Opini

Membincang Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas Melalui Mubadalah

Kita semua sepakat bahwa Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin yaitu kehadirannya di tengah masyarakat mampu mewujudkan ketentraman dan kebahagiaan bagi seluruh manusia di muka bumi. Islam hadir dengan tidak membeda-bedakan rupa, bentuk, jenis, kalangan, etnis, suku, dan juga keterbatasan atau disabilitas.

Persoalan saat ini adalah model sosial masyarakat muslim kita yang masih memiliki ekspresi yang tidak aksesibel dan diskriminatif terhadap penyandang disabilitas. Seolah kita lupa bahwa Islam merupakan agama rahmat dan disabilitas adalah makhluk ciptaan Tuhan juga sebagai warga negara yang harus terpenuhi haknya.

Untuk mengurai model sosial semacam ini, kiranya kita perlu aktivasi paradigma yang memiliki kerangka berpikir inklusif, yaitu kerangka berfikir yang memperhatikan pemenuhan hak penyandang disabilitas. Hal ini berfungsi supaya model sosial kita bertransformasi menggantikan paradigma yang diskriminatif.

Baca juga: Mengapa Kita Harus Menghormati Penyandang Disabilitas?

Mubadalah sebagai Kerangka Berpikir

Salah satu upaya adalah menghadirkan mubadalah sebagai pendekatan dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas. Pendekatan ini pada dasarnya merujuk kepada premis ajaran Islam tentang interaksi laki-laki dan perempuan. Premis tersebut yaitu; Pertama, Islam hadir dengan seluruh teks dan ajaran ajaranya untuk laki-laki dan perempuan. Kedua, bahwa prinsip relasi antara keduanya adalah kerjasama dan kesalingan. Ketiga, konteksualisasi teks sumber keagamaan dan reinterpretasi supaya sesuai dengan visi Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Lantas bagaimana kerangka berpikir mubadalah dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas? Sejatinya mubadalah menawarkan cara pandang yang relevan dengan nilai universal Islam seperti kesetaraan (QS. al-Hujarat (4):13), dan keadilan (QS. an-Nisa (4): 135 dan QS. al-Maidah (5): 8). Mubadalah juga sebagai pendekatan yang mencari jawaban tantangan kehidupan manusia yang cenderung diskriminasi dan ketidakadilan.

Pada dasarnya mubadalah memiliki kerangka berpikir yang kuat yaitu menegakkan kemaslahatan yang merupakan implementasi nilai Islam rahmat. Mubadalah juga merupakan komplementasi dari nilai kemasalahatan itu sendiri. Dalam hal ini mubadalah menjadi sumber inspirasi untuk memahami teks dan realitas dengan premis bahwa penyandang disabilitas merupakan subjek setara harus saling dipenuhi aksesibilitasnya.

Dalam konteks pemenuhan hak penyandang disabilitas, mubadalah bertumpu pada teks al-Qur’an QS al-Isra’ (17): 70 yaitu mengenai kemuliaan manusia dan kelebihan yang sempurna sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Teks al-Qur’an lainnya yakni QS. an-Nur (24): 61 yang memberikan indikasi kesetaraan sosial dan berbuat baik terhadap penyandang disabilitas tanpa diskriminasi.

Sedangkan beberapa hadis yang menjadi sumber rujukan mubadalah adalah hadis “tidaklah sempurna iman seseorang diantara kalian semua sehingga sesuatu untuk saudaranya sebagaimana ia mencintai sesuatu itu untuk dirinya sendiri” dalam musnad Ahmad no. 14083. Kemudian hadis “Ketika kamu mencintai sesuatu untuk manusia sebagaimana kamu mencintai sesuatu itu untuk dirimu sendiri” yang merujuk pada 22558, dan 22560. Hadis tersebut menunjukkan relevansi dengan sikap saling menghormati, saling mencintai, dan saling berbuat baik antar manusia dengan tidak melihat keterbatasan fisik, sensorik, mental, ataupun intelektual.

Dengan demikian mubadalah menggunakan semangat kemaslahatan untuk meninjau pemenuhan hak penyandang disabilitas. Semangat tersebut yang menciptakan kesalingan yang seimbang antara hak dan kewajiban antar makhluk ciptakan Tuhan terlepas apapun keterbatasannya. Dengan menyasar kemaslahatan, mubadalah mengajarkan kita dalam membangun relasi antar manusia setiap individu harus saling menghormati, saling memberi akses dan saling memberi akomodasi yang layak dalam lintas sektor kehidupan.

Baca juga: Resensi Buku Fiqih Penguatan Penyandang Disabilitas

Mubadalah dalam Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas

Mubadalah sebagai pendekatan berusaha menjawab persoalan kemlompok rentan salah satunya adalah pemenuhan hak bagi penyandang disabilitas. Beberapa hak penyandang disabilitas adalah hak hidup, hak bebas dari stigma, hak keadilan dan perlindungan hukum, hak aksesibilitas, hak pelayanan publik, dan lain-lain.

Pendekatan mubadalah dalam hak hidup penyandang disabilitas adalah bahwa setiap manusia baik yang memiliki keterbatasan ataupun tidak harus bersama-sama saling menjamin kelangsungan hidup dan saling menjaga dari berbagai bentuk eksploitasi. Sedangkan hak bebas dari stigma yaitu saling menghindari dari penginaan dan pelabelan negatif. Hal ini sebagaimana premis dasar mubadalah yaitu kesalingan untuk mencapai kehidupan yang maslahat.

Begitu juga dengan hak hak keadilan dan perlindungan hukum, mubadalah memiliki pandangan bahwa setiap manusia harus saling memberlakukan sikap adil ketika berhadapan di depan hukum tanpa membeda-bedakan keterbatasan seseorang. Juga saling membantu untuk saling melindungi ketika terdapat penyandang disabilitas yang sedang berhadapan dengan hukum.

Dalam pemenuhan hak aksesibilitas dan pelayanan publik, mubadalah berpandangan bahwa menjadi keharusan untuk saling memberikan akses yang baik supaya penyandang disabilitas juga bisa merasakan manfaat fasilitas pelayanan publik. Tujuannya adalah supaya terciptanya harmonisasi masyarakat yang saling bekerjasama dan saling menolong antar sesama.

Melihat paparan diatas, penting rasanya menggunakan mubadalah sebagai pendekatan untuk pemenuhan hak penyandang disabilitas. Dengan mubadalah diharapkan mampu memperbaiki model sosial masyarakat yang masih jauh dari kata inklusif. Tidak hanya itu, mubadalah sebagai pendekatan senantiasa mengupayakan terciptanya model sosial yang selaras dengan visi Islam yakni rahmantan lil ‘alamin.

Mohammad Fauzan Ni'ami
Mohammad Fauzan Ni'ami, akrab disapa Amik. Seorang santri abadi pegiat isu Hukum Keluarga Islam, disabilitas, dan gender.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini