Bau mulut yang tidak sedap memang sedikit banyak menggangu diri sendiri atau lawan bicara kita, kadang membuat kita menjadi sungkan membuka mulut untuk sekedar berbicara, lebih-lebih saat Puasa, bau mulut semakin memburuk sebagian orang menjadi kurang percaya diri.

Adapun penyebabnya menurut pakar kesehatan disebabkan karena asupan cairan terbatas. Lalu tak ada stimulus saliva yakni agen pembersih alami yang mengandung enzim antibakteri dan menjaga keseimbangan bakteri dalam mulut. Kalau asupan cairan kurang dan tidak ada stimulus saliva, maka laju saliva menurun, sehingga penumpukan bakteri terjadi, dan inilah yang memicu terjadinya halitosis (Bau mulut )”.

Namun bila kita lihat dari disisi agama Bau mulut yang tidak sedap itu, justru merupakan sebuah Keistimewaan tersendiri bagi orang yang berpuasa, bahkan Makruh untuk menghilangkannya. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Sahih-nya:

وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَخُلُوْفُ فَمِّ الصَّائِمِ أَطْيَبُ عِنْدَ اللهِ تَعَالَى مِنْ رِيْحِ الْمِسْكِ

Demi Zat yang berkuasa atas nyawaku, sungguh ‘bau mulut orang puasa’ itu lebih wangi menurut Allah daripada bau misik.”

 Al-Bujairimi dalam Tuhfatul Habib ala Syarhil Khatib terkait makna hadis ini menjelaskan:

حاشية البجيرمي على الخطيب، ١٢١/١

قَوْلُهُ: (أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ) أَيْ أَطْيَبُ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ الْمَطْلُوبِ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ وَالْعِيدَيْنِ أَيْ أَكْثَرُ ثَوَابًا مِنْ ثَوَابِ رِيحِ الْمِسْكِ الْمَطْلُوبِ، فَلَا يَرِدُ أَنَّ الشَّمَّ مُسْتَحِيلٌ عَلَيْهِ تَعَالَى، أَوْ مَعْنَى كَوْنِهِ أَطْيَبَ عِنْدَ اللَّهِ ثَنَاؤُهُ تَعَالَى عَلَيْهِ وَرِضَاهُ بِهِ

“Yang dimaksud dalam qaul ‘lebih wangi menurut Allah’ adalah lebih wangi dari pada bau minyak misik yang diperintahkan untuk memakainya ketika hari Jumat dan dua salat Id, atau maksudnya adalah pahalanya lebih banyak daripada pahala menggunakan minyak misik pada hari Jumat atau dua hari raya. Sungguh, mencium adalah hal yang mustahil bagi Allah SWT sehingga yang dimaksud dengan ‘lebih wangi menurut Allah’ adalah pujian dan ridha-Nya terhadap orang yang berpuasa.”

Imam Nawawi menjelaskan dalam Syarah Muslim

شرح النووي على مسلم ,8/30

Baca Juga:  Bagaimana Puasa Kita Pasca-Ramadan?

وَاحْتَجَّ أَصْحَابُنَا بِهَذَا الْحَدِيثِ عَلَى كَرَاهَةِ السِّوَاكِ لِلصَّائِمِ بَعْدَ الزَّوَالِ لِأَنَّهُ يُزِيلُ الْخُلُوفَ الَّذِي هَذِهِ صِفَتُهُ وَفَضِيلَتُهُ وَإِنْ كَانَ السِّوَاكُ فِيهِ فَضْلٌ أَيْضًا لِأَنَّ فَضِيلَةَ الْخُلُوفِ أَعْظَمُ وَقَالُوا كَمَا أَنَّ دَمَ الشُّهَدَاءِ مَشْهُودٌ لَهُ بِالطِّيبِ وَيُتْرَكُ لَهُ غُسْلُ الشَّهِيدِ مَعَ أَنَّ غُسْلَ الْمَيِّتِ وَاجِبٌ فَإِذَا تُرِكَ الْوَاجِبُ لِلْمُحَافَظَةِ عَلَى بَقَاءِ الدَّمِ الْمَشْهُودِ لَهُ بِالطِّيبِ فَتَرْكُ السِّوَاكِ الَّذِي لَيْسَ هُوَ وَاجِبًا لِلْمُحَافَظَةِ عَلَى بَقَاءِ الْخُلُوفِ الْمَشْهُودِ لَهُ بِذَلِكَ أَوْلَى وَاللَّهُ أَعْلَمُ

