Nama lengkapnya Muhammad bin Hibban bin Ahmad bin Hibban Abu Hatim at-Tamimi al Busti as Sijistani. “At Tamimi” adalah nisbat kepada Tamim, moyang kabilah arab yang terkenal dan yang bersambung nasabnya sampai kepada Adnan. Dengan demikianIbnu Hibban adalah seorang keturunan arab asli yaitu Arumiyah, hanya saja ia dilahirkan di Sijistan (wilayah Afghanistan).
Ibnu Hibban dilahirkan pada tahun 280-an Hijriyah. Tidak seorangpun menyebutkan tahun kelahirannya secara pasti. Akan tetapi mereka (ulama ahli sejarah) sepakat bahwa ia meninggal pada tahun 354 H pada usia 80 th. Beliau termasuk ulama imam Hadist yang otoritasnya diakui umat Islam, Ibn Hibban dalam pembukaan salah satu kitab karyanya at-Tsiqat, menuliskan sebagai berikut: Dari Sayidah Aisyah, dia berkata; ketika saya melihat Nabi Saw dalam keadaan baik, saya berkata:
“Wahai Rasulullah, doakan saya”.
Lalu Nabi berdoa :
اللهم اغفر لعائشة ما تقدم من ذنبها وما تأخر، وما أسرت وما أعلنت
Allahummaghfir li ‘aa-isyata ma taqaddama min zanbihaa wa maa ta-akhkhara wa maa asarrot wa maa a’lanat.
“Ya Allah, ampuni dosa Aisyah yang dahulu dan yang kemudian, yang sembunyi dan yang terang-terangan”.
Kemudian Aisyah teretawa hingga hingga kepalanya terjatuh dipangkunnya.
Rasulullah Saw berkata kepadanya; “Apakah doaku membuatmu senang?’
Aisyah menjawab:” Bagaimana saya tidak senang dengan doamu”.
Rasullah kemudian berkata: “Demi Allah, itu adalah doaku untuk umatku setiap selesai shalat”.
Adalah Sayyidah Aisyah salah satu perawi hadits yang mampu menyelaraskan antara sisi hafalan, pemahaman, dan penerapan. Kemampuan menyelaraskan antara hafalan, pemahaman, dan penerapan ini, secara tidak langsung menggambarkan sisi “intelektualitas” pemegang hadits tersebut.
Ada sebuah hadits yang diriwayatkan Zaid bin Tsabit ra, ia mendengar bahwa Rasulullah bersabda:
“Semoga Allah mencerahkan wajah seseorang yang mendengar dari kami sebuah hadits, lalu menghafalnya, hingga dia menyampaikannya, maka bisa jadi dia membawa fiqh (meriwayatkan hadits) kepada orang yang lebih faqih (paham) darinya. Dan bisa jadi seorang pembawa fiqh (perawi hadits) tidak paham (terhadap hadits yang diriwayatkannya)“. (HR. Abu Dawud, Ahmad, At Tirmidzi, Ibnu Majah).
Sebenarnya isi hadits di atas tidak berkaitan “secara langsung” dengan Sayyidah Aisyah. Akan tetapi, hadits di atas dapat mewakili penilaian terhadap “intelektualitas” yang dimilikinya (Aisyah) saat menyampaikan fatwa.
Imam al Qadhi ‘Iyadh (w. 544 H) menjelaskan suatu kaidah sebagai berikut:
“Ketahuilah bahwa cara meriwayatkan hadits, cara-cara mendapatkan hadits dan kaidah-kaidah periwayatan ada bermacam-macam dan hal itu terkumpul dalam 8 macam dan setiap macam memiliki cabang-cabang dan ranting-ranting. Sebagian (cocok) dari sisi riwayat dan pengamalannya. Sebagian lainnya (berbeda) dari sisi riwayat dan pengamalannya, atau di dalam salah satunya“.
- Pertama, dari sisi sima’ (cara mendengar) lafadh gurunya.
- Kedua, dari sisi pembacaan gurunya.
- Ketiga, dari sisi munawalah (cara memperolehnya).
- Keempat, dari sisi kitabah (penulisannya).
- Kelima, dari ijazah.
- Keenam, dari sisi pemberitahuan kitab sumber hadits.
- Ketujuh, dari sisi wasiyah agar menuliskannya.
- Kedelapan, dari sisi berhenti pada tulisan perawi saja”.
Apa yang dijelaskan oleh Imam al Qadli Iyadl merupakan praktik “Tahammul Hadits” (keberadaan seseorang dianggap sebagai pembawa riwayat hadits, termasuk di antaranya caranya mendapatkan sebuah hadits).
Ada 8 cara mendapatkan hadits, yang mana kita tidak “berkonsentrasi” pada penjelasannya, melainkan kita berkonsentrasi pada Aisyah ra.
Sebagaimana diketahui bahwa Aisyah merupakan bagian dari pembawa hadits, bahkan hadits infirad fi riwayat al hadits (bersanad sendirian). Karenanya, tidak heran bila kemudian ia banyak menjadi rujukan dari para sahabat senior lainnya dalam persoalan bagaimana memahami dan melakukan penyimpulan hukum.
Intelektualitas Aisyah ra yang tinggi ini dapat diukur dari banyak kriteria, di antaranya banyaknya fatwa hukum ulama fiqih yang dilandaskan pada hadits yang diriwayatkan olehnya. Karena hukum fiqih merupakan hukum cabang, maka landasan istinbath hukum yang secara langsung disandarkan pada pengakuan riwayat hadits tertentu dan berjalur sanad tertentu pula, menandakan bahwa pemilik sanad pertama merupakan orang yang dlabith (baca: bagus) dalam hafalan dan pemahaman.
Adapun peran Sayyidah Aisyah ra terbilang cukup menonjol. Pada masa kekhalifahan Umar bin Khaṭṭab, Aisyah adalah termasuk dalam kelompok para sahabat yang diberi “izin resmi” untuk memberikan fatwa.
Bahkan, jumhur (mayoritas) ulama aswaja berani menyatakan bahwa, ada kurang lebih seperempat dari produk hukum fiqih dikalangan ulama, adalah bersumber dari fatwa Sayyidah Aisyah ra.
Dalam istidrak (kritik) hadits, Aisyah sering menolak dan menganggap bahwa hadits yang diriwayatkan oleh sahabat yang lain adalah bertentangan dengan dalil-dalil lain yang lebih kuat.
Imam Suyuthi di dalam Ainu al lshabah fi Istidrak ‘Aisyah ‘ala Shahabah menuliskan ada 53 “istidrak” Aisyah ra terhadap para sahabat radiyalallahu’anhu. Secara tidak langsung, kritik (istidrak) yang disampaikan oleh Ummu Mukminin Aisyah ra menggambarkan betapa “tingginya intelektualitas” Aisyah.
Misalnya seperti kritik yang terjadi pada kisah ketika Ibnu Umar, serta beberapa sahabat lain meriwayatkan sabda Rasulullah:
إن الميت ليعذب ببكاء أهله
“Sungguh, seorang orang meninggal (mayit) akan diazab sebab tangis keluarganya.”
Ketika hadits ini disampaikan kepada Sayyidah Aisyah, beliau justru berkata: “Semoga Allah mengampuni Ibnu Umar!”.
Menurutnya, Ibnu Umar benar telah mendengar hadits ini, akan tetapi ia tidak mengingatnya dengan baik. Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa suatu hari Rasulullah berjalan melintasi jenazah seorang wanita Yahudi yang sedang ditangisi oleh keluarganya. Lalu beliau bersabda:
إنهم يبكون عليها وإنها لتعذب في قبرها
“(Heran), mereka menangisi jenazah yang dikubur, padahal jenazah itu sedang disiksa di dalam kuburnya.”
Jadi, bukan sebab tangis kematian keluarga yang menyebabkan disiksanya seorang mayit. Melainkan karena mayit itu sendiri sebagai seorang yang berhak atas siksa.
Adapun hadits itu, sebenarnya menceritakan tentang “keheranan” Baginda shallallahu ‘alaihi wasallam mengenai keluarga mayit yang menangisi kepergiannya, padahal justru yang meninggal adalah orang dengan amal yang buruk yang sedang mendapat siksa. Itulah “bagian” dari kritik Aisyah ra terhadap sahabat periwayat hadits.
Perbedaan dalam praktik tahammul, menjadikan berbeda dalam praktik hukum. Itulah standar tahammul Sayyidah Aisyah radliyallahu ‘anha di kalangan perawi hadits yang lain. (Taqrib ar Rawwy). []
والله اعلم
[…] Baca juga: Siti Aisyah, Perawi Hadis dan Mufti Perempuan yang Cerdas […]