Hidup di era “keterlimpahan informasi”, sebagaimana yang dikatakan oleh Ulil Abshar Abdalla dalam sebuah artikel, bagaikan pisau yang bermata dua bisa menjadi berkah untuk seseorang menjadi lebih mudah mengakses suatu pengetahuan, tetapi juga bisa menjadi bencana apabila kita tidak arif dan bijaksana dalam menggunakannnya.
Kang Ulil beberapa hari yang lalu menuliskan tentang “epistemologi ngelmu syahadat” dengan sangat jelas menerangkan bahwa pentingnya membangun sebuah fondasi keilmuan yang mandiri di dalam bangunan keilmuan Islam di zaman sekarang. Dari proses tersebut, yang dapat ditangkap kita harus rela bersusah-susah payah dalam mewujudkannya. Diibaratkan Kang Ulil, dalam proses pencarian hakikat ilmu tersebut seperti seseorang yang sedang berpuasa dan bangunan epistemologi ilmu tersebut bagaikan “berbuka puasa”.
Hal ini saya rasa sangat dekat sekali pemahaman kang Ulil tentang proses pencarian Ilmu yang telah dipraktekkan oleh santri di pondok pesantren. Mereka rela bersusah payah puluhan tahun untuk mendapatkan ilmu. Bukan sekedar mendapatkan pengetahuan saja, apalagi hanya demi secarik ijazah, para santri pada umumnya rela menghabiskan masa mudanya hanya untuk mengejar “ilmu”-terutama adab- di pondok pesantren.
Semua hal itu demi mendapatkan sanad keilmuan dari sang Kiai, dan mawas diri untuk menjaga marwah pondok pesantrennya, terlebih marwah sang Kiai. Mereka rela menunda kepulangan mereka ke kampung halamannya, demi memperdalam keilmuannya yang dirasa semakin hari justru mereka rasa semakin kurang. Mereka sangat berhati-hati dalam menyebutkan dalil dan menafsirkan sebuah ayat suci Al-Quran –bukan hanya sekedar memperdalam ilmu tajwid-nya semata, bahkan beberapa ponpes tertentu mewajibkan santrinya menghafal Al-Quran-.
Sanad keilmuan, bagi seorang santri bukan sekedar untuk mendapatkan legitimasi keilmuannya, tetapi juga untuk menundukan semua pengetahuannya bukanlah semata-mata hal yang mereka miliki, tetapi hanyalah sebagai penyambung risalah kenabian Nabi Muhammad yang bersambung sampai kepada gurunya. Dengan kata lain, bahwa sanad keilmuan yang seorang santri miliki bukan semata sebagai adu dalil, tetapi demi menjaga “kemurnian” ajaran Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad dan justru demi menghindari bid’ah.
Menjadi aneh memang –cenderung ironis-, ketika ada seorang ustaz (baca: Evie Effendi) mendaku bahwa keilmuannya didapatkan bukan karena berguru kepada salah satu guru saja, tetapi dengan “angkuh dan sombong” mengatakan bahwa pengetahuannya didapatkannya dari belajar Islam otodidak membaca koran, membaca majalah, dan melihat YouTube. Bahkan dengan nada angkuh pula mengatakan beliau tidak memiliki guru dengan alasan “repot atau susah (rariweuh)” apabila berguru kepada seorang guru zaman sekarang, karena mereka cenderung bersifat sombong katanya. (islamidia.com/evie-effendi-saya-belajar-Islam-otodidak/12/8/2018).
Apabila ditelaah lebih mendalam, bukankah terjadi 2 kesalahan fatal yang di lakukan oleh “ustaz evie effendi “ ini. Pertama, beliau melakukan bid’ah dalam agama Islam, di mana berilmu tanpa sanad. Padahal apabila kita ketahui, manhaj yang dianut oleh ustaz Evie sangat melarang hal tersebut. Beliau mengatakan tidak perlu bersanad dalam mengetahui pengetahuan agama, merupakan hal yang fatal, di mana hal tersebut bukanlah sesuatu yang dilakukan oleh nabi Muhammad dan para sahabatnya –Manhaj-Salafi wahabi sendiri selalu menggaungkan kembali kepada sunah Nabi dan Al-Quran-.
Nabi Muhammad apabila kita telisik riwayatnya, belajar salat, dan membaca Al-Quran saja memiliki sanad keilmuan kepada Malikat Jibril, tidak langsung kepada Allah SWT. Di dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa pada periode tertentu Nabi Muhammad menyetorkan bacaan Al-Qurannya kepada Malikat Jibril untuk dikoreksi. Kemudian, dari sini Nabi Muhammad juga mewajibkan para sahabatnya –termasuk Zaid bin Tsabit sekretaris Nabi Muhammad dalam pencatatan Al-Quran- untuk terus menyetorkan hafalan-hafalan mereka agar tidak menyimpang. Dari sinilah kemudian, sanad terus bersambung kepada Tabi’in, Tabi’in Tabi’it hingga melahirkan para Imam Qi’rah Sab’ah.
