Sikap menghakimi orang lain masih seringkali dijumpai dalam masyarakat kita. Menilai negatif seseorang secara subjektif tanpa tahu latar belakang apa yang membuatnya seperti itu terkadang justru berujung pada sikap berburuk sangka.
Buruk sangka atau dalam bahasa agama disebut su’udzan adalah sikap tercela. Kita dilarang untuk berburuk sangka kepada orang jahat, apalagi kepada orang baik-baik. Berprasangka buruk merupakan salah satu penyakit hati yang harus diperangi. Sifat ini biasanya disebabkan oleh nafsu untuk membenci orang lain.
Dalam dunia tasawuf, berburuk sangka kepada orang lain merupakan penyakit hati yang berbahaya. Bahkan, angan-angan buruk yang terlintas di benak kita saja harus segera dilenyapkan dengan cara mendustakannya. Hanya dengan cara demikian, Allah akan mengampuni kita.
Beberapa ulama menjelaskan bahwa angan-angan di dalam batin tidak selalu dikatakan ghibah atau gunjingan atas kekurangan orang lain. Akan tetapi, angan-angan itu dapat berupa kemaksiatan apa saja yang terlintas dan terbersit di benak kita. Semua pikiran negatif kepada orang lain harus segera dilenyapkan dan diganti dengan prasangka baik.
Terkait hal ini, al-Būtī pernah menceritakan pengalamannya tentang bisikan batin untuk berburuk sangka kepada orang lain. Beliau menjelaskan dalam ceramahnya, begini:
“Ada salah satu saudara kita yang selalu hadir di majelis ini. Dia hanya tidak hadir pada majelis ilmu di bulan Ramadan saja. Saya berharap dia adalah orang yang saleh. Sebenarnya, ia memiliki jenggot yang lebat. Namun, suatu hari ia mencukur jenggotnya hingga terlihat sangat tipis. Saya berguman dalam hati untuk mengkritiknya, kenapa ia melakukan hal itu? Padahal sebelumnya jenggot Anda lebat dan indah mengapa justru dicukur hingga habis?”
Al-Būtī melanjutkan ceritanya dengan penuh penyesalan. Beliau berkata demikian:
“Hingga akhirnya kemarin Allah berikan saya sebuah pelajaran. Saya terkena musibah yang sama seperti yang terjadi pada saudara kita yang saya kritik sebelumnya dalam benak saya. Allah berikan saya musibah dengan sosok tukang cukur yang melakukan kesalahan. Ia mencukur jenggot saya hingga tipis sekali dan saya tidak bisa berbuat apa-apa. Seketika itu, saya menyesal sekali. Tiba-tiba saya teringat buruknya akhlak saya yang telah mengkritik dalam hati kepada saudara sendiri. Orang yang saya maksud saat ini memang tidak hadir, tapi saya akan meminta maaf kepadanya.”
Dengan perasaan sedih yang mendalam, al-Būtī melanjutkan ceramahnya:
“Saudara-saudaraku, kita tidak boleh asal menghakimi orang lain, sama sekali tidak boleh. Meskipun sekadar berburuk sangka dalam hati. Harusnya kita bertanya atau klarifikasi terlebih dahulu. Saya sendiri mengakui kesalahan, saya telah melakukan kritikan kepadanya tanpa tanya terlebih dahulu sebabnya. Ini karena, dengan asumsi pribadi saya bahwa perbuatan tadi layak dikritik. Maka dari itu Allah beri saya musibah yang sama seperti yang dialami saudara kita. Semoga Allah ajari kita cara beradab yang baik kepada sesama manusia.”
Begitulah sikap al-Būtī kepada orang lain. Beliau sangat berhati-hati untuk tidak melakukan apapun yang dapat melukai hati orang lain. Al-Būtī adalah ulama yang sangat lembut hatinya. Hatinya lembut karena beliau sangat menyayangi orang-orang yang ada disekitarnya.
Pesan inti dari kisah Al-Būtī adalah bahwa jangan pernah kita berburuk sangka kepada orang lain. Karena kita seringkali tidak memahami hakikatnya di balik sesuatu. Jangan jadikan asumsi pribadi untuk menghakimi dan menebar kebencian kepada orang lain.
Sudah seharusnya, sebagai muslim sejati kita harus menebarkan kasih sayang, bukan menyulut permusuhan dan apalagi kecurigaan tanpa alasan.
Semoga Allah senantiasa menjauhkan diri kita dari berprasangka buruk dan membenci kepada orang lain. Sebaliknya, tumbuh suburkan cinta kasih dalam hati kami untuk seluruh ciptaan-Nya. Amin. [HW]