Refleksi tentang Kesadaran Disabilitas di Kalangan Santri dan Pengasuh

Simposium Pesantren 2024 yang diadakan oleh Nahdlatul Ulama, Kementerian Agama, dan Universitas Gadjah Mada di Fisipol UGM pada 8 oktober 2024 merupakan ajang yang dinanti oleh banyak pihak, terutama mereka yang peduli terhadap perkembangan pesantren di Indonesia. Dalam simposium tersebut, berbagai diskusi penting mengemuka, mulai dari peran pesantren dalam pendidikan nasional hingga tantangan-tantangan lingkungan dan sosial yang dihadapi di tengah perubahan zaman. Salah satu aspek yang seharusnya menjadi perhatian adalah kesadaran akan hak-hak penyandang disabilitas, terutama di lingkungan pesantren. Sayangnya, berdasarkan pengamatan saya selama mengikuti simposium tersebut, tampaknya kesadaran terhadap isu ini masih sangat rendah.

Selama acara berlangsung, saya beberapa kali melihat pemandangan yang tidak menyenangkan, khususnya terkait pemanfaatan fasilitas yang seharusnya diperuntukkan bagi penyandang disabilitas. Jalur landai yang disediakan untuk pengguna kursi roda, misalnya, justru sering kali sekitarnya dijadikan tempat berkumpul oleh para santri dan pengasuh pondok pesantren. Mereka tampak asyik duduk-duduk, merokok, atau bahkan makan di kedua ujung area tersebut, seakan-akan fasilitas tersebut tidak memiliki fungsi khusus. Pemandangan ini tentu sangat memprihatinkan, karena menunjukkan minimnya kesadaran akan pentingnya aksesibilitas bagi penyandang disabilitas.

Minimnya Kesadaran Aksesibilitas di Kalangan Santri dan Pengasuh

Apa yang saya lihat di simposium tersebut seolah menjadi cerminan dari kurangnya pendidikan dan sosialisasi mengenai hak-hak penyandang disabilitas di kalangan pesantren. Meskipun pesantren memiliki peran penting dalam membentuk moral dan karakter para santrinya, tampaknya isu kesetaraan bagi penyandang disabilitas belum menjadi fokus utama. Banyak yang masih menganggap enteng fasilitas yang disediakan untuk difabel, padahal itu merupakan hak yang dijamin oleh hukum.

Fasilitas ramah difabel, seperti jalur landai dan toilet khusus, bukanlah sekadar pelengkap, melainkan kebutuhan vital bagi mereka yang memiliki keterbatasan fisik. Ketika fasilitas tersebut disalahgunakan, hal ini bukan hanya menunjukkan ketidaktahuan, tetapi juga ketidakpedulian terhadap sesama. Lebih parah lagi, tindakan ini secara tidak langsung memperlihatkan bagaimana hak-hak penyandang disabilitas kerap diabaikan, bahkan di lingkungan yang seharusnya mengedepankan nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan seperti pesantren.

Baca Juga:  Nasionalisme sebagai Representasi ‘Imaratu Al Ardl Kaum Pesantren
Dasar Hukum: UU Disabilitas dan UU Pesantren

Penting untuk diingat bahwa hak-hak penyandang disabilitas dijamin oleh undang-undang di Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, disebutkan dengan jelas bahwa penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan aksesibilitas yang sama dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pendidikan dan fasilitas umum. Pasal 24 dari undang-undang tersebut, misalnya, menegaskan bahwa setiap fasilitas publik harus menyediakan akses yang memadai bagi penyandang disabilitas, termasuk dalam hal transportasi, bangunan, dan lingkungan sekitar.

Lebih lanjut, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren juga memberikan landasan penting bagi pesantren dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang inklusif. UU Pesantren ini menekankan pentingnya peran pesantren dalam menciptakan pendidikan yang merata dan berkeadilan, yang seharusnya mencakup semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas. Oleh karena itu, tidak ada alasan bagi lingkungan pesantren untuk tidak memperhatikan hak-hak difabel, termasuk dalam hal penyediaan dan pemanfaatan fasilitas ramah difabel.

Pentingnya Edukasi dan Sosialisasi

Melihat situasi di simposium tersebut, tampak jelas bahwa masih banyak yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kesadaran tentang hak-hak penyandang disabilitas di kalangan pesantren. Pertama, perlu ada sosialisasi yang lebih intensif terkait undang-undang yang melindungi hak-hak disabilitas, terutama di lingkungan pesantren. Kedua, penting untuk memberikan edukasi kepada para santri dan pengasuh pondok pesantren mengenai pentingnya menghormati fasilitas yang disediakan untuk difabel. Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan, ceramah, atau bahkan kurikulum khusus yang membahas isu-isu disabilitas.

Tidak hanya itu, pesantren sebagai lembaga pendidikan yang berlandaskan nilai-nilai Islam harus lebih proaktif dalam mengajarkan empati dan kepedulian terhadap sesama. Kesadaran akan hak-hak difabel bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah moral dan etika. Seorang santri yang memahami nilai-nilai Islam sejati seharusnya memiliki empati yang tinggi terhadap sesama manusia, termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik.

Baca Juga:  COVID-19 di Pesantren Terus Meluas, Negara Harus Hadir Secara Terpadu

Sebagai peserta yang hadir dalam Simposium Pesantren 2024, saya merasa perlu menyuarakan kekecewaan terhadap minimnya kesadaran akan isu disabilitas di kalangan pesantren. Terlepas dari berbagai diskusi positif yang terjadi di dalam simposium, realitas di lapangan masih menunjukkan adanya ketidakpedulian terhadap hak-hak penyandang disabilitas. Fasilitas yang disediakan untuk mereka justru digunakan untuk kegiatan yang tidak sepatutnya, seperti merokok dan makan.

Mungkin, sebagai solusi, jalur landai difabel tersebut sebaiknya dilabeli dengan tulisan besar: “Bukan Tempat Nongkrong!”. Barangkali dengan pendekatan yang lebih terusterang seperti ini, kesadaran mereka bisa terbangun—walaupun ironisnya, santri seringnya memerlukan pendekatan humor untuk menyampaikan sesuatu yang seharusnya sudah menjadi pemahaman dasar.

Aida Mudjib
Santriwati, Penulis Antologi Sahabat Inspirasi dan Aktivis PwD

    Rekomendasi

    Tinggalkan Komentar

    More in Berita