Secara etimologis, qawa’id fiqhiyyah terdiri dari dua kosa kata, yaitu al – Qawaid dan al – Fiqhiyyah. Al – Qawaid adalah bentuk jama’ dari mufrad “qaidah” berarti “al – asas” yang bermakna dasar atau pondasi. Sementara itu, al – Fiqhiyyah berasal dari kata “al – fiqh” yang ditambah “ya’ nisbah” yang berfungsi sebagai penjenisan atau membangsakan. Karenanya al – Qawaid al – Fiqhiyyah secara bahasa bermakna kaidah – kaidah yang dibentuk berdasarkan hasil pemahaman para mujtahid terhadap nash Al – Qur’an dan Sunnah. Adapun secara terminologis para ulama’ memberikan definisi yang beragam terkait dengan qawaid fiqhiyah. Dalam kitab At – Ta’rifat qawaid fiqhiyah didefinisikan sebagai berikut :

قَضِبَةٌ كُلَّيَةٌ مُنْتطَبِقٌ عَلَى جَمِيعِ جُزْئِيَاتِهَا

Ketentuan universal yang bersesuaian dengan bagian – bagiannya”

Beragam ulama’ mendalami kajian fan keilmuan ini yang salah satunya adalah Al Imam Ibn Al – Kutub Al – Hafidz Jalaluddin As – Suyuthi. Materi qawaid fiqhyiyah yang termaktub dalam kitab Asybah Wan Nadzair karyanya seakan menjadi pembahasan menarik untuk dikaji lebih mendalam di kalangan ulama Nusantara, khususnya mereka yang pakar di bidang ushul – furu’. Sebut saja ada KH. Ahmad Sahal Mahfudz Kajen, Pati yang memberikan catatan secara detail seputar qawaid fiqhiyah pada kitab Asybah – nya Imam Suyuthi ini ketika beliau menimba ilmu kepada KH. Zubair Dahlan (abah KH. Maimun Zubair). Kini catatan beliau tersebut dicetak dengan judul “Anwarul Bashair Alaa Ta’liqat Asybah Wan Nadzair Lil Imam Suyuthi”.

Begitupun dengan seorang ulama asal tapal kuda yang pernah menimba ilmu kepada Hadrotus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau adalah KH. Abdul Halim Rohman, pendiri Pondok Pesantren Mamba’ul Khoiriyatil Islamiyyah (PP. MHI) yang tinggal di Kecamatan Bangsalsari, Kabupaten Jember, Jawa Timur. Salah satu turots peninggalan Kiai Halim yang hingga kini masih diajarkan kepada para santri adalah kitab “Alfiyah Bahiyah Fii Al Qowa’id Al Fiqhiyyah : Mandzumah Asybah Wan Nadzair Lil Imam Abdurrahman Jalaluddin As Suyuthi”. Tidak ada keterangan enskripsi yang jelas nadzam ini mulai ditulis tahun berapa dan selesai ditulis tahun berapa. Namun menurut Agus Danial Reza, nadzam ini pada awalnya merupakan catatan ngaji seorang santri bernama Kiai Jufri yang privat dengan Kiai Halim berkaitan dengan kaidah fiqhiyah yang termaktub dalam kitab Asybah – nya Imam Suyuthi ini. Sebelum memulai pembelajaran, terlebih dahulu Kiai Halim menanyakan materinya dari bab mana. Setelah muthola’ah sebentar, beliau pun menulis materi dalam kitab Asybah tersebut dengan model nadzam yang ditulis secara otodidak di papan tulis dan kemudian beliau mengupas secara detail perihal kaidah fiqhiyah yang sedang dibahas. Pada mulanya nadzam ini tersusun sampai pada 800 bait dan Kiai Halim tidak meneruskan penulisan nadzam Alfiyah Bahiyah dikarenankan udzur atas usianya.

Baca Juga:  Intisari Ihya' 'Úlumuddin (Part 2)

Hal yang senada juga diungkapkan oleh Kiai Ruhaini, salah satu alumni sepuh pesantren MHI. Beliau menuturkan,

Alfiyah Bahiyah itu kitab qaidah fiqhiyah yang mana beliau (Kiai Halim) nulisnya sambil ngajar. Ketika pelajaran gitu, Romo Kiai tidak menyiapkan materi. Santri yang namanya Kiai Jufri ini (datang / ngaji) di ndalem baru dituliskan. Kiai Halim bertanya kemarin sampai mana ? dari bab niki kiai. Langsung beliau nulis, ngarang (otodidak) ketika itu sudah”.

Menurut penuturan Gus Reza, Kiai Jufri yang merupakan santri seniornya tersebut meminta izin kepada Kiai Halim untuk menyempurnakan Alfiyah Bahiyah – nya beliau menjadi 1000 bait. Atas izin Kiai Halim, akhirnya Kiai Jufri pun menyempurnakan dengan menambahkan 200 bait ke dalam nadzam qawaid fiqhiyah tersebut. Hal tersebut merupakan suatu kelumrahan di kalangan santri senior yang mana mereka menyempurnakan karya gurunya. Sebagaimana Imam Jaluddin Al – Mahalli yang menulis sebuah kitab tafsir yang tidak sampai selesai beliau tulis sudah wafat dan penulisan kitab tafsir tersebut kemudian diteruskan serta disempurnakan oleh salah satu santri seniornya yang bernama Imam Jalaluddin As – Suyuthi. Jadilah kitab tafsir tersebut kini masyhur di kalangan pesantren dengan julukan “Tafsir Jalalain”.

Waba’du, melalui goresan pena inilah penulis sedikit ingin memaparkan karya – karya Ulama’ Nusantara yang tujuannya agar para santri / penimba ilmu sekarang semakin mengerti akan keluasan khazanah turots ulama’ kita di bumi Nusantara tercinta ini. Wallahu ‘Alam Bishowwab…

Akmal Khafifudin
Mahasiswa Fakultas Syariah UIN KH. Achmad Siddiq Jember, Alumnus Ponpes Darul Ulum Jombang dan Ponpes Minhajut Thullab Glenmore, Banyuwangi. Kini ia nyantri kembali di Ponpes Darul Amien, Gembolo, Banyuwangi. Ia sekarang fokus mengkaji Turots Ulama Nusantara dan merintis Perpustakaan Kumpulan Kitab Ulama' Nusantara di Pondok Pesantren Darul Amien.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Kitab