Kesalehan individu, seperti rajin shalat, rajin membaca al-Quran, puasa, haji dan sebagainya selalu menuntut lahirnya kesalehan/kebaikan sosial. Tentang shalat, al-Qur’an menyatakan :” Shalat itu dimaksudkan agar manusia tidak melakukan perbuatan jahat dan munkar (tak disukai orang).
Tentang Puasa, al-Qur’an mengatakan supaya manusia bisa mengendalikan diri dari melakukan perbuatan yang melanggar hukum” (taqwa). Dan agar manusia merasakan beratnya lapar untuk pada gilirannya memiliki kepekaan sekaligus solidaritas sosial. Haji mengajarkan kesetaraan manusia dan menyerukan persaudaraan kemanusiaan. Dst.
Nah, manakala ritual-ritual personal tersebut (ibadah individual) tidak melahirkan kesalehan sosial dan kemanusiaan, maka untuk tidak mengatakan sebagai keberagamaan yang sia-sia, bisa dikatakan sebagai sebuah kebangkrutan dalam beragama. Lebih lagi jika melahirkan sikap-sikap hidup destruktif terhadap kepentingan sosial kemasyarakatan.
Nabi saw pernah menyinggung persoalan ini melalui dialog yang indah :
Beliau bertanya kepada para sahabatnya tentang “kebangkrutan” :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رضي الله عنه ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ” أَتَدْرُونَ مَاالْمُفْلِسُ ؟ قَالُوا : الْمُفْلِسُ فِينَا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ لَا دِرْهَمَلَهُ وَلَا مَتَاعَ ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ” الْمُفْلِسُ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاتِهِ وَصِيَامِهِ وَزَكَاتِهِ ، وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا ، وَقَذَفَ هَذَا ،وَأَكَلَ مَالَ هَذَا ، وَسَفَكَ دَمَ هَذَا ، وَضَرَبَ هَذَا ، فَيَقْعُدُ فَيَقْتَصُّ هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ ، وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ ، فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْتَصَّ مَا عَلَيْهِ مِنَ الْخَطَايَا ، أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَ عَلَيْهِ ، ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ ” أخرجه مسلم
“Tahukah kalian siapakah orang yang bangkrut/pailit ?”. Mendengar pertanyaan Nabi yang sangat mudah ini, para sahabat dengan cepat menjawab : “dia adalah orang yang tidak lagi punya kekayaan”. Nabi mungkin tersenyum. Beliau mengatakan : “oh, bukan, sama sekali bukan”. Lalu beliau menjelaskan maksudnya : “seorang yang bangkrut ialah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa daftar pahala shalat, puasa dan zakat. Tetapi dalam waktu yang sama dia juga membawa daftar kezaliman. Dia mengecam si A, menuduh si B, memakan harta si C, menumpahkan darah si D dan memukul si E.
Kepada mereka yang dizalimi, terampas hak-hak asasinya, dia (pelaku) dihukum dengan membayar pahala kebaikan-kebaikan atau kesalehan-kesalehan personalnya. Manakala semua pahala kebaikan dan kesalehan tersebut dia belum bisa melunasinya, maka dosa mereka yang dizalimi ditimpakan kepadanya. Sesudah itu dia (pelaku) dilemparkan ke dalam api neraka”.
Pernyataan Nabi di atas memperlihatkan kepada kita betapa kesalehan personal seperti shalat, puasa, haji dan yang sejenisnya meski pahalanya begitu besar, bisa digugurkan dan digusur oleh perilaku-perilaku kezaliman sosial.
Kezaliman sosial adalah tindakan-tindakan yang melanggar hukum publik, merampas hak milik manusia, melukai kehormatannya, seperti mencaci maki, menuduh, memfitnah, melakukan kekerasan fisik, kekerasan seksual, korupsi dan lain-lain.
Nabi datang untuk memberi peringatan kepada mereka yang zalim akan masa depan mereka di neraka dan menyampaikan kabar gembira kepada mereka yang menjaga kesalehan personal dan sosial bahwa mereka akan memeroleh sorga