Saya dapat info dari grup medsos, pertama, ada yang nyinyir dengan nyeletuk bahwa ngaji kitab kuning hanya maknani saja kok dibanggakan dan dianggap lebih bermutu daripada kajian ustaz-ustaz medsos. Kedua, ngaji kitab kuning di medsos ambyar karena sepi peminat. Saya akan meletakkan secara proporsional.

A. Masalah ngaji kitab kuning yang hanya maknani (memberi makna), jangan dianggap sepele. Nulis pego atau pegon bukan suatu yang gampang. Ingatan saya masih membekas saat masih kecil belum sekolah ketika diajari nulis pegon oleh orangtua, saya serasa menjadi bego karena sulit, saya sampai nangis.

Nulis pegon akan semakin sulit bila di empakne (dipakai) untuk maknani di kitab. Begini ini harus lebih telaten lagi karena spasi kitab yang dekat sehingga nulis pegonnya harus kecil, itupun pakai boso Jowo. Bisa-bisa selesai nulis gak bisa baca karena terlalu kecil hurufnya, bertambah sulit lagi bila gaya tulisannya kayak rajah atau resep dokter hehe. Saya jamin itu ustaz-ustaz akan kesulitan.

Oh ya, ada juga yang nyeletuk, ngaji kitab kuning menjadikan orang berfikir sempit karena hanya fokus ke otak-atik arti dari kata Arab, serta hanya mengkaji nahwu dan sharaf.

Jawaban saya, kenapa sih Loe kok usil? Tapi tetap akan saya jawab. Anda jangan bilang “hanya” lho. Belajar nahwu sharaf tidak bisa sim salabim. Apalagi kalau belajar di pondok diharuskan menghapalkan ilmu nahwu dan sharafnya dulu. Saya jamin tuh tukang ceramah yang bilang binatang juga ulama akan kesulitan. Faktanya juga ada beberapa tukang ceramah lain di medsos yang error saat mentasrif.

Anda tidak bisa mengatakan bahwa ngaji kitab kuning hanya berkutat pada satu dari tiga model berpikir intelektual Arab (epistemologi Islam) yakni hanya fokus bayani saja, tapi tidak yang lain (baca kitab “Bunyat al Aql al Arabi” karya Abid al Jabiri). Tentu ini pandangan salah. Kalau Anda familiar dengan kitab pesantren secara advanced serta paham lelaku dan jejak kehidupan warga santri, mereka juga akrab dengan apa yang nantinya disebut epistemologi irfani dan burhani.

B. Adapun masalah sedikit pengikut di ngaji medsos tidak bisa kita simpulkan, sepi peminat. Ada beberapa variabel penjelas. Tapi sebelumnya perlu disadari, ada dimensi blessing in disguise dari korona dengan tampilnya ngaji para kiai, gus hingga santri di media online ini. Maksudnya kalau sebelum korona yang tampil ngaji tidak sedikit yang “abal abal” atau yang anti amaliah warga NU. Namun setelah korona, banyak kiai, gus dan santri yang ngaji online. Ini manfaat korona yang gak kita sadari bahwa ternyata di warga NU melimpah SDM dalam kajian agama dan tidak abal-abal, sehingga banyak medsos yang berisi ngaji daring mereka. Poin ini yang perlu kita sadari.

Baca Juga:  Puasa Yang Tidak Boleh Ditawar : Kritik Atas Tulisan “Mengganti Puasa Secara Kolektif”

Lalu apa beberapa variabel penjelas atas “sepi” pengikut ngaji online?

1. Tidak semua santri punya HP. Jika punya HP belum tentu yang di desa semua sinyal lancar. Bila sinyal di desa lancar, belum tentu punya kuota.

2. Hal yang luput dari pandangan umum adalah santri di desa ada yang berasal dari orang tua gak punya, maka saat ini adalah masa harus ngirit ekonomi. Maka fokus mereka adalah menyambung hidup sehari-hari. Buktinya anak saya sendiri (Aura) memberi bantuan kepada beberapa orang tua teman sekolahnya yang sulit hidupnya.

3. Ada statemen konco medsos yang mengatakan bahwa dia cuma punya kuota buat FB-an saja, dan sering kesulitan dapat sinyal. Termasuk untuk nulis komentar juga tersendat karena sinyal yang buruk. Kalau untuk melakukan aktifitas seperti itu saja kesulitan, apalagi buat live streaming? Padahal daerah konco medsos ini belum terlalu pelosok. Santri yang lokasinya lebih pedalaman, tentu lebih sulit lagi.

4. Ada juga jawaban konco medsos bahwa santri yang pulang kampung ini mungkin meramaikan pengajian di kampungnya yang masih zona hijau. Atau mengajar ngaji keluarga dan tetangga terdekatnya. Jadi nggak sempat buat live streaming.

5. Faktor X yang luput dari pantauan adalah ada banyak santri yang malah menganggap saat ini, sewaktu di rumah akibat pulang dari mondok adalah masa liburan. Saat liburan bila punya HP, maka biasanya malah dibuat main game. buktinya, anak saya sendiri si Javed Mohammedy hampir tiap hari main game.

Maka menyebut penonton sedikit di medsos dan menganggap karismanya ambyar adalah kesimpulan yang keliru.
**

Di luar hal di atas, ada beberapa catatan.

Baca Juga:  Bagaimana cara Santri Merespon Ustaz Medsos?

Pertama, prinsip kiai saya dulu (juga kiai lain), ngajar ngaji (dimanapun) walau satu anak ya gak apa-apa, jangan merasa galau. Kalau gak ada manusia ya biar didengar jin. Terkait dengan jin, saya jadi teringat kiai saya menyampaikan (dan itu saya pegang), kalau salat gak ada jamaah manusia, maka niatkan menjadi imam untuk jamaah dengan jin, wow!

Kedua, tentu kita tidak saklek dan mbidek, tapi kita juga tidak ambyar, bahwa ngaji online ini harus pandai mengemas sesuai tuntutan generasi milenial dan centennial. Maka silakan ahli pengemas untuk urun rembuk agar kajian kitab kuning semakin syantiq dan menarik.

Ketiga, sebenarnya tidak semua ngaji online warga NU sepi, para kiai sepuh saat ngaji online diikuti ribuan orang dari seluruh nusantara.

Keempat, hakekatnya memang ngaji kitab kuning butuh tatap muka langsung. Karena dalam proses transmisi ilmu harus ada “sentuhan” langsung seperti orang tua kepada anaknya. Ada doa, pendidikan, reward and punishment, pengawalan dan evaluasi. Hendaknya disadari bahwa penggunaan media online selain karena situasi darurat saat ini, juga ngaji online hanya meneruskan pengajian di pondok. [HW]

Ainur Rofiq Al Amin
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Penulis Buku "Membongkar Proyek Khilafah Ala HTI", dan Salah Satu Tim Penulis Buku "Tambakberas, Menelisik Sejarah, Memetik Uswah"

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini