Saya akan mereview secara apresiatif-kritis kitab tafsir al-bayan fi ma’rifati ma’ani al-qur’an, karya K.H. Shodiq Hamzah Usman, dari dua sisi: internal dan eksternal. Internal terkait langsung dengan aspek fisik dan isi kitab tafsirnya, sedang eksternal terkait dengan corak tafsirnya, apakah ia bisa disebut tafsir Nusantara (Jawa) ataukah tidak, dan fungsinya bagi masyarakat Indonesia, masyarakat Jawa khususnya.
@@@@
Ada beberapa unsur yang perlu dideskripsikan dari sisi “internal” kitab ini dengan tujuan agar mereka yang belum memilikinya menjadi tertarik untuk memilikinya, dan mereka yang sudah memilikinya tertarik untuk membaca, memahami dan memberi komentar, baik secara apresiatif maupun kritis. Di antaranya adalah:
Pertama, dari sisi perwajahan. Yang pertamakali menjadi perhatian seseorang ketika hendak membeli dan membaca buku adalah aspek fisiknya atau perwajahannya. Jika aspek ini kurang bagus, biasanya calon pembeli berfikir dua kali untuk membelinya, begitu juga ketika hendak membacanya. Jika aspek luarnya kelihatan bagus, seseorang tertarik untuk membeli dan membacanya. Karena itu, para penerbit buku berlomba-lomba menampilkan wajah buku semenarik mungkin.
Wajah kitab tafsir al-Bayan ini menurut hemat saya cukup menarik. Kovernya berwarna dasar (tengah) putih dan dasar pinggir hijau, dihiasi lukisan seperti bunga yang berwarna kuning emas, baik kover depan maupun belakang. Di bagian tengah kover depan terdapat tulisan berbahasa Arab, tetapi menggunakan huruf latin Indonesia, kecuali judul besarnya yang menggunakan huruf arab dan latin (Juz (1), al-bayan fi ma’rifati ma’ani al-qur’an, Shodiq Hamzah Usman, Pondok pesantren Asshodiqiyah, Sawah Besar Kaligawe, Semarang. Sebaliknya, kover belakang menggunakan bahasa dan tulisan huruf arab dengan teks yang sama dengan bagian kover depan.
Kitab tafsir yang dicetak pertamakali tahun 2020 ini terdiri dari beberapa juz, dan masing-masing juz berjumlah antara 100-110 halaman dengan menggunakan kertas buram, dan ukuran 15X23 cm. Nama “daftar isi”nya menggunakan istilah bahasa arab, yakni “Fihris Juz”, dan diletakkan pada bagian akhir kitab. Ia berisi sub-sub tema yang merupakan pecahan dari ayat-ayat al-Qur’an. Peletakan posisi Fihris ini berbeda dengan kebanyakan karya berbahasa Indonesia yang biasanya diletakkan di bagian awal halaman.
Jika melihat sisi perwajahannya, kita akan mendapatkan kesan awal bahwa ini adalah kitab kuning yang khas Pondok Pesantren Tradisional di Indonesia, seperti kitab-kitab safinatunnajah, ta’lim muta’allim, ulum al-Qur’an dan seterusnya. Indah dilihat, dan nyaman dipegang.
Kedua, teknik penulisannya. Setiap karya pemikiran biasanya didasarkan pada teknik, metode, pendekatan dan teori, termasuk dalam karya tafsir. Secara teknis, bahasa yang digunakan tafsir al-Bayan ini berbeda antara yang terdapat di kover dan isi. Di kover, judulnya menggunakan bahasa arab, al-bayan fi ma’rifati ma’ani al-qur’an, tetapi isinya menggunakan bahasa Jawa halus (Jawa Kromo). Alur penulisannya dimulai dari sisi kiri sebagaimana karya-karya yang berbahasa (Jawa) Indonesia umumnya, kendati daftar isinya “fihris Juz” berada di bagian belakang. Tata letak seperti ini sedikit mengganggu pembaca.
Di bagian awal pada Juz pertama disampaikan bahwa, pemberian judul tafsir bertafaul kepada beberapa ulama’ besar. Rujukan tafsirnya berjumlah kurang lebih 30 tafsir, baik yang berasal dari Timur Tengah maupun yang berasal dari Nusantara, khususnya karya ulama’ Jawa, kendati karya yang disebut belakangan lebih sedikit jumlahnya daripada yang pertama. Rujukan tafsirnya berasal dari berbagai aliran teologis (ini menunjukkkan, beliau berwawasan luas dan terbuka), baik tafsir Muktazili, seperti al-Kassyaf karya Zamakhsyari, tafsir Sunni (jumlahnya paling banyak), seperti tafsir al-Thabari, tafsir Jalalain, tafsir Ruhul Ma’ani, dan termasuk sunni-NU, seperti al-Ibriz dan al-Iklil, baik klasik maupun kontemporer. Terjemahan al-Qur’annya diambil dari beberapa terjemahan tafsir yang ditulis oleh ulama’ Nusantara, dan khususnya karya ulama’ Jawa, seperti al-Ibriz, al-Iklil dsb.
Di juz pertama juga disampaikan metodologinya. Sang penafsir menggunakan metode berfikir deskriptif. Proses penafsirannya dimulai dari al-Qur’an sesuai urutan mushaf, memberi bahasan ringkas tentang surat, baik berkaitan dengan tempat turunnya, yakni Makkah dan Madinah, maupun asbab nuzul dan fadilah-fadilahnya. Surat al-Qur’an dipecah-pecah menjadi komponen-komponen kecil ayat, memberi sub-judul sesuai tema utama yang dibicarakan di dalam ayat tersebut, memberi arti berbahasa Jawa pada setiap kata dari ayat yang dibahas, dan terakhir memberikan penjelasan ringkas tentang pemahaman ayat tersebut. Jika melihat sistimatika tafsirnya, kitab ini bisa dikatakan sebagai tafsir tahlili ijmali, suatu teori tafsir yang dimulai dari urutan mushaf, dari awal ayat dan surat sampai akhir ayat dan surat. Dikatakan ijmali karena penafsir hanya menafsirinya secara deskriptif, singkat, ringkas atau global.
Keempat, pemberian tema pada ayat-ayat al-Qur’an. Pemberian tema atau sub-judul pada setiap ayat yang dibahas benar-benar menarik dan termasuk model baru dalam jagad tafsir tahlili, kecuali tafsir maudu’i, suatu teori tafsir yang memang bertumpu pada tema. Apa yang dilakukan oleh K. Shodiq benar-benar membantu pembaca, tidak hanya dalam memahami pesan ayat al-Qur’an, tetapi juga status tematik ayat itu sendiri. Sebab, pada hakikatnya, al-Qur’an secara keseluruhan tidak menggunakan tema-tema. Istilah-istilah yang ada di dalam al-Qur’an hanya ayat, surat, juz dsb, bukan tema-tema.
@@@@
Sebagai karya manusia, tafsir al-Bayan karya K. Shodiq ini sejatinya juga dilihat dari konteks non-teks (eksternal), karena manusia tidak hidup dalam ruang kosong. Manusia merupakan anak zamannya. Sebagai anak zaman, manusia berfikir dalam kerangka konteks dimana dia hidup, begitu juga untuk siapa karya itu ditulis. Karena itu, menempatkan dan melihat tafsir ini dalam konteks kekinian penafsir menjadi penting dengan tujuan untuk mengetahui corak tafsirnya dan fungsinya bagi masyarakat.
Dari sisi konteks non-teks (eksternal), tafsir ini tentusaja sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, Jawa khususnya, terutama mereka yang tidak memahami al-Quran secara langsung, juga yang tidak bisa memahami karya-karya tafsir yang berbahasa arab. Selain itu, kitab tafsir tahlili ijmali ini memberikan uraian yang sederhana, ringkas, tidak berpanjang-panjang sebagaimana tafsir tahlili pada umumnya, sehingga tidak membuat pembaca merasa capek dan jenuh membacanya. Ia langsung menukik pada pesannya yang inti terkait dengan nama surat, fadilahnya, tema-tema ayat, makna suatu kata dan pemahamannya tentang ayat secara umum. Dengan pola tafsir seperti ini, mereka akan terbantu memahami dengan mudah pesan-pesan al-Qur’an, baik yang terkait dengan persoalam akidah, syari’ah, tasawuf, etika maupun sosial kemasyarakatan.
Model tafsir ringkas-global (al-wajis-ijmali) seperti ini memang mulai muncul ke permukaan dan dinilai penting oleh para ulama’, sehingga wajar jika banyak penafsir, Lembaga Pendidikan keagamaan dan Pemerintah di negara yang mayoritas beragama Islam membuat tafsir ringkas-global, seperti tafsir al-Muntakhab di Mesir, tafsir al-Muyassar di Arab Saudi, tafsir Ringkas karya Kementerian Agama RI, dan tafsir al-Ibris karya KH. Bisri Mustafa. Karena itu, tentusaja karya tafsir ringkas-global berbahasa Jawa ini perlu diapresiasi.
Bisakah kitab tafsir al-Bayan ini disebut sebagai tafsir Indonesia (tafsir Jawa)?
Pertanyaan ini bersifat epistemologis dan aksiologis. Keduanya saling berhubungan. Secara epistemologis, sebagaimana disajikan di atas, bisa dikatakan, ini merupakan corak tafsir tekstual, suatu tafsir yang menampilkan pesan ayat secara lahiriah, dan mengabaikan konteks, terutama konteks pembaca. Tafsir sepert ini tentu saja tidak bermasalah secara epistemologi, tetapi bermasalah secara aksiologis, dalam arti, fungsinya bagi masyarakat Indonesia saat ini. Mengapa? Karena pemerintah Indonesia (melalui Kementerian Agama), para intelektual muslim dan masyarakat Indonesia pada umumnya menghadapi tantang berat, yakni hadirnya ideologi keagamaan yang radikal, yang memanfaatkan isu kembali pada al-Qur’an dan hadis sebagai senjata ideologinya.
Dikatakan tantangan, karena dengan memahami kedua kitab suci umat Islam ini secara literal (tekstual), paham Islam radikal, seperti khawariji-wahhabi-salafi dan Islam islamisme (HTI) yang membanjiri Indonesia dapat memecah belah bangsa lantaran mereka menuduh sesat masyarakat yang tidak sejalan dengan paham mereka, terutama umat Islam mayoritas yang memanfaatkan budaya lokal dalam menjalankan ajaran Islam.
Karena itu, kita perlu menampilkan dan mempromosikan Islam dan tafsir Nusantara (tafsir Jawa, tafsir Sunda dsb), dengan harapan masyarakat Indonesia yang plural ini beragama dan berislam secara moderat. Gagasan Islam dan tafsir Nusantara sebenarnya sudah lama muncul, bahkan sejak kehadiran Islam ke Nusantara, terutama di daerah Jawa, yang dibawa oleh Walisongo. Proses penusantaraan melibatkan seluruh disiplin keilmuan Islam, baik fiqih, kalam, tasawuf maupun sastranya, dan semuanya bermuara pada tafsir al-Qur’an.
Jika dikategorisasi secara sederhana, ada beberapa kategori tafsir al-Qur’an yang ditulis oleh ulama’ Nusantara, tetapi berbeda bentuk, coraknya dan nuansanya. Tentusaja, kategorisasi ini masih bisa diperdebatkan secara akademik, dan saya sendiri baru mengira-ngira, belum melakukan penelitian mendalam atas tafsir karya para penafsir Nusantara.
Ada tafsir yang menggunakan bahasa Arab, ditulis oleh ulama’ Nusantara (Banten), tetapi belum terlihat adanya konteks ke-indonesia-an di dalamnya, seperti tafsir marah labid (al-munir) karya Imam Nawawi al-Bantani; ada tafsir yang menggunakan bahasa Indonesia, ditulis oleh ulama’ Nusantara (Minangkabau), dan sekilas terlihat menampilkan semangat ke-Indonesia-an (ke-Minangan-nya) di dalamnya, seperti tafsir al-Azhar karya Hamka; ada tafsir yang menggunakan bahasa Indonesia, ditulis oleh ulama’ Nusantara (Sulawesi), tetapi belum terlihat adanya konteks ke-Indonesia-an di dalamanya, seperti tafsir al-Misbah karya Quraisy Shihab; ada tafsir yang menggunakan bahasa Jawa, ditulis oleh ulama’ Nusantara (Jawa), dan mulai memperlihatkan adanya konteks ke-Jawaan-nya, seperti tafsir al-Ibriz fi ma’rifati al-Qur’an al-Aziz karya KH. Bisri Musthafa, dan tafsir al-Iklil fi Ma’ani al-Qur’an karya KH. Misbah Bangilan, dst.
Sejalan dengan itu, setidaknya terdapat tiga unsur agar sebuah tafsir disebut tafsir Nusantara, yakni penulisnya berasal dari Nusantara, boleh menggunakan bahasa arab dan lebih baik menggunakan bahasa Indonesia, dan menampilkan nuansa atau konteks ke-Indonesia-annya. Jika melihat dari sisi penulis (penafsirnya), K.H. Shodiq yang merupakan ulama’ dari tanah Jawa, khususnya Jawa Tengah, dan menggunakan bahasa Jawa halus, kitab tafsir al-Bayan ini bisa disebut sebagai “tafsir Nusantara atau tafsir Jawa”, tetapi masih belum maksimal, terutama dari sisi kontekstualisasinya. Sebab, pihak penafsir tidak terlihat menampilkan semangat atau konteks ke-Indonesia-an atau ke-Jawaan-nya, termasuk contoh-contoh aktual yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat Jawa (mungkin saya bisa salah baca atau kurang sempurna membaca tafsir al-Bayan ini, karena sebagai orang Madura, saya kurang menguasai bahasa Jawa).
Karena itu, sebaiknya pihak penafsir memberi nuansa ke-Nusantara-an atau ke-Jawa-an di dalamnya (mengkontekstualkan al-Qur’an) agar kitab ini menjadi “bermakna” bagi masyarakat Jawa khususnya. Ia menjadi bermakna, jika wacana tafsir itu sejalan dengan konteks Nusantara, khususnya Jawa. Tetapi, yang jelas, ini adalah tafsir al-Qur’an yang berbahasa Jawa dan ditulis oleh ulama’ Jawa untuk masyarakat Jawa.
Catatan lainnya bersifat teknis. Tafsir yang menggunakan judul bahasa Arab dan penafsirannya menggunakan bahasa Jawa ini masih bermasalah secara teknis. Di dalamnya, masih terdapat penggunaan bahasa Indonesia, seperti kata “dan”, “ditulis”, “dibaca” dan masih banyak lagi. Begitu juga masih terdapat kesalahan “editing”, misalnya kata “ditulis” masih dipisah “di tulis” atau “di woco”. Walaupun kesalahan teknis ini tidak subtantif, ia tetap mengganggu kenyamanan membaca, sebagaimana disinggung di awal.
Ala kullihal, tafsir al-Bayan karya K.H. Shodiq Hamzah Usman ini perlu diapresiasi secara kritis. Apresiasi, karena ia memberikan kontribusi positif bagi masyarakat Jawa yang awam dengan al-Qur’an dan tafsir yang berbahasa Arab; kritis, karena karya ini belum menampilkan konteks ke-Indonesia-an atau ke-Jawaan-nya. Untuk yang terakhir ini penting agar secara aksiologis, al-Qur’an menjadi “bermakna” bagi masyarakat Indonesia, Jawa khususnya. []