Opini

Zakat dalam Kebijakan Publik: Menjaga Transparansi dan Efisiensi untuk Kesejahteraan Sosial.

Usulan Ketua DPD RI, Sultan B. Najamuddin, untuk melibatkan dana zakat dalam pembiayaan program makan bergizi gratis (MBG) patut dicermati. Indonesia, dengan jumlah umat Islam lebih dari 230 juta jiwa, memiliki potensi zakat yang sangat besar. Dalam konteks kebijakan sosial, niat untuk memanfaatkan zakat guna meringankan beban anggaran negara adalah terpuji. Namun untuk menghindari potensi masalah baru, ide ini perlu dikaji secara mendalam.

Kelemahan dalam Pengelolaan Zakat di Indonesia

Meskipun zakat memiliki potensi besar, pengelolaannya di Indonesia masih jauh dari optimal. Berdasarkan data Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), meskipun potensi zakat Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 200 triliun rupiah per tahun, pada 2022 zakat yang terkumpul baru sekitar 11 triliun rupiah, jauh dari potensi yang ada. Hal ini disebabkan oleh kurangnya transparansi, distribusi yang tidak merata, serta tidak adanya mekanisme pengawasan yang jelas dalam penyaluran zakat (BAZNAS, 2022). Banyak lembaga zakat yang masih kesulitan dalam memastikan bahwa dana zakat sampai pada mereka yang benar-benar membutuhkan, seperti yang diamanatkan dalam syariat Islam: fakir, miskin, mualaf, gharim, dan lain-lain. Penyalahgunaan dana zakat juga menjadi masalah, meskipun beberapa lembaga zakat telah berusaha untuk memperbaiki sistem mereka. Oleh karena itu, jika dana zakat digunakan untuk program pemerintah seperti MBG, risiko ketidaktepatan sasaran sangat tinggi tanpa adanya sistem pengawasan yang ketat.

Ketiadaan transparansi ini tidak hanya merugikan penerima manfaat, tetapi juga dapat merusak tujuan sosial zakat itu sendiri. Dengan melibatkan dana zakat dalam program pemerintah tanpa kontrol yang jelas, kita justru berisiko tidak memenuhi kewajiban sosial kepada asnaf yang berhak menerima zakat.

Ketergantungan pada Dana Sukarela: Risiko Ketidakpastian

Sultan Najamuddin mencatat bahwa melibatkan dana zakat dalam pembiayaan program seperti MBG dapat mengurangi ketergantungan pada anggaran negara dan lebih mengandalkan kontribusi sukarela masyarakat. Meskipun ini bisa terasa seperti solusi jangka pendek, ketergantungan pada dana yang sifatnya sukarela dan bergantung pada kondisi ekonomi masyarakat dapat menimbulkan ketidakpastian. Secara historis, zakat sebagai sumber pendanaan sosial tidak selalu stabil. Saat terjadi krisis ekonomi, misalnya pada tahun 2020, BAZNAS melaporkan penurunan sebesar 10-15% dalam jumlah zakat yang terkumpul dibandingkan tahun-tahun sebelumnya (BAZNAS, 2020).

Baca Juga:  Tingkatkan Perekonomian Warga, LAZISNU Kudus Salurkan Zakat Produktif

Hal ini menunjukkan bahwa zakat bukanlah sumber pendanaan yang dapat diandalkan untuk jangka panjang. Ketika ekonomi memburuk, potensi zakat yang terkumpul bisa turun drastis, sementara kebutuhan untuk program sosial seperti MBG tetap tinggi. Oleh karena itu menggantungkan pendanaan program sosial jangka panjang kepada zakat berpotensi menciptakan ketidakstabilan dan ketidakpastian karena bisa merugikan penerima manfaat.

Tanggung Jawab Negara dalam Menjamin Kesejahteraan

Meskipun Indonesia kaya dengan budaya gotong royong yang tercermin dalam tradisi zakat, program sosial seperti makan bergizi gratis seharusnya tetap menjadi tanggung jawab negara. Gotong royong dapat berfungsi sebagai pelengkap, tetapi bukan pengganti kewajiban negara untuk memastikan kesejahteraan rakyatnya. Negara memiliki kewajiban konstitusional untuk menjamin kesejahteraan sosial warganya, sebagaimana tertuang dalam Pasal 34 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara bertanggung jawab atas kesejahteraan sosial.

