Tata Urut Ungkapan Al-Qur'an dan Keserasian Makna

Al-Qur’an tidak henti-hentinya menampilkan keindahan dalam bertutur dan menyajikan makna, keserasian penempatan kata perkata, kalimat perkalimat dan ayat perayat senantiasa mengundang kekaguman para pemerhati dan pengkajinya. Penempatan tata urut kata yang seakan nampak biasa dalam bacaan kita, ternyata di dalamnya mengandung isyarat penting yang menegaskan keteraturan makna yang diinginkan Al-Qur’an, sehingga rangkaian ayatnya nampak kohesif dan koheren.

Sebagian kecil contohnya, misalnya bisa kita temukan dalam ayat yang sudah biasa kita baca, firman Allah Al Baqarah 286:

رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنا

“(Mereka berdoa), “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami”

Dalam ayat di atas, Kita bisa melihat kesesuaian dan indahnya tata urut ungkapan Al-Qur’an, masing-masing kalimat dalam ungkapan

وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنا

dihubungkan dengan rangkaian ungkapan sebelumnya secara runtut.

– Ungkapan {وَاعْفُ عَنَّا} “maafkanlah kami” dihubungkan dengan kalimat pertam:

{لا تُؤَاخِذْنا}

“jangan hukum kami”

– Ungkapan {وَاغْفِرْ لَنَا} “ampunilah kami” dihubungkan dengan kalimat kedua:

{وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا}

“janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat”.

– Dan ungkapan {وَارْحَمْنَا} “dan rahmatilah kami” dihubungkan dengan kalimat ketiga dalam doa, yaitu:

{وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ}

Baca Juga:  Ketika Mereka Mempertanyakan Akhlak Penghafal Al-Qur’an

“janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya”

Letak keserasiannya adalah konsekuensi yang sesuai dengan permohonan agar tidak dihukum karena lupa atau kelalaian adalah permohonan maaf,
dan konsekuensi yang sesuai dengan permohonan agar tidak dibebani dengan beban yang berat adalah permohonan pengampunan, sedangkan konsekuensi yang sesuai dengan permohonan agar tidak diberi pikulan yang tidak sanggup dipikul adalah permohonan rahmat. Sehingga susunan kalimat-kalimat di atas nampak sangat kokoh dan saling terkait satu sama lain.

Dan ketika Allah memberi sifat orang-orang yang benar-benar beriman dalam surat Al-Anfal 2-3 dengan 3 sifat yang masing-masing mewakili aktivitas hati, aktivitas badan dan aktivitas harta, yaitu:

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙ (2) الَّذِيْنَ يُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَمِمَّا رَزَقْنٰهُمْ يُنْفِقُوْنَۗ (3)

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal. (Yaitu) orang-orang yang melaksanakan salat dan yang menginfakkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.

Allah menjelaskan dalam ayat di atas aktivitas hati mereka yang mudah gemetar hatinya, mudah bertambah imannya dan tawakal kepada Allah, aktivitas fisik mereka yang gemar shalat dan aktivitas harta mereka dengan menginfakkannya.

Setelah penjelasan ini, Allah menutupnya dengan balasan masing-masing secara runtut dan tertib dalam firman-Nya:

اُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُؤْمِنُوْنَ حَقًّاۗ لَهُمْ دَرَجٰتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَّرِزْقٌ كَرِيْمٌۚ

“Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia”.

Derajat tinggi balasan bagi aktivitas hati, ampunan adalah balasan bagi aktivitas fisik (shalat), dan rizki yang mulia adalah balasan bagi aktivitas harta (infak).

Baca Juga:  Al-Qur'an Makhluk atau Bukan?

Benar-benar sebuah runtutan tuturan yang indah dan tertib.

Contoh lain bisa kita lihat dalam ayat yang lebih singkat yaitu Al-Isro’ 29:

وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُوْلَةً اِلٰى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُوْمًا مَّحْسُوْرًا

“Dan janganlah engkau jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan jangan (pula) engkau terlalu mengulurkannya (sangat pemurah) nanti kamu menjadi tercela dan menyesal”

Dalam ayat ini, Allah melarang manusia untuk berlaku pelit dan terlalu royal (berlebihan dalam mengeluarkan uang), dan dengan bijak Allah menutup ayat ini dengan akibat yang biasanya menimpa manusia jika tidak mengindahkan larangan ini secara runtut dan tertib, yaitu: ia akan tercela (disalahkan orang-orang) jika pelit dan akan menyesali sumbangannya jika terlalu royal.

Gaya bahasa seperti ini dalam kajian Balaghah, biasa masuk pada pembahasan taqdim wa ta’khir, munasabah ma’nawiyah dan atau al-laff wa al-nasyr. []

M Afifudin Dimyathi
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang, dan Katib Syuriah PBNU.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Pustaka