Karakter budaya pesisir adalah karakter budaya yang terbuka dan dinamis. Karena itu tidak perlu heran jika sampai saat ini banyak ahli terus berdebat mengenai banyak hal terkait dengan budaya ini. Salah satu yang “unik” adalah mengenai banyaknya pengaruh “agama asing” terhadap budaya setempat. Salah satu contoh paling fenomenal adalah karakteristik budaya masyarakat kota Kudus Jawa Tengah. Kita bisa melihat “sinkretisme” budaya bukan hanya dalam bentuk dan arsitektur bangunan rumah dan tempat ibadah, tetapi juga ritual keagamaan. Bahkan konon nama Kudus berasal dari istilah Al Quds sebuah kota suci tempat asal para nabi yang lebih dikenal dengan sebutan Yerusalem.

Di kota Kudus inilah kita bisa menyaksikan sebuah masjid yang “ber-arsitektur” dan bercorak “hibrid”, memiliki ciri budaya Jawa-India-Persi-China dan Arab. Hal ini tidak mungkin terjadi jika masyarakat saat itu masih tertutup dan konservatif. Karena itulah banyak ahli yang memiliki keyakinan bahwa sejak sebelum agama-agama besar itu datang ke Nusantara. Bangsa kita telah memiliki hubungan yang erat dengan bangsa-bangsa lain yang berperadaban maju. Atau bisa jadi Bangsa kita sudah berperadaban maju sebagaimana bangsa-bangsa besar lainnya. Sebab salah satu ciri Bangsa “berperadaban” maju adalah adanya kesadaran untuk “mengkaji” secara kritis informasi pengetahuan baik itu tentang teknologi ataupun agama. Hasil “kajian” itulah yang dijadikan dasar untuk menerima atau menolak informasi itu. Atau menerima sebagian dan menolak sebagian yang lain, sebagai sebuah bentuk diplomasi atau “kompromi kultural untuk kepentingan kemajuan bersama. Karena itulah daerah-daerah pesisir banyak melahirkan tokoh -tokoh besar yang berpengaruh terhadap perkembangan peradaban.

Kita tentu masih ingat, bahwa para Wali Songo yang begitu fenomenal dalam sistem pengetahuan ummat Islam di Nusantara, juga “berasal” atau tinggal di daerah pesisir. Paling tidak mereka lebih familiar dengan budaya “maritim” ketimbang budaya “daratan”. Bahkan hingga saat ini kita masih bisa melihat secara gamblang betapa budaya pesisir tersebut telah melahirkan institusi pendidikan lokal “pesantren” yang sangat banyak di daerah pesisir Utara Jawa. Bahkan mulai dari ujung Barat pulau Sumatera sampai ujung Timur Bima, kita bisa menemukan jejak pengaruhnya yang luar biasa. Bukan hanya itu, sampai saat ini kita masih bisa melihat betapa banyak ulama-ulama yang sangat alim yang posisinya atau asalnya dari daerah pesisir. Salah satu tokoh ulama Pesisir Utara Jawa adalah Kiai Muhammad Arwani Kudus. Ulama abad 20 yang sangat besar pengaruhnya dalam proses “Islamisasi” di tanah Jawa.

Baca Juga:  KH Muhammad Yahya, Dari Angkat Senjata Sampai Perang Gerilya

Lahir pada 5 Rajab 1323/ 5 September 1905 di desa Madureksan, Kajeksan Kudus, yang berjarak tak lebih dari 100 meter dari Masjid “Menara” Kudus yang sangat ikonik. Sosok K.H. Muhammad Arwani Amin, merupakan putra kedua dari pasangan seorang “saudagar” muslim yang taat H. Amin Sa’ad dan Hj. Wanifah, yang memiliki 12 anak, 6 putra dan 6 putri. Sejak kecil kiai Arwani dipanggil kedua orang tuanya, kakak perempuan dan teman-temannya dengan sebutan “Ar” dan terkadang juga “Wan”. Sedangkan adik2 beliau sering menyebutnya sebutan “Kang Ar” dan atau “Kang Wan”. Sebutan khas Jawa yang “egaliter” dan belum secara “tegas” terpengaruh unsur budaya “pesantren”, yang menyebut anak kiai dengan sebutan “Gus”. Untuk diketahui nam beliau sebenarnya adalah Arwan dan baru berubah ditambah “i” menjadi Arwani setelah beliau pulang dari ibadah haji pada tahun 1927. Berarti kiai Arwani berhaji ketika umur 22 tahun. Ini juga menandakan bahwa beliau berasal dari keluarga yang cukup “kaya”. Setelah haji beliau lebih sering dipanggil dengan sebutan “Kang Kaji”, menandakan umur beliau saat itu masih sangat muda. Bahkan dalam masa selanjutnya beliau mendapatkan julukan “kiai” terutama setelah “menyempurnakan” sanad keilmuannya ke beberapa kiai besar di tanah Jawa. Sejak saat itu beliau dikenal dengan julukan “Kiai Sae”. Karena kebiasaan dan ketawadu’an beliau ketika “berdiskusi” dengan orang lain, beliau selalu menilai pendepat orang lain tersebut dengan ungkapan “sae-sae” (bagus-bagus). Hal ini menandakan betapa kualitas spiritual beliau yang sangat tinggi setelah pulang dari mengaji dari para ulama besar seperti KH. Hasyim Asy’ari.

#Bersambung #SeriPaijo (IZ)

Muhammad Khodafi
Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kisah