan takhrijul furu’ ala al-usul (menggali hukum terhadap persoalan baru dari kaidah-kaidah ushul). ( ed. K. A. Muntaha, 2024).

Secara metodologis, dalam penggalian hukum fikih melalui fikih manhaji harus selalu melihat dan memahami betul teks-teks yang termaktub dalam literatur fiqih klasik, sehingga dengan pemahaman yang mandalam kita dapat mengatahui kerangka berpikir dan metodologi para mujtahid terdahulu, dan inilah yang menjadi landasan teoritis fikih manhaji untuk merespon persoalan-persoalan aktual yang akan dicari hukumnya.

Pada akhirnya sebelum kita memasuki pembahasan pada persoalan yang akan dihadapi, mempersiapkan diri dengan mengkaji literatur fikih klasik para imam mujtahid secara kritis dan mendalam adalah suatu hal yang harus diperhatikan, agar dalam meresponnya seseorang masih berdiri di atas prinsip fikih dan tidak menabrak kemana-mana, dan memperhatikan realitas yang terjadi agar dapat menangkap substansinya, sehingga pemahaman yang kita dapat dari kitab klasik imam madzhab (turats) dapat merespon persoalan terkini.

Baca Juga:  KH Ali Yafie: Sang Mujaddid Fikih Klasik

Sekian, wallahu a’lam bisshowab. []

Muhammad Asyrofudin
Mahasiswa Hukum Pidana Islam UIN Raden Mas Said, Santri Pondok Pesantren Al-Musthofa, Sawit Boyolali

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini