Bait-bait dari Abū Nuwās

Bagi penikmat kisah 1001 malam, Abū Nuwās adalah sosok yang tidak asing. Nama lengkapnya adalah Abū Alī al-Hasan ibn Hānī al-Hakamī (756-814 M). Abū Nuwās merupakan seorang pujangga masyhur. Ia dilahirkan di kota Ahvaz dan memiliki darah keturunan Arab dan Persia.

Tokoh Abū Nuwās dikenal sebagai sosok yang absurd, cerdik dan penuh jenaka. Misal, ketika ia berpura-pura gila karena tidak ingin menjadi Qādhī (hakim) setelah mendengar wasiat ayahnya dengan cara menaiki batang pisang seperti kuda-kudaan. Kisah ini terekam dalam kisah “Seribu Satu Malam” yang populer itu.

Berbeda halnya, jika menelisik episode hidupnya, Abū Nuwās adalah orang yang terbelenggu oleh “syahwat” nafsunya. Riwayat hidupnya pernah mengalami masa-masa “kelam” dan terjebak dalam gemerlapnya kemaksiatan.

Hidup Abū Nuwās (muda) sangat jauh dari Tuhan. Masa mudanya dihabiskan dengan penuh foya-foya. Mabuk-mabukan adalah aktivitas kesehariannya. Itu sebabnya, Abū Nuwās terkenal dengan puisi-puisi Khamriyāt-nya. Yakni puisi-puisi yang mengangkat topik khamr. Baginya, minuman keras (khamr) adalah hiburan yang dapat menyenangkan batinnya.

Tapi, semuanya menjadi berubah setelah Abū Nuwās mengalami sakit hingga ajal menjemputnya. Di akhir hayatnya, Abū Nuwās menjadi lebih religius.

Muhammad ibn Nafi’ sahabat dekat Abū Nuwās pernah bercerita begini:

Suatu ketika, terjadi pertengkaran antara saya dan Abū Nuwās sehingga kami putus hubungan. Saya kemudian mendengar kabar bahwa Abū Nuwās telah meninggal dunia.

Saya [Nafi’] pun sangat terpukul atas kematiannya. Karena saya belum sempat memperbaiki hubungan dengannya sebelum dia pergi untuk selamanya.

Tiba-tiba saya melihat Abū Nuwās dalam mimpi. “Benar ini Abū Nuwās?” tanyaku padanya. “Panggilan itu sudah tidak berlaku.” Jawabnya. “Al-Hasan Ibn Hānī?” aku bertanya lagi memastikan. “Iya, benar.” Jawabnya singkat.

Baca Juga:  Menipu Tuhan (Tafsir Ayat 8-10 Surah Al-Baqarah)

“Aku tahu tabiatmu sebelumnya, apa yang Allah lakukan kepadamu?”

“Allah telah mengampuniku sebab bait-bait yang aku nyayikan beberapa saat sebelum ajal menjemputku”, jawabnya.

“Apakah engkau menulisnya?”

“Ya aku menulisnya di sepucuk kertas dan aku tinggalkan di bawah bantal tempat tidurku saat aku sakit. Maka, Allah mengampuniku karena bait-bait itu.”

Setelah saya terbangun dari tidur, saya pun bermaksud untuk datang ke rumah Abū Nuwās karena penasaran dengan bait-bait puisi itu.

Saya pun berkunjung ke rumah Abū Nuwās dan keluarganya pun menyambut dengan hangat. “Apa benar Abū Nuwās meninggalkan sesuatu yang dia tulis sebelum wafatnya?” tanyaku kepada keluarga Abū Nuwās.

“Demi Allah saya tidak tahu. Tapi, dia pernah meminta kertas dan tinta sebelum wafatnya. Namun kami pun tidak tahu apa yang dia tulis.”

Saya kemudian meminta izin kepada keluarganya untuk masuk ke dalam kamar di mana Abū Nuwās wafat. Dan, saya pun masuk ke kamarnya setelah diizinkan.

Tampak kasurnya pun belum berubah posisinya. Saya angkat bantal pertama, saya tidak menjumpai apapun. Lalu saya angkat bantal di sebelahnya. Benar, ada secarik kertas yang bertuliskan bait-bait puisi. Begini isi bait-bait munajat Abū Nuwās yang ditulis di akhir hidupnya:

يارب إن عظمت ذنوبي كثرة

Wahai Tuhan, jika dosa-dosa besarku begitu banyak.

فلقد علمت بأن عفوك أعظم

Maka, sungguh akupun tahu bahwa ampunan-Mu jauh lebih besar.

إن كان لا يرجوك إلا محسن

Jika tidak ada orang yang memohon kepada-Mu selain orang-orang yang baik.

فبمن يلوذ ويستجير المجرم؟

Maka kepada siapa lagi seorang pendosa akan memohon pertolongan dan perlindungan.

أدعوك رب كما امرت تضرعا

Aku memohon kepada-Mu wahai Tuhan dengan penuh kesungguhan dan kerendahan hati seperti yang Engkau perintahkan.

Baca Juga:  Menipu Tuhan (Tafsir Ayat 8-10 Surah Al-Baqarah)

فإذا رددت يدي فمن ذا يرحم؟

Jika Engkaupun menolak permohonanku, maka kepada siapa lagi yang Mahapenyayang.

ما لي إليك وسيلة إلا الرجا

Aku tidak memiliki perantara apapun mendekat kepada-Mu kecuali seuntai harapan.

وجميل عفوك ثم أني مسلم

Serta keindahan ampunan-Mu dan kemudian aku berserah diri (pasrah).

Demikian bait-bait munajat pertaubatan Abū Nuwās. Bait-bait itulah yang merupakan penghambaan tertinggi seorang Abū Nuwās yang merasa dan penuh kesadaran akan dosa-dosanya. Pertaubatan itulah yang menyebabkan Abū Nuwās mendapatkan ampunan dari-Nya.

Minimal ada dua pelajaran yang dapat diambil dari kisah ini. Pertama, kita sebagai manusia biasa yang tidak luput dari dosa, maka jangan pernah berputus asa dari ampunan dan rahmat Allah. Bahkan, andai pun kita saat ini masih terbelenggu oleh nafsu dan syahwat kita sehingga masih seringkali terjerumus dalam dosa dan kemaksiatan.

Hal itu karena kemaksiatan bukanlah menjadi penghalang seorang hamba untuk dekat dengan-Nya. Sikap sombonglah (takabur) yang dapat menghalangi untuk kembali kepada-Nya. Karena perbuatan maksiat itu bisa menjadi jembatan untuk mendekati-Nya dengan pengakuan atas dosa dengan tulus dan sungguh-sungguh. Syaratnya, jangan pernah berbangga diri atas kemaksiatan yang sudah dilakukan.

Kedua, tidak merasa lebih baik dari orang lain. Bahkan kepada seorang hamba yang tampak luarnya hobi berbuat maksiat sekalipun. Karena kita tidak tahu ujung dari hidupnya, mungkin saja ia akan khusnul khatimah seperti kisah di atas, sementara kita justru sebaliknya.

Dengan demikian, kesadaran atas kelemahan diri seorang hamba sebagai pendosa sehingga merasa butuh akan kasih sayang dan ampunan-Nya adalah kunci keselamatan dunia-akhirat. Bukan kepongahan diri sebab mengandalkan amal ibadah semata. Wallāhu A’lam. [HW]

Moh Mufid
Redaktur Maqasid Centre, Penulis Buku dan Dosen Maqasid Syariah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Santri Alumni PP Mambaul Ulum Dagan Lamongan, PP Tambakberas Jombang, dan PP Salafiyah Safi'iyyah Asembagus Situbondo, Alumni Fakultas Syariah Wal Qanun Al-Ahgaff University Hadhramaut Yaman, Alumni Magister Filsafat Hukum Islam IAIN Antasari Banjarmasin dan Doctoral UIN Alauddin Makassar.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kisah