Islam ala Nusantara: Perjumpaan dengan Budaya hingga Kaum Moderatisme

Islam ala Indonesia yang di sini kerap disebut dengan Islam Nusantara merupakan ciri khas tersendiri dari beberapa tipologi di berbagai belahan dunia. Makna Islam Nusantara sendiri berakar dari adanya akulturasi budaya dan ajaran agama (Islam) yang secara ajaran diturunkan oleh Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW.

Dengan begitu, akulturasi budaya dan agama tersebut menciptakan corak keberagamaan yang khas dibanding Islam yang berkembang di tanah Timur Tengah, karena tiap kawasan memiliki budaya serta karakteristik tertentu. Adapun upaya pendefinisian makna Islam Nusantara oleh beberapa tokoh sebagai berikut, oleh Muhajir didefinisikan sebagai “Islam Nusantara merupakan parktik dan paham keislaman yang berada di tanah Nusantara yang merupakan hasil dari dialektika teks syariat dengan budaya-realitas setempat”.

Bahkan definisi lain dikemukakan oleh Bizawie, “Islam Nusantara merupakan Islam yang khas ala bumi Indonesia, yang di dalamnya menggabungkan nilai Islam teologis dengan nilai-nilai budaya, tradisi lokal, serta adat”. Adanya dialektika antara ajaran Islam secara teologi dengan budaya setempat menjadikan Islam yang khas dan membentuk kearifan lokal.[1]

Dengan begitu, istilah Islam Nusantara memiliki ciri khas tersendiri dengan penghayatan lokalitas,[2] dan berbeda dengan Islam yang tumbuh dan berkembang di wilayah Timur Tengah, Afrika, Eropa, bahkan beberapa negara Asia Tenggara. Pemaknaan lain dari istilah Islam Nusantara yaitu lebih ditekankan pada metodologi dakwahnya yang memiliki ciri khas tertentu.

Prinsip dakwah Islam ala Nusantara lebih kepada tetap memegang universalitas ajaran Islam sendiri dan berpegang teguh pada ahlussunnah waljama’ah, dengan masuk pada wilayah budaya-tradisi supaya mudah diterima masyarakat lokal. Dalam konteks Indonesia, Islam mudah diterima masyarakat lokal melalui peran para Walisanga yang mampu memanfaatkan celah dalam membumikan dakwah di tengah masyarakat yang kental akan tradisi keagamaan Hindu-Buddha saat itu.

Baca Juga:  Gus Dur, Islam Nusantara, dan Filsafat 'Gitu Aja Kok Repot'

Dengan begitu, dapat ditegaskan bahwa Islam Nusantara adalah model pemahaman, pemikiran, serta pengamalan nilai-nilai keislaman yang dikemas dengan tradisi dan budaya setempat, yang dalam hal ini fokus cakupannya pada wilayah Indonesia.[3] Ciri khas lain dari Islam Nusantara adalah dari segi teologi menganut paham Asy’ariyah, tasawuf mengikuti al-Ghazali, dan mengikuti mazhab imam Syafi’i. Namun tidak cukup sampai di situ, komponen lain yang menjadi objek kajian dan ciri khas Islam Nusantara diantaranya meliputi pendidikan, tradisi (budaya) dan politik.

Karakteristik lain yang ada dalam tubuh Islam Nusantara adalah dalam segi sikap lebih mengedepankan sikap yang cita damai, terbuka, moderat, inklusif, ramah, serta mampu memberikan jalan keluar terhadap persoalan-persoalan kontemporer dalam wilayah agama dan negara. Bahkan keterbukaan dalam memahami teks Qur’an yang dikaitkan dengan konteks kekinian menjadikan ciri khas Islam yang luwes, dinamis, dan mampu beradaptasi sesuai dengan kemajuan zaman.

Bersahabat dengan kultur dan budaya yang begitu beragam layaknya di Indonesia, merupakan hal yang belum tentu bisa diimplementasikan dengan baik pula oleh Islam di kawasan lain. Justru Islam yang tumbuh dan berkembang di Indonesia mampu mendialogkan antara budaya dan ajaran tanpa menghapus tradisi lama dan mudah untuk dipahami. Maka dari itu, Islam tidak sekedar bisa diterima masyarakat Indonesia semata, namun turut mewarnai budaya-budaya yang ada di Nusantara dalam mewujudkan akomodatifnya, yaitu rahmatan lil ‘alamin.

Konsep rahmatan lil ‘alamin, termaktub dalam teks suci al-Qur’an tersebut menjiwai bentuk Islam ala Indonesia, yaitu sebagai Islam yang dinamis, moderat, cinta akan kedamaian, toleran, bahkan memandang keragaman dan perbedaan sebagai anugerah. Bahkan karakteristik lain yang kerap dijadikan jargon yaitu: Islam yang merangkul, bukan memukul: Islam yang damai, bukan cerai-berai: Islam ramah, bukan marah: Islam yang membina, bukan malah menghina.

Baca Juga:  Menciptakan Budaya Menanam dari Pesantren

Dari sini, terlihat jelas bagaimana corak dan tipologi Islam di Indonesia, bahwa  berislam yang moderat atau tengah-tengah (al-washat) merupakan landasan dasar ideologi serta filosofis Islam Nusantara.[4] Dalam bingkai Indonesia yang merupakan negara dengan jumah penduduk muslim terbesar di dunia, nampak Islam ala Nusantara diwakili oleh dua organisasi kemasyarakatan, yaitu Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.

Seruan toleransi dan moderasi dalam beragama menjadi term yang kiat digencarkan dalam mengimbangi gerakan-gerakan Islam ekstrem yang mulai berkembang di Indonesia. Misi dari Islam moderat sebagaimana ciri khas Nusantara yaitu berupaya menjaga keseimbangan yang terdiri dari dua tipe gerakan ekstrimis, diantaranya meliputi pemahaman, pemikiran bahkan gerakan Islam liberal dan fundamental.

Oleh karenanya peran Islam moderat berupaya menjadi penyeimbang sebagai kubu yang menekankan dan memelihara perdamaian, tidak hanya terhadap sesama manusia seiman, akan tetapi terhadap yang berbeda keyakinan (agama). Sehingga dari hal ini golongan moderat sebagai tipologi Islam di Indonesia mampu membebaskan dan menjadi jalan tengah dalam membebaskan masyarakat muslim dari ketakutan-ketakutan dari ancaman kaum ekstrimis.[5]

Hal positif lainnya yang menjadi karakteristik Islam Indonesia yaitu keterbukaannya terhadap kemajuan zaman, bahkan pengalaman berdemokrasi dalam memilih pemimpin pun terlebih dahulu menerapkannya dibanding negara-negara Islam lainnya. Oleh karenanya ia lebih dahulu dalam bersikap toleran, terbuka, berinteraksi dengan budaya maupun agama, bahkan dalam mengamalkan nilai-nilai keislaman menggunakan pendekatan kultural.

Tidak heran jika dunia luar memandang Islam Indonesia sebagai kiblat yang patut dijadikan contoh dalam menerapkan konsep moderat, rahmatan lil ‘alamin, dan jauh dari kata eksremitas-radikalisme yang dewasa ini kerap merambah ke berbagai penjuru negeri.[6]

 

[1] Lestari, “Islam Nusantara Corak Spiritualitas Pribumi”, Jurnal Elkatirie: Jurnal Ilmu Pendidikan dan Sosial, Vol. 1, No. 2 (April-Oktober 2019), 30.

Baca Juga:  Peran Islam Nusantara “NU” dalam Mengawal Perdamaian

[2] Saiful Mustofa, “Meneguhkan Islam Nusantara Untuk Islam Berkemajuan: Melacak Akar Epistemologis dan Historis Islam (di) Nusantara”, Episteme, Vol. 10, No. 2 (Desember 2015), 409.

[3] Irham, “Bentuk Islam Faktual: Karakter dan Tipologi Islam Indonesia”, el-Harakah, Vol. 18, No. 2 (2016), 204.

[4] Dudung Abdul Rohman, “Tipologi Pergerakan Dakwah Islam di Indonesia”, Tatar Pasundan: Jurnal Diklat Keagamaan, Vol. XII, Vol. 32 (Januari-April 2018), 51-52.

[5] Mujamil Qomar, “Islam Nusantara: Sebuah Alternatif Model Pemikiran, Pemahaman, dan Pengamalan Islam”, el-Harakah, Vol. 17, No. 2 (2015), 205.

[6] Ibid., 211.

Ali Mursyid Azisi
Mahasiswa Studi Agama-Agama - UIN Sunan Ampel, Surabaya dan Santri Pesantren Luhur Al-Husna, Surabaya

Rekomendasi

Tinggalkan Komentar

More in Opini