Hari ini bangsa kita tengah dilanda badai ekonomi yang belum juga reda. Pemutusan hubungan kerja (PHK) massal melanda berbagai sektor industri, menyisakan keresahan dan ketidakpastian bagi jutaan buruh di tanah air. Dalam situasi pelik ini, kaum buruh kembali menjadi korban pertama, baik secara ekonomi, sosial, maupun psikologis. Dan di antara kelompok buruh itu, kaum perempuan menanggung beban ganda: sebagai tulang punggung ekonomi sekaligus pengurus rumah tangga. Maka, Hari Buruh 1 Mei menjadi momentum penting untuk menyoroti perjuangan buruh perempuan dan bagaimana Islam sesungguhnya telah lebih dahulu memuliakan mereka.
Masalah buruh memang sangat kompleks. Mereka adalah tulang punggung industri, namun sering kali menjadi golongan yang paling asing terhadap kemewahan hasil industri. Mereka adalah penyokong pembangunan, namun kerap tersingkir dalam pembagian hasilnya. Lebih tragis lagi, banyak buruh perempuan yang menjadi korban sistem kerja yang eksploitatif, bergaji rendah, tanpa jaminan keselamatan, dan minim perlindungan hukum.
Di sinilah relevansi ajaran Islam hadir. Al-Qur’an bukan sekadar kitab ritual, tetapi juga kitab sosial yang sangat progresif. Ia menghembuskan spirit keadilan sosial dan menolak segala bentuk penindasan ekonomi. Lihatlah bagaimana term-term dalam Al-Qur’an seperti ajr (upah), mizan (keseimbangan), hisab (perhitungan), dan sawab (balasan), semuanya menunjukkan sistem ekonomi yang menjunjung transparansi, akuntabilitas, dan keadilan dalam relasi kerja.
Bahkan Al-Qur’an tidak segan mengecam para pelaku ekonomi curang, seperti: yang mengurangi timbangan (QS. Al-Muthaffifin [83]: 1-3), pelaku riba (QS. Ar-Rum [30]: 39), penimbun harta (QS. Al-Humazah [104], dan QS.At-Takatsur [102]), hingga orang-orang yang menolak memberi makan fakir miskin (QS. Al-Ma’un [107]). Dalam konteks hubungan kerja, semua ini menunjukkan bahwa penindasan dan eksploitasi buruh, termasuk buruh perempuan, adalah bentuk kezaliman yang tidak hanya melanggar nilai kemanusiaan, tetapi juga nilai ketuhanan.
Buruh Perempuan dalam Sorotan Islam
Satu hal yang jarang dibahas adalah bagaimana Islam memberi tempat terhormat bagi buruh perempuan. Di tengah budaya patriarki zaman jahiliyah yang meminggirkan peran perempuan, Islam hadir membawa perubahan mendasar. Sebagaimana QS Al-Qashash [28]: 26 yang mencatat kisah perempuan Madian yang memberi saran kepada ayahnya agar mempekerjakan Musa a.s. karena dia “kuat dan dapat dipercaya.” Ini bukan hanya tentang Musa, tetapi tentang bagaimana pendapat seorang perempuan dalam urusan kerja dan rekrutmen diperhitungkan secara serius. Di sini, Islam tidak melihat perempuan sebagai objek pasif, tetapi subjek aktif dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Lebih jauh, Islam menjamin hak-hak buruh secara umum dan buruh perempuan secara khusus. Mereka berhak atas upah yang layak (QS. Al-Ahqaf [46]: 19), hak bekerja sesuai kemampuan (HR. Bukhari), hak atas waktu istirahat dan perlindungan dari kekerasan (HR. Bukhari), dan hak atas jaminan sosial (QS. An-Nur [24]: 33). Dalam sejarah Islam klasik, Khalifah Umar bin Khattab bahkan pernah melarang sistem kerja malam bagi perempuan demi melindungi mereka dari potensi pelecehan.
Rasulullah Saw. sendiri menegaskan “Buruh adalah saudara kalian. Allah menjadikan mereka di bawah kekuasaan kalian, maka berilah mereka makan dari apa yang kalian makan, dan pakaian dari apa yang kalian pakai, dan jangan membebani mereka lebih dari kemampuan mereka.” (HR. Bukhari). Betapa agungnya penghormatan nabi terhadap buruh, termasuk perempuan di dalamnya.
Buruh Perempuan: Realita Hari Ini
Namun di lapangan, realitas buruh perempuan masih jauh dari ideal. Mereka bekerja di sektor informal seperti buruh cuci, buruh tani, buruh pabrik garmen, pekerja rumah tangga (PRT), atau buruh migran yang menyumbang devisa negara namun sering tak mendapatkan perlindungan hukum. Banyak di antara mereka menjadi korban PHK diam-diam, diskriminasi upah, bahkan kekerasan seksual di tempat kerja. Rancangan Undang-Undang Perlindungan PRT dan RUU Ketenagakerjaan yang lebih ramah gender pun hingga kini masih belum disahkan.
Pada perayaan Hari Buruh tahun ini, ribuan buruh perempuan ikut turun ke jalan, memperjuangkan hak-haknya: penghapusan outsourcing, jaminan kerja layak, penegakan hukum terhadap kekerasan di tempat kerja, hingga pengesahan RUU PPRT. Mereka menyuarakan bahwa sistem ekonomi hijau dan transisi energi tak boleh mengorbankan buruh, apalagi buruh perempuan yang paling rentan.
Momentum untuk Bergerak
May Day bukan sekadar hari libur atau panggung seremoni. Ia adalah hari pengingat bahwa sistem ekonomi yang adil harus dibangun atas dasar penghormatan terhadap setiap tenaga kerja, termasuk perempuan. Ia adalah hari untuk mengorganisasi, mendidik, dan menguatkan barisan buruh agar tak terus dipinggirkan. May Day adalah ajakan untuk membela buruh perempuan dari akar ketidakadilan struktural.
Negara wajib hadir sebagai pelindung hak buruh. Pemerintah mesti menghentikan praktik pencitraan yang menjadikan May Day sebagai ajang hiburan, sembari menutup mata terhadap jeritan buruh perempuan yang bekerja tanpa perlindungan. Islam mengajarkan bahwa membiarkan ketidakadilan adalah bagian dari kemunafikan sosial.