Santri

72 tahun silam, berdasarkan hitungan masehi, 25 Juli 1947 (7 Ramadan 1366 H), KH. M. Hasyim Asy’ari wafat. Penyebabnya, antara lain, serangan jantung yang bermula dari rasa shock bercampur sedih mendengar kabar jatuhnya Kota Malang (takluknya milisi santri) ke tangan Belanda. Di film Sang Kiai (2013), detik-detik wafatnya Kiai Hasyim digambarkan dengan detail.

Kota Malang, yang merupakan benteng terakhir sekaligus basis terkuat milisi Hizbullah dan Sabilillah, pada akhirnya jatuh di hari kelima Agresi Militer Belanda I. Milisi santri mempertahankan kota ini mati-matian. Banyak syuhada gugur dalam pertempuran di berbagai titik kota ini. Sehingga, di kemudian hari, didirikan Masjid Sabilillah untuk mengenang jasa milisi yang beranggotakan para kiai ini.

Pakde saya, Pak Matrai (ayahnya Mbak Trisnaning New dan Mbak Dian Qies Dian) saat itu anggota Hizbullah, ikut bertempur di front Malang ini, pada akhirnya mundur ke selatan, kemudian bergerilya di selatan timur, lalu memutar melalui Lumajang hingga tiba di Jember. (Beliau pernah cerita kalau kawan-kawannya banyak yang gugur diberondong pesawat sesaat setelah merebut satu pos milik Belanda).

Dengan melancarkan aksi militer bersandi “Operatie Product” ini, Belanda dengan seenaknya melanggar Perjanjian Linggarjati. Aksi ini melibatkan beberapa kesatuan militer elit yang brutal seperti Korps Speciale Troepen (KST)–Kopassusnya Belanda– yang ditugaskan menggasak wilayah Sumatera Timur, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Tujuan taktis, menguasai kantong-kantong sumberdaya alam seperti perkebunan, industri strategis seperti pabrik gula, dan area logistik yang melimpah.

Secara strategis, operasi militer ini sengaja dijalankan pada bulan Ramadan 1366 H, saat umat Islam beribadah. Lebih fokus lagi, yang ingin dihancurkan oleh Belanda bukan pemerintahan RI (sebagaimana yang terjadi dalam Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta, Desember 1948), melainkan basis kekuatan milisi-milisi lokal. Khususnya Hizbullah dan Sabilillah, sebab Jawa Timur adalah basis utama dua kekuatan ini.

Baca Juga:  Membangun Kembali Sikap Nasionalisme Santri

Tengara lain, sungguhpun secara resmi operasi miter ini dijalankan sejak 21 Juli hingga 5 Agustus 1947, namun pergerakan pasukan Belanda semakin kurangajar setelah tanggal operasi berakhir, bahkan hingga awal tahun 1948.

Apabila dilihat di peta pergerakan pasukan Belanda, mereka sengaja bergerak di pedesaan, di basis rural kaum santri. Dan, faktanya banyak pondok pesantren yang dibakar pada agresi militer ini dan para kiai juga banyak yang gugur pada detik-detik ini. Misalnya, KH. Abdullah Sajjad Assyarqawy, pengasuh PP. Annuqayah Guluk-Guluk, yang gugur bersama pasukannya pada 3 Desember 1947 (20 Muharram 1367 H). Di Situbondo, pasukan Belanda menyerbu PP. Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, asuhan KH. Syamsul Arifin. Putranya yang kemudian menjadi pahlawan nasional, KH. Asad Syamsul Arifin, memilih bergerilya di kawasan Tapal Kuda.

Di Jember, ada beberapa pesantren yang “diperiksa” Belanda. Pesantren yang didirikan mbahkung saya, PP. Mabda-ul Maarif menjadi target kedua setelah PP. Assunniyyah Kencong menjadi target sebelumnya. Menyisir ke arah barat, Lumajang, Belanda kemudian disergap oleh sepasukan TNI yang dipimpin seorang ulama, Kapten Kiai Ilyas. Nama terakhir gugur dan namanya diabadikan sebagai nama salah satu jalan di kota Lumajang.

Pengasuh Ponpes Sidogiri, KH. Abdul Djalil, juga menjadi syahid setelah diberondong sepasukan Belanda saat menunaikan shalat subuh. Di fase 1947-1948, silahkan dicek, banyak pesantren yang menjadi korban kebiadaban Belanda (lebih kurang ajar lagi, PKI dan FDR menusuk dari belakang pada September 1948). Nestapa akibat Agresi Militer I dan II dipotret dari perspektif santri oleh KH. Saifuddin Zuhri dalam dua memoarnya, “Guruku Orang-Orang Pesantren” (LKiS: 2001) dan “Berangkat dari Pesantren” (LKiS: 2012). Di buku ini akan kita jumpai bagaimana para ulama, antara lain KH. A. Wahid Hasyim, membina jaringan teliksandi di Jawa Timur hingga pedalaman Jawa Tengah; KH. Masjkur dan jaringan Kementerian Agama yang tetap menjalankan amanah Presiden Sukarno untuk melayani masyarakat di tengah keterbatasan infrastuktur; hingga anekdot-anekdot ala santri di tengah kecamuk perang.

Baca Juga:  Tasawuf Millenial: Mewujudkan Ekonomi Islam Berperadaban

Agresi Militer I ini kemudian dilanjutkan Belanda dengan menggelar “Operasi Gagak” pada 18 Desember 1948 yang fokus pada penguasaan ibukota RI di Yogyakarta sekaligus menangkap para pemimpin RI. Sebuah upaya menghabisi republik yang masih terengah-engah akibat ulah PKI-FDR di Madiun, September 1948. Setahun kemudian, keruwetan bertambah lagi saat 7 Agustus 1949, SM Kartosuwiryo mendeklarasikan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia.

Wallahu A’lam bisshawab

 

Rijal Mumazziq Zionis
Pecinta Buku, Rektor INAIFAS Kencong Jember, Ketua LTN NU Kota Surabaya

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Kisah