“Dengan hadis tersebut ulama madzhab Syafi’i berhujah tentang kemakruhan  bersiwak bagi orang yang berpuasa setelah zawal (matahari condong kearah barat) itu adalah, dikarenakan siwak dapat menghilangkan bau mulut ( khuluf). Meskipun bersiwak merupakan sebuah keutamaan, namun bau mulut  lebih bernilai utama daripada bersiwak -pen, seperti halnya darah mati syahid yang dipersaksikan berbau wangi, oleh karenanya, mayit tersebut tidak dimandikan, padahal memandikan mayit hukumnya wajib. Maka bila meninggalkan kewajiban memandikan mayit untuk menjaga keutuhan darah yang dipersaksikan dengan bau wangi, meninggalkan untuk bersiwak lebih utama, sebab bukan sebuah kewajiban, supaya bau mulut tetap terjaga”.

تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي، ٢٢٢/١

زَادَ الْبُجَيْرِمِيُّ، فَإِنْ قِيلَ لِأَيِّ شَيْءٍ كُرِهَ الِاسْتِيَاكُ بَعْدَ الزَّوَالِ لِلصَّائِمِ وَلَمْ تُكْرَهْ الْمَضْمَضَةُ مَعَ أَنَّهَا مُزِيلَةٌ لِلْخُلُوفِ أُجِيبُ بِأَنَّ السِّوَاكَ لَمَّا كَانَ مُصَاحِبًا لِلْمَاءِ وَمِثْلُهُ الرِّيقُ كَانَ أَبْلَغَ مِنْ مُجَرَّدِ الْمَاءِ الَّذِي بِهِ الْمَضْمَضَةُ اهـ قَوْلُ الْمَتْنِ

“Albujairimi memberikan tambahan  ‘bila ditanyakan kenapa siwak setelah zawal bagi orang yang berpuasa dimakruhkan sedangkan berkumur tidak, padahal berkumur juga dapat menghilangkan khuluf (bau mulut)’, maka jawabannya adalah; bahwasanya siwak saat bercampur dengan air seperti halnya ludah, ia akan lebih kuat dalam menghilangkan bau mulut dibandingkan berkumur dengan air”.

Kemakruhan bersiwak ini mulai dari zawal sampai gurub (Magrib), meskipun mulut tidak berubah atau perubahanya bukan disebabkan oleh puasa melainkan semisal karena tidur menurut Ibnu Hajar. Adapun Alasan kenapa kemakruhan bersiwak hanya berlaku setelah zawal bukan dari pagi disebabkan karena, perubahan bau mulut pada pagi hari disebabkan oleh sisa-sisa makanan pada malam harinya, berbeda dengan bau mulut yang timbul setelah zawal yang memang penyebabnya adalah keadaan berpuasa sebelumnya.

Baca Juga:  Sabar: Sabar Dari dan Sabar Untuk

بشرى الكريم بشرح مسائل التعليم، صفحة ٥٦٧

(ويكره) للصائم ولو نفلاً (السواك بعد الزوال) إلى الغروب وإن لم يتغير فمه من الصوم، بل من نحو نوم عند (حج)؛ للخبر الصحيح: “لخلوف فم الصائم يوم القيامة أطيب عند الله من ريح المسك”، وهو -بضم الخاء المعجمة- التغير، واختص بما بعد الزوال؛ لأنه غالباً ينشأ من الصوم بعده، وقبله من أثر الطعام

Walhasil, bau mulutnya orang yang sedang berpuasa mempunyai keistimewaan tersendiri disisi Allah, sehingga digambarkan baunya melebihi wanginya minyak misik, -Maksudnya pahalanya lebih besar dibandingkan dengan memakai minyak misik pada hari-hari yang disunnahkan menggunakannya, seperti hari Jumat, kedua hari raya dll. Oleh karenanya ulama Mazhab Syafi’i Memakruhkan siwakan setelah zawal, karena ditengarai bisa menghilangkan keistimewaan tersebut, konklusi hukum bersiwak diatas sama dengan hukum dilarangnya menghilangkan darah orang yang mati syahid pada prosesi pemulasaran jenazahnya, karna bagi orang yang mati syahid, lumuran darah merupakan keutamaan tersendiri baginya. Wallahu A’lam Bi ash-Shawab. [HW]

M Hanif Rahman
Santri ponpes Al-Iman Bulus Gebang Purworejo Jateng

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Hikmah