Warisan yang Agung kitab Minahu As Saniyah

Syekh Abdul Wahab As Sya’raniy, lengkapnya Abdul Wahab bin Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Musa Asy Sya’rani Al Anshari Asy Syafi’i Asy Syadziliy Al Mishri. Lahir di Mesir. Beliau terkenal sebagai tokoh sufi dan pengikut Thariqah Asy Syadziliyah, serta masyhur bahwa beliau seorang wali qutub di zamannya. Lazim jika beliau beserta banyak karya besarnya, menjadi rujukan ketika muncul sebuah permasalahan kecil maupun besar.

Salah satu kitab karangan Syekh Abdul Wahab As Sya’raniy ini ‘Minahu As Saniyah’, meskipun kitab ini tergolong memiliki fisik tipis—tidak seperti kitab beliau lainnya (Mizan Al Kubro, dll), namun memuat pelajaran yang secara komprehensif dan menyeluruh pada aspek-aspek keilmuan agama Islam. Tidak hanya berbicara tentang tasawuf atau akhlak dan adab, tetapi juga fikih, tauhid. Tetapi melihat latar belakang beliau sebagai seorang tokoh sufi, sepertinya dalam kitab ini beliau menekankan pelajaran tentang tasawuf (adab dan akhlak).

Beliau mengemas isi kitab ini, ke dalam bentuk yang sederhana mudah dipahami. Wasiat pertama (عليك أيها الأخ بالاستقامة في التوبة) yang artinya pelajaran tentang anjuran bagi setiap muslim dan muslimah, agar senantiasa istikamah (konsisten) bertaubat kepada Allah Swt. Beliau tidak hanya memberikan anjuran, tetapi juga mengupas tuntas mengenai taubat. Mulai dari definisi, hingga tata cara yang benar untuk bertaubat. Memperlihatkan bahwa syekh Asy Sya’rani sangat telaten dalam menuliskan setiap detail pelajarannya. Selain itu, pemilihan kosakata kitab ini yang ringan dan tidak pelik memudahkan pembaca untuk mempelajarinya.

Di sisi lain, bagi saya ada pesan tersirat (hikmah) dibalik pelajaran taubat, yang taruh di bagian awal kitab oleh Syekh Sya’rani. Yaitu mengingatkan kepada semua muslim atau muslimah umumnya dan para santri (pembaca) khususnya, bahwa betapa mereka (semua orang Islam) pasti pernah melakukan dosa (bermaksiat)—kecuali nabi Muhammad Saw—kecil maupun besar. Maka dari itu, diharapkan bagi pembaca sekalian agar senantiasa ingat, kemudian bertaubat (meminta ampunan Allah Swt).

Baca Juga:  Al-Mahshul Fi Ilm Al-Ushul Fakhri Al-Razi (2)

Hal ini membuktikan bahwa taubat merupakan hal yang sangat penting untuk dikerjakan bagi setiap orang Islam, agar hati mereka menjadi bersih dari dosa serta dekat dengan sang pencipta.

Setelah menjelaskan perihal seluk-beluk taubat, selanjunya beliau menukil pendapat-pendapat para ulama yang sudah jelas kealimannya, dengan tentu tujuan untuk memperkuat wasiatnya tentang istikamah bertaubat dan fokus melakukan pendekatan kepada Allah Swt. Kemudian bilamana hati seorang hamba sudah bersih dan dekat dengan Allah, maka ia akan menyandarkan segala tindakannya hanya karena Allah semata. Dengan begitu ia akan menjadi seorang yang zuhud (tidak bergantung pada dunia) atau cinta dunia yang sifatnya sementara.

Ketika seseorang mampu melakukan hal di atas, maka ia sudah berhasil mendapatkan tempat yang mulia di sisi-Nya. Seperti yang dikatakan oleh Sayyid Ali Al Khowas di halaman 3. “Man istiqamaa fii taubatuhi wa zuhdi fii ad dunya, faqad intowaa fiihi saairi al maqaamat wa al ahwali as shalihah.” Artinya (waallahu a’alam bil murodi): “Barangsiapa melanggengkan (mengkonsistenkan) dirinya dalam bertaubat dan zuhud (meninggalkan hal-hal yang bersifat keduniawian) di dunia, maka sungguh ia telah membawa dirinya dalam segala makam (kedudukan mulia) dan perbuatan-pebuatan yang baik.”