Ketergantungan pada sumbangan sukarela untuk program sosial akan menciptakan ketidakpastian, apalagi jika pengelolaannya tidak transparan. Dalam jangka panjang, hal ini dapat merusak keberlanjutan program sosial dan mengalihkan fokus dari tanggung jawab negara untuk menciptakan sistem jaminan sosial yang lebih komprehensif dan adil. Sebagai contoh, negara-negara dengan sistem jaminan sosial yang kuat seperti Finlandia dan Swedia dapat menjamin keberlanjutan program kesejahteraan tanpa harus bergantung pada dana sukarela.

Solusi Jangka Panjang yang Lebih Seimbang

Untuk memastikan keberlanjutan dan pemerataan dalam program MBG, pendanaan harus tetap mengandalkan anggaran negara yang transparan, terukur, dan berkelanjutan. Pemerintah harus merencanakan kebijakan sosial dengan landasan yang kuat dan tidak bergantung pada dana yang sifatnya sukarela. Salah satu solusi yang dapat diimplementasikan adalah dengan memperkuat sistem jaminan sosial yang lebih inklusif dan universal, seperti program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang sudah terbukti efektif dalam menyediakan layanan kesehatan bagi seluruh lapisan masyarakat.

Baca Juga:  Fikih Zakat Kontemporer: Hukum Penyaluran Zakat Melalui Program Beasiswa

Sementara itu, zakat seharusnya tetap diprioritaskan untuk membantu mereka yang benar-benar membutuhkan, bukan digunakan sebagai sumber utama untuk mendanai program sosial pemerintah. Pemerintah harus bekerja sama dengan lembaga-lembaga zakat untuk memastikan bahwa pengelolaan zakat lebih transparan dan efisien, serta memastikan bahwa dana zakat digunakan untuk tujuan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat.

Kesimpulan

Melibatkan dana zakat dalam pembiayaan program makan bergizi gratis merupakan ide yang menarik, tetapi tidak tanpa risiko. Selain risiko utama yaitu: Potensi penyaluran dana zakat yang tidak tepat sasaran, sehingga mengorbankan hak hak mustahik dalam menerima manfaat dari Dana zakat, Ketergantungan pada dana sukarela berpotensi menciptakan ketidakpastian dalam pendanaan program sosial, terutama dalam jangka panjang. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan bahwa program sosial tetap didanai dengan sumber daya yang lebih stabil dan terstruktur, yakni anggaran negara yang transparan dan berkelanjutan. Zakat seharusnya tetap diprioritaskan untuk mereka yang membutuhkan dan berhak dalam pandangan syariat, terlebih syariat sudah menetapkan penerima manfaat zakat hanya tercakup dalam 8 kelompok mustahik Fakir, Miskin, Amil, Gharim (orang yang berhutang), Riqab, Muallaf, Fi sabilillah, dan anak terlantar, zakat tidak semestinya dipergunakan sebagai alternatif  dalam pendanaan program sosial pemerintah. Selain itu, adanya wacana penggunaan Zakat sebagai dana alternatif adalah momentum kita untuk menyoroti bersama sistem pengelolaan zakat harus lebih transparan dan efisien, serta melalui basis basis data penelitian yang dapat dipertanggung jawabkan baik dari sisi literatur, hingga sektor penyerapan dana Zakat dan jumlah ideal yang diterima para mustahik, hingga zakat dapat menjadi solusi, bukan hanya sebagai sempalan untuk menyambung hidup sehari. [MFN]

Referensi:

– Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). (2020). Laporan Zakat Nasional 2020. Diakses dari [https://baznas.go.id](https://baznas.go.id).

Baca Juga:  Apakah Seorang Fakir Miskin Tetap Mengeluarkan Zakat?

– Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS). (2022). Potensi dan Realisasi Zakat Nasional. Diakses dari [https://baznas.go.id](https://baznas.go.id).

– Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 34.

– World Bank. (2021). “Social Protection in Sweden: A Model for the World.” Diakses dari [https://www.worldbank.org](https://www.worldbank.org).

Muhammad Syauqi Almuhdhar
Direktur Pusat Kajian Zakat (Zakat Study Center). PhD Student in Sharia, University Kebangsaan Malaysia.

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Opini