Lalu siapakah kita apabila mengatakan kita tidak perlu bersanad dalam berilmu, jika Nabi Muhammad dan para Sahabatnya saja bersanad dalam memperoleh Ilmu. Apakah kita sudah lebih hebat dari nabi Muhammad?. Bukankah kita pantas dicap sombong dan angkuh jika berbuat demikian, bahkan kita pantas disebut ahli bid’ah karena melakukan hal yang tidak Nabi Muhammad lakukan?.
Bukan bermaksud merendahkan kita sesama muslim –saya menganggap manhaj salafi Wahabi masih muslim meskipun bagi sebagian orang secara akidah mereka berbeda atau bahkan mereka yang menganggap saya berbeda akidah- tetapi meluruskan sebuah kesalahan memang harus dilakukan demi terjaganya “kemurnian” risalah kenabian, sebagaimana yang teman-teman manhaj-salafi wahabi cita-citakan.
Kedua, kesalahan yang Ustaz Evie lakukan dari pernyataan dengan mengatakan tidak perlu berguru kepada siapapun karena zaman sekarang para guru “agama” semua terlalu sombong dengan ilmunya. Nah, ini sebuah kalimat yang paradoks bagi saya. Karena dengan mengatakan hal tersebut secara tidak langsung ustaz Evie sendiri telah melakukan kesombongan yang lain, dengan tidak mau menundukkan keilmuannya kepada seorang guru.
Logikanya bagaimana beliau mengetahui ajaran Islam apabila tidak mendapatkannya dari seorang guru. Bukankah Koran, majalah, youtube yang beliau tonton tersebut juga aktor yang pantas disebut sebagai guru, atau di Koran, majalah dan yang tampil di YouTube tersebut adalah Nabi Muhammad? Hal ini absurd bagi saya, dan sulit untuk memahaminya.
Kesombongan ustaz Evie di atas diperparah dengan khas ajaran Manhaj Salafi Wahabi yang beliau anut, ingin belajar langsung kepada Nabi Muhammad –tentu saya paham maksud beliau al-Hadis- dan Al-Quran. Tetapi bukankah sebuah hadis diajarkan juga melalui sanad keilmuan, bahkan Imam Bukhari dan Imam Muslim menggunakan kriteria yang sangat ketat perihal sanad tersebut.
Memang mempelajari ajaran agama Islam bukan seperti mempelajari ilmu membuat menu kuliner tentunya, yang tidak memerlukan sanad keilmuan, dan penuh improvisasi. Karena improvisasi di dalam ajaran agama Islam sangat dilarang oleh agama Islam. Tentu Ustaz Evie sangat mengetahui dalilnya, karena dalil ini sangat populer di Manhaj ustaz Evie.
Akhir cerita dari pengingkaran bersanad -atau dalam istilah ustaz Evie belajar agama Islam secara “otodidak”- sebagai mana kita ketahui. Beberapa kesalahan fatal yang beliau lakukan dan menjadi trending di mana-mana (memang secara branding karir keustazan akhirnya beliau diuntungkan tetapi secara umum ajaran agama Islam dirugikan). Di antaranya dengan menafsirkan surat Ad-Duha yang diterjemahkan mengatakan bahwa Nabi Muhammad pernah tersesat, padahal tidak ada satupun ulama tafsir yang mengatakan hal tersebut.
Di mana di kalangan Islam Sunni –bahkan manhaj salafi wahabi mendaku dirinya Sunni- bahkan kalangan Syi’ah mempercayai bahwa Nabi Muhammad merupakan seseorang yang maksum (bebas dari kesalahan dalam menyampaikan risalah). Dari mana pendapat tersebut beliau dapatkan, tentunya dari belajar Islam secara otodidak tadi. Wa allahu ‘alam.
Kesalahan selanjutnya, yaitu mengatakan bahwa banyak amalan Islam tradisional di Indonesia banyak sekali yang menyimpang dan bid’ah. Hal ini karena beliau “secara otodidak” pula mungkin, tidak menemukan dalil tersebut. Atau mungkin beliau “kurang memahami” bahasa Arab, sehingga tidak menemukan dalil yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, atau mungkin beliau kurang memahami dalil yang digunakan oleh ulama Islam tradisional dalam melalukan amaliyah. Wa allahu ‘alam.
Kemudian yang terakhir dan semoga menjadi yang terakhir, akibat ustaz Evie yang mengingkari sanad keilmuan karena hanya ingin bersanad “langsung” kepada Nabi Muhammad, yaitu viralnya video Ustaz Evie Effendi membimbing jamaahnya membaca Al-Quran dengan tajwid “berantakan” sekali. Bahkan di desa sekalipun anak-anak SD tidak pernah membaca Al-Quran dengan demikian karena diajari ilmu tajwid oleh gurunya berdasarkan kitab-kitab ulama terdahulu.
Saya dengan yakin mengatakan bahwa hal tersebut fatal kesalahannya, karena apabila Ustaz Evie effendi ketahui, makna kata dalam bahasa Arab sangat dipengaruhi oleh panjang pendeknya kata bukan sekedar benar bunyinya saja. Wa allahu ‘alam. [HW]