Dari sedikit penjelasan isi kitab syekh Asy Sya’rani di atas, menerangkan bahwa kehadiran kitab ini adalah untuk membantu kita membersihkan hati, agar tidak terlampau jauh nyeleweng dari hal-hal yang tidak disenangi Allah Swt. Serta untuk mengetahui juga mengamalkan segala hal termasuk taubat, di mana hal tersebut harus dilakukan oleh setiap orang Islam lebih-lebih bagi seorang ahli ilmu.

Sebab belum bisa dipastikan—meskipun seorang ahli ilmu—bahwa ia memiliki hati yang bersih dari hal-hal keduniawian (zuhud). Pasalnya zaman kini banyak orang yang ahli dalam bidang ilmu tertentu, namun ilmu tersebut justru membawanya kepada hal-hal yang buruk dan mengindahkan ibadah wajib yang diperintahkan oleh Allah Swt. Maka kehidupan seseorang akan beruntung, jika sepanjang usia dan tindakannya tidak melupakan taubat kepada Allah Swt.

Baca Juga:  Jadawilul Fushul dan Al Mukhtasharul Lathif

Pelajaran atau wasiat selanjutnya adalah mengajarkan kepada kita agar selalu memperhatikan serta melaksanakan perkara sunnah, di samping menunaikan perkara yang wajib. Diibaratkan seperti seseorang yang sedang berdagang, bahwasanya perintah (ibadah) yang wajib merupakan modal dan perkara atau hal-hal yang sunnah ialah untung bagi pelakunya. Maka siapa yang banyak melakukan kesunnahan otomatis untungnya besar. Syekh Asy Sya’rani juga mewanti-wanti kita supaya takut dan menjauhi terhadap perkara yang haram.

Beberapa perkara yang harus dijauhi oleh para santri dalam kitab ini, seperti memakan barang yang syubhat (belum diketahui kadar halal atau haramnya) dan haram, karena barang-barang tersebut akan membuat si pelaku mati hatinya. Jika hatinya sudah mati maka akan sulit untuk menerima hidayah (petunjuk) dari Allah Swt. Kemudian riya’ (sombong), ghibah (membicarakan aib orang lain), suuzhan (berburuk sangka terhadap orang lain), syirik (menyekutukan Allah), berbuat kerusakan, selalu kenyang, banyak tidur, dan senang maksiat. Semua hal ini, dibahas dan diulang-ulang oleh imam Sya’rani dengan tujuan agar kita selalu ingat supaya tidak melakukan hal-hal tersebut.

Sebagai penutup dalam kitab ini, syekh Asy Sya’rani mengajak kepada pembaca sekalian, terutama para penutut ilmu agar selalu menguatkan zikir (mengingat-ingat) kepada Allah Swt—dimanapun, kapanpun, dan dalam setiap keadaan. Dan kalimat zikir yang paling utama menurut para salik adalah ‘laa ilaaha illa allah’.

Di sana dikatakan bahwa “Anna bidzikri allah ta’alaa tadfa’u al afat” dan ditambahkan oleh imam Dzu Nun Al Mishri (semoga Allah Swt merahmatinya) berkata: “Barangsiapa yang berzikir kepada Allah, Allah akan menjaganya dari segala sesuatu”.

Wasiat ini, tampaknya sejalan dengan kondisi kita saat ini, yang sedang hidup berdampingan dengan aafat (penyakit/wabah), bukankah ini menjadi waktu yang sangat tepat untuk mengamalkan anjuran dari Syekh Sya’rani di atas, supaya memperbanyak zikir dengan beristigfar (meminta ampunan) kepada Allah secara  terus-menerus. Barangkali dengan kita istikamah dan memperkuat zikir karena Allah semata, Allah akan menjaga kita dari segala penyakit atau wabah (termasuk dalam hal ini: corona) dan semoga Allah Swt segera mengangkatnya. Waallahu a’lam. [HW]

Mohammad Thoriq Miftahuddin
Mahasiswa IAIN Tulungagung dan Santri Pondok Pesantren Al-bidayah Asuhan Kiai Nur Aziz Muslim.

    Rekomendasi

    Hikmah

    Budaya Menyepi

    Selain menguatkan, cinta juga mampu mencerahkan. Kekuatan tersebut ada dalam energi cinta dan ...

    Tinggalkan Komentar

    More in Kitab