Kegagalan PMII Meredam Konflik

Jika Mahbub Djunaidi dan tiga belas tokoh pendiri PMII melihat konflik di setiap kongres maka saya yakin kekecewaan mereka amat besar.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) bukan organisasi kemarin sore, sejak dilahirkan pada tanggal 17 April 1960 terhitung sudah 64 tahun usia organisasi ini, dapat kita katakan usia yang matang untuk sebuah langkah kedewasaan.

Penyebab berdirinya PMII diantaranya. Situasi politik bangsa Indonesia dalam kurun waktu 1950-1959, tidak menentunya sistem pemerintahan dan perundang-undangan yang ada,  pisahnya NU dari Masyumi, dan tentu ketidakpuasan pemuda pada organisasi yang saat itu ada. Seperti HMI yang lebih dulu lahir dan Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama.

Sependek pengetahuan penulis Pergerakan ini beberapa kali sering menuai konflik terutama dalam tubuhnya sendiri. Yang baru saja terjadi konflik di Palembang. Ini bukan sekedar konflik tapi penulis ingin menyebutnya dengan kerusuhan yang sudah bukan barang baru di sebuah organisasi mana pun. Adu mulut, saling lempar kursi bahkan tidak sedikit yang kontak fisik. Padahal mereka dari rahim yang sama.

Api Kepentingan

Sejak Pertama kali saya Mabapa hingga PKD, hemat saya PMII tidak punya kepentingan apapun kecuali satu hal, menyuarakan akar rumput. Kesejahteraan masyarakat kita baik di pedesaan atau pun diperkotaanlah yang menjadi kepentingan kita, tidak ada yang lain. Itu yang sering kami kaji di tingkat rayon bahkan komisariat.

Sampai akhirnya muncul suara lantang “PMII isinya Politik doang”. Ucapan ini sering kali saya dengar baik dari ruang kamar komisariat bahkan dari aktivis mahasiswa lain. Tak usai disitu, suara itu semakin banyak hingga pada asumsi “ Orang-orang yang bagus atau pintar itu bukan dibentuk oleh kaderisasi PMII, namun memang sebelumnya dia sudah terbentuk, PMII hanya mengakui bahwa itu kadernya”.

Baca Juga:  PMII, NU dan Peta Gerakan Islam Pascareformasi

Mendengar dua hal tersebut saya geram dan tentu mustahil itu ada di organisasi yang sudah memiliki kurikulum kaderisasi yang begitu baik. Belakangan ini dua hal itu menjadi wujud nyata.

Hal pertama yang membuat saya atau bahkan beberapa kader kecewa adalah pidato terakhir ketua umum pergerakan mahasiswa Islam Indonesia yang justru memihak pada sebuah nama. Tentu kita semua sadar dibalik layar ada transaksi antar kedua nama itu. Melalui tulisan singkat ini siapa pun yang membaca, harap sampaikan ke Gus Abdullah Sukri “PMII not for sale”.

Yang kedua, berbagai problematika di kongres Palembang begitu banyak dari SK kepengurusan, hingga laporan pertanggungjawaban yang tidak profesional dan jauh dari kata transparansi. Hal ini yang membuat kongres tak kunjung usai dan semakin lambat membuat suatu perubahan atau paradigma untuk masa depan.

Islah Melalui Ego

wajarlah jika pemuda memiliki ego, tapi bagi saya ego sentris yang berhujung kontak fisik adalah tindakan pengucut, yang barangkali tidak pernah dicontokan oleh para pendiri PMII bahkan para pemimpinan terdahulu.

kini dalam diri PMII sedang tidak baik baik saja. setiap kongres mahasiswa apa pun itu nama organisasinya konflik tentu tidak bisa terelakan. saya sebagai pengamat dari luar tentu melihat ini seperti hal yang tidak perlu terjadi, teringat kata Gus Dur bahwa “DPR seperti taman kanak-kanak”. Tentu saya tidak ingin mengatakan hal demikian untuk sebuah organisasi yang saya sayangi ini.

Kita akan menjadi minoritas jika kepentingan kita tidak terwujudkan. Tidak ada ihwal apa pun di dunia ini tanpa politik begitu kiranya sebuah pepatah. Saya tidak ingin mengelakan itu, inti dari tulisan ini ialah bagaimana sebagai kader dari rahim yang sama untuk meredam konflik dengan rekonsiliasi ego diri kita sendiri.

Baca Juga:  Konflik Sosial Keagamaan di Masa Pandemi Covid 19

Ahli psikologi sosial, Dr. John Bowlby, dalam teorinya tentang keterikatan, menjelaskan bahwa ego atau kebutuhan pribadi seringkali berperan dalam interaksi sosial dan proses resolusi konflik. Dalam situasi konflik, individu cenderung mempertimbangkan bagaimana penyelesaian tersebut mempengaruhi kepentingan dan kesejahteraan pribadi mereka. Bowlby menyebutkan bahwa pengakuan terhadap ego individu bisa membantu menciptakan kesepahaman yang lebih mendalam dan memfasilitasi kompromi yang lebih efektif.

Menurut Dr. Carl Rogers, psikolog humanistik, memahami dan menghargai ego atau perspektif individu sangat penting dalam proses islah. Pentingnya empati dan keterbukaan dalam komunikasi, yang memungkinkan individu untuk mengatasi perbedaan dan mencapai resolusi yang saling menguntungkan. Dengan menempatkan kepentingan pribadi dalam konteks yang lebih luas, proses islah dapat menjadi lebih inklusif dan berkelanjutan.

Secara keseluruhan, mengakomodasi ego dalam proses islah tidak berarti mengabaikan kepentingan kolektif, tetapi memastikan bahwa kebutuhan dan perspektif individu dipertimbangkan, sehingga menciptakan solusi yang lebih adil dan memuaskan semua pihak.

Memang betul tidak ada tokoh yang lahir kembali, jadi di era saat ini tidak mungkin ada yang menyatakan “tidak ada jabatan di dunia ini yang harus dipertaruhkan mati-matian” begitu kata Gus Dur. Demikian pula dengan Mahbub Djunaidi yang makamnya bergetar karena bising ricuh kongres yang tak pernah usai.

“Kamu lihat monyet yang paling besar dan paling beringas itu? Dialah kepala, pemimpin monyet-monyet lain di kandang itu. Dia menjadi kepala dan menjadi pemimpin itu bisa disebabkan beberapa faktor. Bisa karena dia paling tua, bisa juga karena paling pintar. Tetapi yang jelas karena dia paling besar, paling kuat, paling perkasa, paling mampu membanting monyet-monyet lainnya yang tidak menurut. Alasan takutlah yang membuatnya bisa menjadi pemimpin. Monyet tidak pernah mengenal sistem pemilihan seperti halnya bangsa manusia. Ini kedunguan warisan,”. Ini kata Mahbub sebagai akhir dari tulisan ini. Apapun ketidakwarasan disetiap kongres tidak patut diwariskan kepada generasi selanjutnya, begitu sahabat sahabati, salam pergerakan!. []

Wahyu Hidayat
Anak kesayangan mamah dan bapak cita cita disayang mertua, kandidat magister UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Office boy di Majalah Tebuireng. Dapat dijumpai di Istagram @whynot_wh27.

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini