Sosok KH. Afifuddin Muhajir, Kiai Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyyah Situbondo adalah sosok ulama unik yang punya wawasan luas dalam pemikiran fiqh kebangsaan yang meneguhkan pilar kebinnekaan bangsa yang pluralistik seperti Indonesia.
Analisis pemikiran Kiai Afif bersumber dari dalam khazanah klasik pesantren karena beliau adalah pendekar tradisi keilmuan pesantren yang dikenal dengan kitab kuning. Beliau pakar nahwu, sharaf, fiqh, ushul fiqh, dan lain-lain.
Dua kali penulis thalabul ilmi di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyyah Situbondo. Pertama, tahun 2003 penulis mengikuti program Islam Emansipatoris P3M Jakarta yang bertempat di pondok tersebut. Saat itu penulis belum sempat bertemu Kiai Afif karena beliau sedang berada di Inggris.
Penulis bertemu dengan Kiai Nakhai yang menggantikan posisi beliau sebagai narasumber yang penuh humor, analisis tajam dan logikanya melompat. Tentu saja tidak ketinggalan, penulis bertemu dengan KH Abdul Moqsith Ghazali yang saat itu menyampaikan paper tentang kelemahan pemikiran fiqh pesantren (agraris, patriarkis, individual dan lain-lain). Wawasan fiqh menjadi lengkap dengan presentasi sang maestro fiqh keadilan, KH Masdar Farid Mas’udi.
Kesempatan kedua penulis sowan ke pondok legendaris di atas adalah saat digelar Muktamar Pemikiran Islam NU yang digelar oleh PBNU pada tahun 2003 dengan tokoh KH. Masdar Farid Mas’udi, KH. Ulil Abshar Abdalla, dan lain-lain.
Saat itulah penulis bertemu pertama kali dengan KH. Afifuddin Muhajir Beliau membawa tema fiqh kemaslahatan yang memaparkan manhaj fiqh qauli dan manhaji dalam pengembangan wawasan fiqh supaya relevan dengan tantangan zaman.
Penulis kemudian membaca karya bersama KH. Afifuddin Muhajir dan KH. Nakhai di Jurnal Tashwirul Afkar Lakpesdam Jakarta tentang reorientasi tradisi bahstul masail NU, khusus pada kajian operasionalisasi ushul fiqh.
Tulisan beliau di jurnal tersebut sangat terlihat gugatan KH. Afifuddin Muhajir dan KH. Nakhai terhadap tradisi bahtsul masail NU yang kering sentuhan ushul fiqh karena terlalu terjebak dalam teks qoulinya.
Dalam Munas PBNU Kempek Cirebon tahun 2013, penulis bertemu kembali kepada KH. Afifuddin Muhajir dalam rangka riset disertasi Pascasarjana UIN Wali Songo Semarang. Penulis berkesempatan wawancara panjang lebar kepada KH. Afifuddin Muhajir tentang manhaj istinbath hukum NU dan kasus-kasus gender yang menjadi tema disertasi.
Penulis juga mengikuti sesi dalam Munas yang menampilkan KH. Masdar Farid Mas’udi sebagai pembicara utama dan KH. Afifuddin Muhajir sebagai pembanding tentang zakat pajak. KH. Afifuddin Muhajir berbicara singkat, padat namun menyegarkan. Beliau mengutip teks Syaikh Yusuf Qaradlawi dalam Fiqhuz Zakah yang menjelaskan bahwa zakat dan pajak adalah dua hal yang berbeda. Argumentasi yang disampaikan KH. Afifuddin Muhajir begitu bernas untuk mematahkan argumentasi KH. Masdar Farid Mas’udi.
Beberapa kesimpulan pemikiran fiqh KH. Afifuddin Muhajir yang bisa penulis sampaikan adalah sebagai berikut:
Pertama, beliau mampu menghadirkan fiqh sebagai problem solving bangsa. Pemikiran beliau tentang Pancasila, Islam Nusantara dan lain-lain adalah buktinya. Kontekstualisasi fiqh menjadi manhaj KH. Afifuddin dalam menghadirkan fiqh di tengah pluralitas bangsa.
Kedua, fiqh harus mampu membawa kemaslahatan riil umat. Pemikiran tentang zakat pertanian yang mendukung pemikiran Imam Abu Hanifah adalah buktinya. Hal ini terungkap dalam kitab beliau, yaitu Fathul Mujib al-Qarib. Kiai Afifuddin mengomentari bahwa pemikiran Imam Abu Hanifah lebih berpihak kepada mustahiq, khususnya fakir-miskin.
Ketiga, fiqh harus mampu berintegrasi dengan negara. Pemikiran beliau tentang hal tersebut hadir dalam satu buku khusus, yaitu fiqh tata negara. Spirit fiqh yang menekankan keadilan, kemaslahatan rakyat dan akuntabilitas harus menjiwai aparatur negara dalam menjalankan pemerintah sehingga terhindar dari korupsi, kolusi dan berbagai penyimpangan menuju tegaknya keadilan dan kemaslahatan rakyat.
Fiqh Manhaj Maqashidi
Dalam Muktamar NU di Jombang tahun 2015, KH. Afifuddin menjadi konseptor tiga paradigma istinbath hukum di NU yaitu bayani, qiyasi, dan maqashidi.
Rumusan ini ditentang para ulama. Namun berkat paparan hebat Kiai Afifuddin, akhirnya musyawirin dari seluruh Indonesia setuju (taslim) dengan draf yang ada.
Sebagian kiai merasa keberatan karena dalam praktek bahtsul masail di pesantren dan NU, konsep tandzirul masail bi nadhairiha (menyamakan status hukum masalah yang belum disebutkan dalam kitab dengan status hukum masalah yang sudah dijelaskan dalam kitab karena persamaan alasan) sudah cukup untuk menjawab masalah-masalah yang muncul sehingga rumusan istinbath maqashidi tidak dibutuhkan.
Kiai Afifuddin menjawab i’tiradl para kiai dengan mengutip teks dalam kitab-kitab fiqh sehingga peserta taslim dengan jawaban beliau. Beliau sering mengatakan:
لو كان الشافعي حيا لقال كذا وكذا
“jika Imam Syafii masih hidup, pasti beliau akan berkata ini dan itu yang sesuai dengan realitas kontemporer”
Sosok Generasi Penerus Kiai Sahal
Kiai Afifuddin berhasil tampil sebagai penerus estafet pemikiran fiqh sosial yang dikembangkan KH. MA. Sahal Mahfudh yang dikenal faqih-ushuli. Karya-karya KH. Afifuddin Muhajir, baik yang berbahasa Arab maupun Indonesia adalah buktinya. Karya ini menjadi legacy pemikiran yang tidak habis dikaji generasi demi generasi sepanjang masa yang menyimpan mutiara pengetahuan dahsyat.
Semoga penulis diakui sebagai santri beliau dan mendapat berkah ilmu beliau. Amin.
Selamat penulis sampaikan kepada KH. Afifuddin Muhajir yang besok mendapat anugerah Doktor Honoris Causa bidang fiqh-ushul fiqh dari UIN Walisongo Semarang. Semoga pemikiran Kiai menginspirasi para kiai, akademisi, dan santri untuk mengembangkan fiqh Indonesia yang membawa sinar kemaslahatan bagi bangsa Indonesia dan umat manusia. Amin.
أطال الله عمر شيخنا الحاج العالم العلامة عفيف الدين مهاجر في صحة وسلامة وسعادة ونفعنا بعلومه في الدارين امين يا رب العالمين
Pati, Selasa, 19 Januari 2021
6 Jumadits Tsani 1442
[…] kita ketahui tentang sosok KH Afifuddin Muhajir ialah Rais Syuriah PBNU, Ketua MUI Pusat, Wakil Pengasuh PP Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo […]