Hai waktu!
Aku menoleh dan mencoba meraihmu kembali
Namun,
langkahmu bak busur panah
melesat gesit menggilasku
memberangus hasrat-hasratku
hingga aku terbenam dalam tanya
cita-cita pun berserakan
di lantai semesta
dan tak sempat aku punguti
Sementara…
aku semakin terpesona
pada dunia yang diam-diam main mata
senyum manisnya sungguh membiusku
tatapan menukiknya membuatku mabuk kepayang
drama memukaunya semakin mengasyikkan
tarian gemulainya mengajakku berdansa
di ruang temaram
yang menjanjikan pesona kepalsuan
Oh ayah ibu!
Jejakmu semakin jauh
membentang jarak seluas samudera
petuahmu dulu menghunjam kalbuku kini
membuatku tersungkur
diatas sajadah baruku
yang menggenang air mata
Wahai Nabi!
Dengan darah membuncah
kucoba terus memerangi bara nafsuku
yang lebih sengit dari perang uhud
yang memporak porandakan
asaku dan sahabat-sahabatmu
“Demi masa”
Firman-Mu wahai Ilahi
seolah menelanjangiku
memperlihatkan luka demi luka
memburamkan cermin
yang memantulkan wajah gelapku
Lihatlah aku
yang serupa jam, menit dan detik
dan terus menua dalam kepastian perlahan
Rasanya baru tadi pagi
aku bersemayam dalam hangatnya rahim ibuku
lalu melangkah keluar
menikmati indah pelangi
mengitari perut bumi
lalu menjadi bocah
yang mulai mengenali dosa-dosa
dan kini,
masa telah menyeret dan memaksaku
menuju liang lahat yang semakin mendekat
mecipta lorong-lorong kiamat dan akhirat
Wahai Penggenggam waktu
Ampuni aku
Tuntun aku
Genggam tanganku
Berjalanlah bersamaku
melintasi jembatan waktu
yang semakin melesat
(Sumenep, 06 Januari 2022)